Sunday 5 August 2012

Sunday, August 05, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia Bersimpati dan Berdoa Untuk Warga Rohingya yang Menderita Diskriminasi.
JAKARTA - Sangat pantas dan tepat, sebagai negara yang beradab, yang berlandaskan pancasila, UUD 1945 dan ber-Bhinneka Tunggal Ika, serta sudah menandatangani beragam konvensi internasional HAM, Indonesia menyampaikan keberpihakannya pada penderitaan etnis Rohingya, tidak hanya melalui mereka yang satu iman tetapi juga melalui umat Kristen di Indonesia yang berbeda iman, tidak terkecuali, jemaat Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia yang hingga kini masih menderita atas diskriminasi kelompok beda agama melalui topeng hukum dan politik.

Sama seperti pekan-pekan sebelumnya selama enam bulan terakhir, 80-100 massa Jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia menggelar ibadah minggu di depan Istana Negara.

"Oh Tuhan, kasihanilah Rohingya, berilah etnis Rohingya kekuatan untuk melewati semuanya sampai pada akhirnya mereka memperoleh kemerdekaan," kata ratusan warga GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia bersama dengan perwakilan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) saat melakukan doa dan aksi solidaritas atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya.

Jurubicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging, di sela-sela aksi damai di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Minggu, (05/08/2012) mengatakan, aksi kali ini khusus karena ada doa untuk warga Ronghinya. "Karena nasib mereka sama seperti kami saat ini, terusir dan terintimidasi," ujarnya.

Aksi ini juga untuk menyatakan sikapnya yang mengutuk kejahatan atas nama kemanusian yang terjadi terhadap etnis Rohingya. Hentikanlah segera kebiadaban pada mereka! Biarlah dunia bekerjasama untuk mencegah terulangnya peristiwa sejenis, disudut dunia manapun," beber Bona

Menurut Bona, di Myanamar dan Indonesia sama-sama ada intimidasi. Bedanya, bila etnis Rohingya tidak diakui oleh pemerintah Myanmar, sementara GKI Yasmin dan gereja-gereja lain yang dianiaya diakui sebagai warga negara Indonesia.

"Pemerintah Myanmar melakukan lepas tangan dalam kasus ini. Sementara pemerintah Indonesia melakukan hal yang sama, tetapi kami merupakan WNI," demikian Bona.

Menurut Bona dalam permasalahan kaum komunitas Rohingya peran Indonesia di panggung ASEAN atau PBB dalam upaya menghentikan eskalasi kekerasan atas etnis Rohingnya, dapat semakin kuat bila sejalan dengan peran tersebut.

"Agar pemerintah Indonesia semakin kuat dalam memainkan peran strategisnya melalui ASEAN, ataupun PBB untuk menghentikan diskrimimasi dan intimidasi pada etnis Rohingya," ujarnya.

Bona menuturkan, Myanmar merupakan salah satu negara yang baru memulai membuka diri dari rezim otoritarian militeristik. Namun dunia justru tersentak dengan kengerian yang muncul akibat diskriminasi yang dialami etnis Rohingya. Sebuah etnis yang minoritas di Myanmar yang sebenarnya telah hidup sejak ratusan tahun lalu, namun oleh rezim militer San Yu dicabut status kewarganegaraannya pada tahun 1982 lalu.

Myanmar, dinilainya telah gagal mengambil langkah-langkah yang perlu segera dilakukan untuk melindungi dan mencegah menyebarnya tindakan keji tersebut. "Yang menyedihkan, pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan ke Banglades kini juga diusir, karena mereka juga tidak dianggap sebagai warga negara Banglades," imbuhnya.

"Etnis Rohingya semakin menderita, terkatung-katung tanpa ada kepedulian, baik dari Myanmar maupun Banglades," tambah Bona. (RMOL/Tempo/Detik)