Thursday, 23 August 2012

Thursday, August 23, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Buka Klinik Hukumdi Beberapa Keuskupan guna Berdayakan Orang untuk Setara.
BANDUNG (JABAR) - Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan semakin sadar pentingnya menangani masalah-masalah hukum. Di lingkungan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), misalnya. Dalam waktu dekat, Subkomisi Hukum dan Advokasi Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKP) Keuskupan Bandung akan membuka klinik hukum.

Antonius Sartono, seorang pengurus subkomisi, mengutarakan belum ada nama bagi klinik hukum yang segera beroperasi. “Tapi fungsinya seperti lembaga bantuan hukum,” ujarnya kepada hukumonline ketika diwawancarai via telepon, Jumat (10/08/2012).

Ada maksud mengapa mereka lebih memilih klinik hukum ketimbang LBH. Klinik hukum, kata Sartono, ibarat klinik kesehatan. Ada dokter umum yang praktik di tempat itu. Pasien datang dengan keluhan sakit tertentu. Karena hanya ada dokter umum, tentu saja penyakit ringan akan mereka tangani segera. Tapi, penyakit yang harus ditangani secara khusus, maka rekomendasi untuk ditangani dokter ahli akan diberikan pada pasien. “Sekilas, begitulah gambaran kerja klinik hukum kami nanti,” lanjut Sartono.

Seiring dengan pembentukan klinik hukum, akan diluncurkan pula ‘hotline’ pengaduan di subkomisi. Tujuannya agar klinik hukum makin dikenal dan makin banyak pengaduan yang masuk.

Lalu, siapa saja ahli yang mereka libatkan untuk menangani pengaduan? Menurut ‘Black’ begitu sapaan akrab Sartono, para pengacara sekaligus pengajar di FH Universitas Katolik Parahyangan Bandung diajak bekerjasama. Jika pengaduan akan ditangani namum subkomisi tak mampu, maka LBH FH Unpar yang akan menangani.

Hal sama menurutnya akan dilakukan klinik hukum. Namun, dia yakin akan makin banyak sarjana hukum, juga pengacara yang terlibat memberi bantuan pada sesama. Dia menambahkan, gagasan membuat klinik hukum adalah mewujudkan kehadiran gereja di dunia yaitu untuk melayani. Terutama di Keuskupan Bandung yang terdiri dari 23 paroki. Tindakan ini meneruskan pesan pemimpin umat katolik sedunia, Paus Benediktus XVI. “Bapa Paus menyatakan, jika menghendaki dunia yang damai, kita semua harus bekerja untuk keadilan,” paparnya.

Sebelumnya, pendampingan dan bantuan hukum oleh Keuskupan Bandung dilakukan subkomisi. Namun diakui Sartono, pelayanan yang diberikan subkomisi belum berarti apa-apa. Selain baru dibentuk tiga tahun, pelayanan berupa pendampingan dan bantuan hukum baru menyasar umat Katolik. Setidaknya baru sekira 15 kasus mereka tangani.

Prinsip utama keberadaan subkomisi ini, tutur Sartono sebenarnya bukan dalam bidang litigasi. Tapi bagaimana memberdayakan publik. Tapi, ada kalanya pemohon meminta bantuan agar menjadi kuasa hukum di pengadilan. Tentu, pilihan ini harus dipertimbangkan masak-masak oleh subkomisi.

Jika dirinci, subkomisi pernah melakukan advokasi dua paroki yang dihadang mendirikan gereja. Kemudian enam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Lalu, beberapa kasus perdagangan orang (human trafficking). Adapun bidang yang ditangani subkomisi adalah kasus pertanahan, KDRT, dan perdagangan orang.
Sejak dibentuk, subkomisi lebih memilih untuk menunggu pengaduan. Entah dari umat Katolik yang terbelit masalah hukum atas rekomendasi pastor paroki, atau pengaduan dari jejaring LSM. Ini terjadi karena minimnya sumber daya manusia dan dana. Mengenai dana, Sartono sampaikan berasal dari Keuskupan Bandung yang dihimpun dari umat. Ditambah dana yang berasal dari donatur.

Titik Berat
Sartono berharap, pembentukan klinik hukum akan menentukan titik berat pelayanan keuskupan bagi publik di wilayahnya. Terutama agar publik mampu memahami dan berdaya akan hukum.

Harapan Sunarto segendang seirama dengan tujuan KKP. Hal ini diutarakan Sekretaris Eksekutif KKP Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Pastor Paulus C Siswantoko Pr kepada hukumonline.
Menurut Pastor Koko, sapaan akrab buatnya, KKP adalah alat bagi gerejauntuk fokus pada tujuan pelayanan utama. Apalagi kelahiran KKP memang dilandasi oleh keprihatinan yang dialami negara pada peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Kemudian, sekira tahun 2000, KWI membentuk sekretariat guna menangani ekses akibat peristiwa itu. Karena gereja mengharapkan ada tindakan nyata dan terfokus, maka sekretariat itu diubah menjadi komisi.
KKP KWI menggariskan tiga hal bidang kerja utama. Yaitu menangani masalah terkait keadilan lingkungan, lalu penanganan perdagangan orang. Kemudian berupaya menciptakan budaya baru, yaitu antikekerasan.
Ketiga fokus tujuan KKP itu disebarkan ke 37 keuskupan yang ada di bawah KWI. Hanya 33 yang punya KKP. Tak semua keuskupan melakukan apa yang dikerjakan Keuskupan Bandung. Setidaknya Keuskupan Sintang, Kalimantan Barat dan Keuskupan Palangkaraya bertindak sama seperti Keuskupan Bandung.

Pengacara publik yang juga masuk dalam kepengurusan KKP KWI, Azas Tigor Nainggolan menguraikan, KKP Keuskupan Sintang malah mengajak pengacara untuk memberikan pendampingan dan bantuan hukum pada masyarakat sekitar. “Banyak yang berminat dan sudah ada warga yang menerima pendampingan dan bantuan hukum dari KKP di sana,” kata Tigor.

Menyoal masih banyak keuskupan yang belum melakukan seperti yang dilakukan Keuskupan Bandung, Sintang, dan Palangkaraya, Tigor menyatakan karena keuskupan bersifat otonomi. Alhasil, jika pemimpin tertinggi keuskupan menilai belum perlu membentuk seperti yang dilakukan tiga keuskupan tersebut, jangan harap organ bantuan hukum lahir. “Tapi, bisa saja kebutuhan itu difasilitasi KKP,” terang Tigor.

Pastor Koko malah menyampaikan otokritik. Gereja selama ini terkesan hanya fokus pada masalah liturgi atau ibadat semata. Tapi, anggapan itu mulai diubah dengan terbentuknya KKP dengan ketiga fokus gerakan. KKP ingin bersama seluruh umat peduli dan melakukan sesuatu akan sekitar mereka.

Mulai dengan memberi pemahaman akan hukum. Agar orang peduli dan berani berhadap-hadapan dengan mereka yang dinilai berperilaku tak adil. Semisal, Juni 2012, di KKP Paroki Sintang melakukan pelatihan paralegal. Peserta pelatihan sebanyak 40 orang yang terdiri dari para pastor, tokoh umat dan tokoh adat.
Peserta diajak melihat permasalahan di wilayah Keuskupan Sintang, yang meliputi  kabupaten Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Dengan metode ceramah, diskusi dan pelatihan, peserta akhirnya menemukan tiga permasalahan besar yang saat ini sedang dihadapi oleh masyarakat yaitu perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan kehutanan.

Pada kesempatan itu, Azas Tigor Nainggolan menyemangati peserta untuk menyadari pentingnya paralegal. Paralegal berperan menjembatani kebutuhan masyarakat pencari keadilan dengan advokat dan aparat penegak hukum lainnya untuk penyelesaian masalah hukum yang dialami individu maupun kelompok masyarakat. Siapapun, lanjut Tigor  yang punya kemauan dan kemampuan bisa menjadi paralegal, tentunya sudah dibekali dengan pengetahuan tentang persoalan hukum terkait dengan kasus yang terjadi di tengah masyarakat.

Meskipun gerakan KKP sudah mencapai tahap terwujud, namun sayang, banyak diantara pengurusnya tidak tahu UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Padahal dengan beleid itu, peran bantuan hukum mereka diakui negara. Kendala pendanaan pun terjawab karena UU Bantuan Hukum menjamin anggaran negara buat organisasi bantuan hukum. “Saya baru tahu dari Anda,” papar Pastor Koko Pr. Hal sama juga menjadi jawaban Sartono ketika ditanya akan UU Bantuan Hukum.

Menanggapi itu, Tigor menyatakan sudah menjadi kebiasaan pemerintah, bahwa sosialisasi peraturan yang dibutuhkan publik oleh pemerintah begitu buruk. “Apalagi yang terkait anggaran, sengaja disembunyikan biar mudah dikorupsi,” ujarnya. (HukumOnline)