Saturday, 7 July 2012

Saturday, July 07, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Katolik Ntarama, Situs Peringatan Genosida Etnis Tutsi.
KIGALI (RWANDA) - Sebuah gereja kecil bertembok bata merah tegak berdiri dalam keporakporadaannya. Namanya, Gereja Katolik Ntarama. Gereja ini bisa ditempuh sejam perjalanan menggunakan mobil dari ibu kota Rwanda, Kigali.

Tak ada lagi ibadah yang digelar di sana. Gereja yang muram kini menjadi situs peringatan salah satu tragedi paling brutal yang pernah terjadi di negara itu: genosida, pembantaian etnis.

Seperti dimuat Al Jazeera melalui vivanews.com, di hari saat tragedi itu terjadi, 15 April 1994, 5.000 warga sipil yang berlindung dalam gereja tewas dibantai.

Darah juga tumpah di seluruh negeri, hanya dalam 100 hari, 6 April hingga 15 Juli 1994, lebih dari 800.000 nyawa etnis Tutsi dan etnis lainnya melayang dalam pembantaian yang dipicu penembakan Presiden Juvenal Habyarimana dan keinginan sebagian oknum etnis Hutu untuk melanggengkan kekuasannya.

Tiap orang yang memasuki pintu gereja, niscaya akan membeku dalam kengerian. Saat mata bertemu dengan pemandangan mengerikan, tumpukan tengkorak dan tulang belulang di bagian belakang.

Sepanjang dinding gereja tergantung pakaian milik korban yang kotor penuh debu, yang mereka pakai di hari pembantaian. Ada jajaran peti mati berisi belulang di dekat altar.

Sebelum tahun 1994, tak ada tentara yang berani menyerang gereja. Itu yang membuat warga sipil ramai-ramai mencari perlindungan di dalamnya. Namun, rumah ibadah yang dianggap suci dan aman itu sontak berubah jadi ladang pembantaian.

Tentara dan militan etnis Hutu, Interahamwe melempar granat dan menghujani bagian dalam gereja dengan peluru. Apa yang terjadi di luar bangunan tak kalah mengerikan, pasukan biadab membantai semua orang yang mereka temui, tak pandang jenis kelamin atau usia. Anak-anak, bahkan bayi.  Bekas percikan darah mereka masih menempel di dinding gereja itu hingga saat ini.

Valentine Ndamage, 26, seorang kurator dari situs itu,  masih mencoba memahami apa yang terjadi di negaranya. Saat pembantaian terjadi, ia dan keluarganya tinggal di Kongo. Valentine baru kembali ke Rwanda saat berusia 8 tahun, sebulan setelah genosida berakhir.

“Saya masih mengingat mayat-mayat yang bergelimpangan di Gisenyi,” katanya. Bau menyengat jasad manusia yang membusuk tercium kuat di kota di perbatasan dengan Kongo itu.

Gereja Ntarama juga menjadi saksi usaha rekonsiliasi antara pelaku dan korban. Seperti hari itu, saat Angelique Mukabucyza, seorang Tutsi yang dua anaknya tewas dalam pembantaian, berjabat tangan dengan Karereza Bonaventura, seorang Hutu yang dituduh berpartisipasi dalam genosida.

Dalam upaya rekonsiliasi, Pemerintah Rwanda menerapkan sistem Gacaca, pengadilan akar rumput di mana pelaku dan korban duduk bersama untuk membahas apa yang terjadi. Para Gacaca ditutup awal bulan Juli ini setelah menangani hampir dua juta kasus. (Ucan-Indonesia)