Tuesday, 29 May 2012

Tuesday, May 29, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Dukung Jonas Salean dan Herman Man.
KUPANG (NTT) - Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) menyatakan dukungannya dan mendoakan Paket SALAM agar kembali memenangkan pemilu kada putaran kedua, 27 Juni 2012.

Pernyataan dukungan itu disampaikan Ketua GMIT, Pdt. Robert Litelnoni, M.Th, didampingi Sekretaris  Sinode, Pdt. Benjamin Nara Lulu, M.Th, usai melakukan pertemuan dengan Jonas Salean dan Herman Man (SALAM), di Kantor Sinode GMIT, Jalan SK Lerik-Kupang, Jumat (25/05/2012).

Namun sebelum Ketua Sinode GMIT memberikan penjelasan, Jonas Salean di hadapan Ketua Sinode GMIT menegaskan jika dirinya sebagai warga GMIT datang menemui Majelis Sinode GMIT dan pengurus lainnya untuk menyampaikan rasa hormat dan terima kasih karena pada pemilu kada putaran pertama Paket SALAM selaku pasangan calon yang diusung rakyat menang dan mengalahkan pasangan calon yang diusung partai politik.

"Kami Paket SALAM sangat paham jika kemenangan itu juga berkat dukungan warga GMIT sehingga sepantasnya kami  datang menyampaikan rasa terima kasih sekaligus memohon dukungan dan doa restu segenap warga GMIT agar mendukungan SALAM pada pemilu kada putaran kedua," tegas Jonas diamani Herman Man.

Jonas mengatakan, dirinya tidak berarti tanpa mendapat dukungan luas dari masyarakat Kota Kupang, khususnya dari warga GMIT.

"Saya juga warga GMIT sehingga saya harus datang menyampaikan terima kasih karena atas dukungan seluruh  warga GMIT di Kota Kupang, maka SALAM bisa memenangkan pemilu kada putaran pertama. Saya bukan orang lain di GMIT karena saya adalah Wakil Ketua Majelis Jemaat Gereja Horeb-Perumnas. Karena itu, sebagai jemaat dan warga GMIT saya wajib datang dan memohon dukungan serta doa dari seluruh warga GMIT yang ada di Kota Kupang," kata Jonas.

Gereja Bukan Partai Politik
Pernyataan politik dari Pdt. Robert Litelnoni pun menuai kritik sejumlah jemaat GMIT yang berada di Kupang.

Menurut salah seorang warga GMIT, Drs. Simon Riwu, apa yang sampaikan Litelnoni pada Jumat (25/5/12) usai mengadakan pertemuan dengan paket SALAM di Kantor Sinode, merupakan sesuatu yang tidak proporsional. Sebab, sebagai pimpinan sebuah lembaga gereja tidak sepantasnya mengeluarkan pernyataan mendukung paket tertentu dalam urusan politik praktis. Jika pernyataan itu dikeluarkan secara pribadi, maka bisa dihargai. Karena itu hak politik sesorang yang dijamin oleh undang-undang.

Tapi,“Sebagai seorang ketua GMIT, semestinya mengelurakan semacam surat gembala untuk menghimbau agar dalam pelaksanaan pemilukada, seluruh umat bisa menjaga ketertiban dan keamanan, bukan mendoakan dan mendukung paket tertentu,” ujar Simon kepada SERGAP NTT di Kupang , Sabtu (26/5/2012).

Kata Simon, tidak ada alasan untuk mendoakan kemenangan paket tertentu dengan alasan karena paket itu yang pertama kali datang meminta dukungan GMIT. Sudah semestinya seorang ketua Sinode berlaku adil terhadap semua umatnya. Bukan memihak kepada salah satu paket. Sebab, GMIT bukan parpol, jadi tak pantas dukung paket SALAM. “Akan lebih tepat jika pernyataan itu dikeluarkan oleh seorang ketua partai politik, karena GMIT bukan sebuah parpol”, ucap Simon, kritis.

Oleh karena itu, sebagai warga GMIT, Simon Riwu sangat menyayangkan sikap Litelnoni yang terjebak dalam dunia politik praktis. Simon mensinyalir, pernyataan ketua Sinode itu bisa memicu terjadinya konflik antara warga GMIT.

“Pernyataan itu sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal di antara umat, karena mereka punya pilihan politik yang berbeda, dimana ada umat yang tidak mendukung paket SALAM, tapi mendukung paket JERIKO”, ungkap Simon.

Simon berharap, Litelnoni segera mengoreksi sikap politiknya sebagai pimpinan GMIT. Sebab, GMIT sebagai lembaga agama tidak perlu terjebak dalam kepentingan yang sifatnya praktis dan pragmatis.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh warga GMIT lainnya, yakni Drs. Marthen Kale, M.Si. Bagi Marthen, pernyataan sepihak Litelnoni bisa menimbuklkan konflik, baik di masyarakat maupun dilingkungan pengurus GMIT sendiri.

“Ini sangat berpotensi menimbulkan konflik. Tidak hanya terjadi di umat, tapi juga terjadi di dalam tubuh Sinode sendiri. Karena masing-masing orang memiliki pilihan politik yang berbeda”, papar Marthen. (PosKupang/SergapNTT)