Saturday, 29 September 2012

Saturday, September 29, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Aktivis dan Gereja Desak Komnas HAM Maluku Selidiki Kasus Penembakan Warga Watmuri.
AMBON (MALUKU) - Konflik terbuka antara warga Desa Watmuri, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) dengan PT. Karya Jaya Berdikari (KJB) di Pulau Yamdena yang berbuntut penembakan aparat terhadap tiga warga desa, menuai keprihatinan dan kecaman.

Tindakan arogan kepolisian menambah panjang daftar hitam konflik antara pemilik modal yang dibekingi aparat keamanan. Peristiwa itu mengingatkan kejadian di Mesuji, Lampung atau di Bima, NTB antara masyarakat setempat dengan perusahaan yang mengabaikan tuntutan masyarakat dapat terjadi di Maluku.

Ini patut disesalkan karena kejadian itu menunjukan ketidakpekaan pemerintah atas aspirasi dan keluhan warganya. Demikian pendapat Direktur Eksekutif MOERI (Moluccas Economyc Reform Institute), Tamat Talaohu, menanggapi penembakan terhadap warga Watmuri.

“Tindakan ini patut dikecam, karena tugas polisi melindungi rakyat bukan pemodal, apapun alasan dan situasinya. Polisi itu digaji dari uang yang dipungut dari pajak yang dibayarkan warga negara. Bagaimana mungkin membunuh orang yang telah memberi Anda (polisi) hidup. Hanya orang berperadaban primitif yang melakukan hal demikian,” tegasnya kepada Ambon Ekspres, Rabu (12/09/2012).

MOERI mendesak Komnas HAM Maluku untuk segera melakukan investigasi, karena kuat dugaan telah terjadi pelanggaran HAM di Pulau Yamdena.

Menurutnya, kasus penembakan ini hanyalah fenomena gunung es. Pasti banyak intimidasi, rekayasa dan penekanan yang dialami warga setempat. Hal ini memang biasa terjadi dan kerap ditemui di semua tempat penambangan atau HPH dimana para pemilik modal berkepentingan untuk melindungi usahanya meski harus menghalalkan semua cara.

Biasanya, negara (aparat) dalam hal ini akan berpihak kepada pemodal. “Akibatnya adalah rakyat akan menjadi bulan-bulanan, menjadi korban dan hidupnya bisa berubah total hanya karena tidak sependapat dengan investor di wilayah mereka. Meski hak-hak mereka dilindungi oleh hukum positif negara atau hukum adat,” tutur Talaohu.

Masih diberikannya ijin bagi beroperasinya pemilik HPH/IUPHHK di wilayah Maluku menggambarkan bahwa Pemda sangat kerdil dalam memahami ekonomi pembangunan. Pemda juga teramat pragmatis dan senang dengan pendekatan instan, tidak mau bersusah payah, tidak memiliki kreativitas meski orang-orang Pemda banyak diisi oleh jebolan universitas terkemuka.

“Paradigma pembangunan yang menggunakan hutan dan hasil-hasilnya sebagai primadona ekonomi daerah sudah lewat. Itu zamannya dua puluh tahun lalu dimana sumber daya alam dengan minim nilai tambah menjadi lokomotif ekonomi. Saat ini paradigmanya adalah ekonomi hijau, ekonomi yang berkelanjutan dengan nilai tambah yang makin besar,” tuturnya.

Hutan dan lingkungan hidup justru harus diperlakukan sebagaimana memperlakukan manusia itu sendiri. “Apakah anda tidak melihat fenomena ekstrim cuaca yang makin mengancam kelangsungan hidup manusia dewasa ini?” kata Talaohu.

Senada dengan itu praktisi hukum, Rikloof Lambiombir meminta Kapolda Maluku, Brigjen Pol Muktiono segera mengusut pelaku penembakan warga Watmuri. Diduga kuat oknum polisi itu sebagai dalang penembakan. "Kami minta Kapolda turun tangan atas kasus ini dan memproses anak buahnya yang melakukan penembakan tersebut," desaknya.

Sebelumnya, Uskup Amboina, Mgr P.C. Mandagi MSC mengancam akan menggunakan kekuatan internasional bila pada akhirnya pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Pemprov Maluku dan Pemerintah Pusat tidak segera mencabut izin pengelolaan hasil hutan kayu di desa Watmuri, Kecamatan Nirunmas.

“Bila dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan, Pemkab, Pemprov maupun Pempus belum juga memutuskan untuk mencabut Surat Keputusan IPHHK milik PT Karya Jaya Berdikari, saya akan membawa persoalan ini ke tingkat internasional,” tegas Uskup Mandagi kepada wartawan, awal September 2012 lalu. (AE/TimPPGI)