_”When the only tool you have is a hammer you tend to see every problem as a nail” (Abraham Maslow)_
Hidup manusia sejak zaman baheula hingga di zaman modern sekarang ini adalah hidup yang dinamis, penuh dinamika dan romantika. Manusia membangun peradaban dari zaman ke zaman dengan kemampuan teknis dan kompetensi akademis yang mereka miliki. Mereka mengembangkan pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan, budaya dan berbagai sektor serta bidang kehidupan lainnya yang amat dibutuhkan dalam kehidupan.
Manusia yang Allah ciptakan memang adalah manusia yang berkarya, manusia yang diberi mandat oleh Allah untuk mengolah isi bumi demi kemaslahatan umat manusia. Manusia bukanlah sosok yang diam, yang nir-karya, yang _impoten_ tanpa hasrat dan energi. Dunia yang dihidupi manusia dengan berbagai perkembangannya adalah wujud ekspresi dari kreativitas dan intelektualitas manusia. Hal yang patut disyukuri adalah bahwa sosok manusia (Indonesia) adalah manusia religius, manusia beriman, yang memiliki relasi spesial dan kontinyu dengan Kuasa Transenden, yang terus menyeru nama Allah disepanjang kehidupannya.
Manusia Indonesia akrab sekali dengan tempat-tempat ibadah sesuai dengan agama mereka: mesjid, gereja, pura ,vihara, kelenteng; mereka mengalami pendalaman spiritualitas melalui aktivitas keagamaan di rumah-rumah ibadah itu. Oleh karena itu kehadiran rumah ibadah amat penting bagi setiap penganut agama di negeri ini. Kesulitan pembangunan rumah ibadah dan perusakan rumah ibadah bukan saja sebuah ironi bagi sebuah Indonesia yang majemuk namun sekaligus juga menjadi bukti legitim bahwa rumusan Pancasila masih sebatas wacana dan belum di praktikkan dalam hidup membangsa dan menegara.
Rumah-rumah ibadah adalah “tempat formal” untuk menyeru nama Allah. Menarik narasi-narasi yang diungkapkan penyair besar Indonesia Chairil Anwar dalam puisinya berjudul “Di Mesjid”.
*Di Mesjid*
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya.
Berimbah peluh diri
yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila
29 Mei 1943
Nafas-nafas religius acap kita temui dalam puisi seorang Chairil Anwar, JE Tatengkeng, Amir Hamzah, Subagiyo Sastrowardoyo, Fridolin Ukur untuk menyebut beberapa nama, untuk membuktikan salah satu wujud religiusitas manusia Indonesia. Nafas religius manusia Indonesia kita bisa nikmati tidak hanya pada puisi, tetapi juga pada novel, drama bahkan juga melalui berbagai aspek kehidupan lainnya.
Religiusitas manusia Indonesia memang sejatinya harus mewujud pada semua aspek kehidupan warga bangsa bahkan harus mampu menjadi _roh_, _ruh_, _ruach_ dari kedirian manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah sosok yang sabar, penuh tali silaturahim, pemaaf/pengampun, berkarakter positif, respek terhadap keberbedaan, mau mengembangkan persaudaraan sejati, rukun dan damai, anti korupsi, anti kekerasan, menghargai HAM.
Hidup manusia dengan misi besar ditengah dunia, dilengkapi dengan berbagai “alat” dan “instrumen” selain akal budi, intelektualita yang dianugerahkan Tuhan bagi manusia. Mengingat tugas besar manusia itu amat luas spektrumnya, beragam isunya sehingga seseorang membutuhkan pemikiran yang komprehensif dan holistik agar penanganannya menjadi lebih tepat.
Ungkapan Maslow yang dikutip dibagian awal artikel ini, cukup menarik “jika alat yang anda miliki hanya _palu_ maka anda cenderung untuk melihat semua persoalan seperti _paku_.” Ungkapan Maslow ini pada satu sisi adalah warning agar kita berhati-hati dalam memberikan tafsir atau penilaian terhadap orang/sesuatu jika “alat” kita terbatas dan tidak memadai. Pada sisi yang lain Maslow secara implisit ingin mengajak banyak orang untuk memperluas kepemilikan “alat” tidak hanya satu saja, seperti *palu* sehingga tafsir dan penilaian kita lebih komprehensif dan profesional.
Maslow memberikan remind yang amat bermakna bagi kita agar kita memiliki wisdom dan hikmat yang kuat dalam memahami setiap persoalan yang hadir didepan kita sehingga tafsir dan penilaian kita terhadap orang/persoalan tersebut benar-benar valid, tepat dan terukur.
Sebagai umat beragama yang beriman teguh kepada Kuasa Transeden, Yang Ilahi, kita diingatkan untuk terus-menerus menampilkan keberagamaan yang solid, teguh, teduh, berwibawa, sejuk yang bermuara dan berkontribusi bagi penguatan NKRI yang majemuk, bagi terwujudnya suasana damai dan sejahtera dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*