Tuesday 17 July 2012

Tuesday, July 17, 2012
2
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Perda Syariah di Indonesia jadi Benih Meningkatnya Intoleransi.
JAKARTA - Di Tahun 2006, pada pertengahan tahun itu, ada perdebatan sengit di DPR. Terjadi “regulasi agama” lagi marak-maraknya daerah memberlakukan syariat Islam. Sejumlah anggota DPR risau akan hal ini. Pembentukan dan perberlakuan perda itu dinilai melanggar dan bertentangan dengan prinsip konsitusi dan Pancasila.

Constant Ponggawa ketika itu dari Fraksi Partai Damai Sejahtera dan Nusron Wahid dari Fraksi Partai Golkar, mengusulkan hal ini agar Presiden segera mencabut semua peraturan daerah kabupaten/kota yang bernuasa syariat Islam. Segera dicabut. Atas inisiatif keduanya, 56 anggota DPR menandatangani surat usulan pada presiden.

Tetapi, tak kalah sengit, sejumlah anggota DPR yang menolak dan membantah atas memorandum 56 koleganya, itu. Atas inisiatif Patrialis Akbar dari Fraksi Partai Amanat Nasional, yang kemudian menjadi menteri, dan Lukman Hakim Saefudin Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Mutamimul Ula Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.

Mereka menolak usulan ke 56 koleganya. Menurut mereka tidak ada yang salah dengan perda-perda syariah itu, tidak melanggar konsitusi, tidak menyakiti minoritas, dan tidak mengacam keutuhan bangsa. Sejak itu, suara ke 56 anggota DPR ini pecah.

Syariah agama terjadi “tarik-menarik” di tingkat elit, masih silang pendapat. Bagaimana di akar rumput? Sudah tentu berdampak lebih kuat, khususnya terkait penolakan terhadap pendirian rumah ibadah. Atas nama masyarakat “mayoritas” menolak pendirian rumah ibadah, itu yang terjadi di HKBP Filadelpia, di Tambun, Bekasi, Jawa Barat.

“Tidak boleh gereja berada di wilayah yang mayoritas Islam. Kami akan menolak gereja berdiri di Tambun Selatan,” ujar Ustad Naimun, tokoh dibalik demo terhadap HKBP Filadelpia.

Susahnya mendirikan gereja, sebenarnya bukan hanya di Bekasi. Hanya saja, ada isu bahwa ada  grand design yang dibangun oleh kelompok intoleran, menolak kemajemukan. Dengan apa? Secara keseluruhan Jawa Barat adalah penduduk terbanyak Indonesia.

Di Jawa Barat-lah jumlah penduduk terbanyak, di satu provinsi ini saja diperkirakan 40 juta jiwa, lebih banyak penduduknya dari jiran Malaysia yang hanya 39 juta. Itu artinya, bagi tangan-tangan yang ingin menjadikan negara ini negara Syariat, Jawa Barat menjadi kekuatan dan pintu masuk menguasai Indonesia.

Isu bukan tanpa dasar “Syariat Islam” bisa dibuktikan, kini 13 provinsi dari 33 provinsi sudah memberlakukan hukum syariah. Diantaranya, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusatenggara Barat dan Gorontalo. Jawa Barat dan Banten penyangga Jakarta lebih gencar memberlakukannya.

Jawa Barat sendiri ada kabupaten dan kota adalah Cianjur, Tasikmalaya dan Garut, demikian juga Banten di kabupaten Tangerang sudah memberlakukan hukum syariah. Strateginya, jika ingin menguasai Jakarta, kuasai daerah dan ini lebih gampang. Teori Mao Zedong menguasai kota seperti makan bubur panas, memulai dari pinggir lalu melahap yang di tengah. Faktanya sekarang, Jakarta yang tergolong lebih kota pluralis itu makin terjepit oleh daerah-daerah penyangganya seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok.

Belakangan ini, di wilayah tersebut bahwa penutupan gereja sedang gencar-gencarnya dilakukan. Artinya, Jakarta akan lebih mudah dikuasai jika ketika kabupaten/kota ini memberlakukan syariah. Penutupan gereja di Bekasi ibarat gunung es, yang terlihat sedikit, tetapi sesungguhnya jauh lebih dalam dari yang tidak terlihat.

SETARA Institute juga resah dengan hasil riset terhadap anak-anak usia dini yang diajak untuk menyanyikan lagu-lagu nasyid. “Lembaga- lembaga pendidikan Islam seperti Taman Kanak-kanak Islam terpadu (TKIT) dan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) dituding sebagai sarana pemupuk benih radikalisme Islam,” ujar peneliti SETARA Institute, Ismail Hasani dalam satu diskusi soal deradikalisasi untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan atas nama agama, di Hotel Atlet, beberapa waktu lalu.

Dia menilai kelompok-kelompok yang disebutnya Islam Radikal telah mendoktrin anak-anak sejak kecil dengan radikalisme agama. Contohnya, kata Ismail, di TKIT/SDIT kerap diajarkan bahkan melombakan nasyid-nasyid jihad Palestina.

Dia menambahkan, kita perlu waspada terhadap SDIT dan TKIT ini. “Lagu-lagu jihad itu mengancam NKRI dan bertentangan dengan Pancasila. Kenapa tidak pakai lagu-lagu perjuangan Indonesia. SETARA menemukan bahwa masyarakat kita, saat ini, cenderung tidak lagi menjaga toleransi, yang bertumbuh malah intoleran. SETARA menilai bahwa hal itu disulut oleh penerapan Perda-Perda Syariah.”

Bukan karena paranoid, tetapi indikasi dari kejadian-kejadian penutupan gereja perlu dipikirkan, boleh jadi, ada benarnya. Melihat penutupan gereja di wilayah ini sepertinya makin gencar dilakukan. Dan, lagi-lagi kita tidak melihat ketegasan pemerintah, aparat dalam hal ini, untuk menjaga orang yang menjalankan ibadahnya. Itu sebabnya SETARA juga pernah mempersoalkan bahwa Kementerian Agama Republik Indonesia, yang memberikan hadiah kepada pemerintah kabupaten dan provinsi, dianggap berprestasi, karena meningkatkan kegiatan-kegiatan keagamaan didukung Perda-Perda Syariah. (Reformata)