GBI Peunayong dirusak massa (17/06/2012) |
"Kasus itu pintu masuk disintegrasi bangsa. Ini upaya sistematis untuk terjadinya disintegrasi bangsa. Kalau itu terjadi, pemerintah pusat sangat bertanggung jawab," kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa Lily Wahid di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (24/10/2012).
Hal itu dikatakan Lily ketika dimintai tanggapan penutupan sembilan gereja dan lima vihara di Banda Aceh akibat Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.
Persyaratan membangun rumah ibadah dalam Pergub itu dinilai teramat berat. Sebuah rumah ibadah dapat memperoleh izin jika, mendapat persetujuan dari 120 orang warga sekitar, dengan jumlah jemaat lebih dari 150 orang, mendapat pengesahan dari lurah/kecik, dan ada surat rekomendasi dari kantor Kementerian Agama setempat.
Persyaratan itu jauh lebih berat dari ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Bersama Dua Menteri yang mewajibkan ada izin dari 90 jemaat, dengan dukungan 60 orang warga sekitar.
Lily mengatakan, pemerintah pusat seharusnya mengirim tim ke Aceh untuk berbicara dengan Gubernur NAD agar Pergub itu bisa dihapus. Jika tidak diselesaikan, menurut Lily, hal sama akan diikuti oleh kepala daerah lain.
Lily menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama ini abai terhadap hak asasi manusia untuk bebas beribadah. Dia berharap agar para pemuka agama lebih menekan Presiden.
"Di mana peran negara saat warga negara dilarang beribadah di tempatnya sendiri? Ini kan negara tidak berbuat apa-apa, tidak melindungi," pungkas Lily.
Jangan Diremehkan
Sementara itu anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin meminta pemerintah pusat agar turun tangan untuk menyelesaikan masalah penutupan gereja dan vihara di Banda Aceh, Aceh. Jika tidak, penutupan tempat ibadah itu akan menjadi preseden buruk yang bakal diikuti oleh pemerintah daerah lain.
"Jika perkara ini dianggap remeh oleh pemerintah pusat, maka hal ini akan menimbulkan luka terpendam bagi banyak orang. Apa jadinya jika misalnya di Papua kejadian sebaliknya menimpa umat muslim?," katanya kepada Kompas pada Rabu (24/10/2012).
Nurul mengaku prihatin atas maraknya penutupan tempat ibadah, khususnya gereja di banyak tempat di Indonesia. "Seringkali kita tidak berempati dan lupa bahwa mereka saudara-saudara kita. Kemajemukan itu anugerah dan kekuatan kita sebagai bangsa," kata dia.
Menurut Nurul, pemerintah Aceh memang selalu ingin berbeda dengan pemerintah pusat dalam pembuatan peraturan. Pemerintah pusat, kata dia, seharusnya bersikap tegas atas Pergub itu lantaran masalah agama menjadi urusan pemerintah pusat seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
"Kita harus melawan intoleransi yang semakin masif. Paling tidak modal awal adalah implementasi nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme yang dilandasi pentingnya menghargai pluralisme untuk menyelamatkan NKRI," pungkas Nurul. (Kompas)