Tuesday 17 July 2012

Tuesday, July 17, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Kunci Kerukuan Antarumat Beragama dan Penghenti Kekerasan Atas Nama Agama.
JAKARTA - Kerukunan antarumat dalam perjalanan sejarah selalu meninggalkan gesekan. Tetapi kerukunan itu harus terus diusahakan. Fakta masih banyak terjadi konflik berlatar perbedaan agama di sejumlah wilayah, sehingga banyak konflik pendirian rumah ibadah terjadi. Kekerasan atas nama agama kerap kali terjadi.

Untuk menyingkapkan itu masyarakatlah yang dapat menjaga kerukunan antarumat beragama. Agama memang sensitif, gampang dipolitisasi. Lalu apa yang harus dilakukan? Agar terbangun kerukunan harus ada toleransi. Bukan sebaliknya yang ada intoleransi. Modal utamanya dalam membangun kerukunan adalah toleransi.

Setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan untuk membangun toleransi kata Zuhairi Misrawi, intelektual muda Nahdlatul Ulama. Bagi Misrawi, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Dia berbagai pengalaman sebagaimana di Inggris, semua kelompok didorong untuk menggali nilai-nilai toleransi sebagai kebajikan.

Masing-masing kelompok, terutama kelompok minoritas diperlakukan secara adil dan setara, baik dalam ranah politik, ekonomi maupun agama. Mereka dilindungi oleh negara melalui sistem demokrasi. Mereka juga bebas melakukan aktivitas perekonomian. Selain itu mereka dapat melakukan peribadatan secara bebas dan otonom. Dan kelompok mayoritas tidak melakukan penetrasi politik terhadap kelompok minoritas.

Kata kuncinya, menurut Misrawi, adalah kelompok minoritas mendapatkan hak otonom dalam pelbagai bidang kehidupan, sebagai jaminan untuk melakukan interaksi dan pergaulan yang bersifat lintas batas, kelompok dan golongan. Tidak seperti pengalaman Perancis pada abad 16 dan 17, yang mana kelompok minoritas tidak mempunyai hak otonom.

“Kelompok mayoritas kerapkali menggunakan dalih politis untuk menyerang kelompok minoritas,” tambah sarjana lulusan Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, ini.

Sementara itu, bagi Yudi Latif perjuangan ke arah toleransi dan kebebasan beragama memang sudah dimulai sejak abad ke-17, ketika sebuah pengakuan Baptist pada 1646 menyebutkan bahwa kebebasan agama merupakan kebebasan hati nurani yang paling penting, yang tanpa hal itu kebebasan lain kehilangan maknanya.

Namun, secara sungguh-sungguh hal itu baru diwujudkan secara institusional pada abad ke-20, lebih tepatnya setelah Perang Dunia ke-2; tidaklah terpaut jauh dari usia kemerdekaan bangsa Indonesia.

Jika beracuan pada sejarah, Gereja-Gereja Britania Raya baru mengakui HAM dan Kebebasan Agama pada 1947, Dewan Gereja-Gereja Dunia mengeluarkan deklarasi tentang Kebebasan Agama pada 1948, disusul oleh Deklarasi Universal tentang HAM (1948), lalu konsili Vatican II mengeluarkan dekrit Dignitatis Humanae Personae (1965), akhirnya muncul Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (1976), dan Deklarasi tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi dan Intoleransi Keagamaan dan Keyakinan (1981).

“Berbeda dengan pengalaman masyarakat Barat, Indonesia justru memiliki sejarah toleransi keagamaan yang panjang. Ini bukanlah sebuah klaim apologetik, melainkan dibenarkan justru oleh literatur sejarah yang ditulis sarjana Barat sendiri,” ujar Yudi Latif, peraih gelar Doktor dari Canberra University ini.

Tentu hal ini tidak berarti bahwa di sana tidak ada konflik dan ketegangan. Namun, toleransi dan fleksibilitas sosial, serta kehendak untuk berasimilasi dan berasosiasi satu sama lain selalu hadir, diluar pertimbangan-pertimbangan praktis dan oportunistik.

“Di sini segmentasi diterima sebagai fakta kehidupan dan kemungkinan integrasinya di masa depan tidaklah teralu diharapkan. Perbedaan tidaklah dirasa sebagai batas yang ketat. Ini adalah sebuah masyarakat hibrida yang terfragmentasi menurut suku, bahasa, budaya dan agama; sebuah jaringan kelompok yang rumit yang diikat oleh daya toleransi dan ketidakacuhan.”

Lalu melihat banyaknya berita-berita yang memiriskan, tindakan yang anarkis dilakukan para kelompok intoleran, sepertinya negara tidak berdaya. Seperti negara tidak mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan dalam rangka menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan.

Akibatnya, sebagaimana dikatakan Miswari, kelompok minoritas senantiasa berada di bawah ancaman kelompok yang mengklaim sebagai kelompok mayoritas. Lalu, pertanyaannya dari mana kita mesti memulai membangun toleransi? (Reformata)