Tuesday, 21 September 2010

Tuesday, September 21, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Mencairkan Kebekuan Gereja Terhadap HIV-AIDS.
MANADO - Tanggal 21 – 25 September 2010 Persekutuan Gereja Indonesia menyelenggarakan Konsultasi Nasional ke-IV Gereja dan AIDS dengan tuan rumah Gereja Sinode Am Suluttenggo. Semoga tulisan ini turut memberikan bahan refleksi bagi kita semua dalam menyikapi persoalan HIV-AIDS.

Gereja merupakan salah satu institusi yang pengaruhnya dapat menyentuh institusi lain. Begitu berpengaruhnya gereja, oleh sebagian kalangan (terlebih elite politik) sering dijadikan tameng untuk melindungi diri dan kelompoknya dari sengatan lawan (politik).

Ada juga yang memanfaatkan organisasi gereja untuk mencari, mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya. Tidak sedikit juga orang yang menjadi parasit dalam gereja demi privacy, ego dan kewibawaan pribadinya.

Bahkan ada yang menjadikan gereja dan organisasi di dalamnya sebagai “tambang” untuk memperkaya diri/keluarga. Semua tujuan negatif yang terselubung ini sering tidak disadari oleh gereja.

Seandainya ada gereja yang terjaga dengan situasi tersebut, acapkali diacuhkan dan dianggap sebagai hal wajar serta bukan suatu kesalahan di mata Tuhan. Sepertinya suatu yang dinyatakan sebagai perbuatan dosa hanya pantas dialamatkan pada pencuri (jemuran, ayam, dll), pembunuh, perzinahan, berdusta, perjudian, berhala serta tindakan lain yang kelihatan langsung atau yang tertangkap tangan.

Tapi untuk koruptor, kolusi dan persekongkolan untuk menjatuhkan orang lain, pengingkaran terhadap sesuatu yang tidak semestinya, penyalahgunaan jabatan kepelayanan dan segudang tindakan lainnya yang teraplikasi di lingkungan organisasi gereja yang merugikan umat hanya dianggap sebagai suatu kesalahan yang tidak perlu digumuli.

Akhirnya suara kenabian yang diharapkan terujar lantang untuk menyikapi sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Tuhan terkekang oleh adanya kepentingan para pemimpin (politik maupun pemerintah) yang terkolaborasi dengan kepentingan pribadi dalam gereja.

Di samping “realita kelam” di atas, ada suatu sisi yang urgent untuk disikapi oleh orang-orang yang berpredikat hamba Tuhan dalam gereja yaitu epidemi HIV-AIDS. Harus diakui, gereja memang sudah menjalankan peran yang penting melalui penyediaan pelayanan ibadah, kesehatan, pendidikan dan pengembangan pelayanan.

Gereja juga telah memainkan peran dalam menyelesaikan sebagian krisis-krisis sosial dalam masyarakat. Tetapi saat ini epidemi HIV-AIDS menuntut agar gereja mengakui kenyataan tentang kehidupan seksual dan penggunaan narkoba dalam masyarakat, sehingga gereja dapat menolong serta mengembalikan kehidupan masyarakat beresiko tinggi ke arah yang lebih baik.

Mengetahui dan mengakui kenyataan ini bukan berarti bahwa gereja akan memaafkan dan mempromosikan aktivitas seks dan pemakaian narkoba yang justru ditentang dan akhirnya memposisikan diri dalam situasi yang sulit untuk ditangani.
Kesehatan penduduk di era HIV-AIDS ini merupakan bidang dimana kita dapat melihat dengan jelas pengaruh agama dan gereja, karena umat masih akan mendengarkan dan mengikuti ajaran agama serta ritual-ritualnya.

Tulisan ini terinspirasi dari aktivitas Pdt. Gideon Byamugsha seorang hamba Tuhan di Uganda yang terinfeksi HIV dalam bukunya The Silence on HIV-AIDS in Africa ; How Can Religius Institutions Talk About Sexual Matters In Their Communities.

Dimana dengan berbagai upaya berusaha mengadvokasi rekan-rekan sejawatnya untuk peduli dan menggumuli nasib banyak orang yang sementara mengalami penderitaan akibat pandemi HIV-AIDS.

Suara kenabian dari sekian banyak Tokoh Agama yang terimplementasi lewat kepedulian terhadap HIV-AIDS memang belum terasa gaungnya di daerah ini.

Padahal sejak ditemukannya kasus ini di Sulut pada tahun 1997 terus menelan korban warga gereja dan pasti dari 646 kasus di Sulut hingga Juni 2010 juga didominasi oleh warga gereja.

Mungkin ada pemikiran bahwa masalah ini hanya menjadi urusan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan Instansi yang terkait dengan kesehatan. Atau mungkin ada anggapan bahwa HIV-AIDS merupakan perwujudan hukuman Tuhan
atas umat-Nya yang telah melakukan pelanggaran.

Terlepas dari keberdosaan yang melekat pada pribadi manusia, seharusnya ada upaya konkrit yang dilakukan oleh gereja untuk turut menyelamatkan umatnya dari epidemi virus yang belum ditemukan obatnya ini.

Karena jika menilik cara penularan HIV yaitu melalui kontak Darah, Cairan Kelamin, dan Ibu positif HIV ke bayi  maka harus disadari bahwa HIV bisa menginfeksi siapa saja, bukan hanya pada kelompok masyarakat yang perilakunya beresiko tinggi namun juga pada masyarakat awam yang tidak mengerti apa-apa.

Indikasinya terlihat pada penderita mulai dari bayi sampai dengan ibu rumah tangga dengan latar belakang profesi dan usia yang beragam.

Mengingkari fakta tentang beragam praktek seksual tidak sah dan penyalah guna narkoba serta anggapan buruk (stigma) terhadap kedua aktivitas tersebut yang justru menyebarkan HIV sebagai hal yang tidak bermoral, kotor dan tidak dapat dibicarakan dengan mudah bisa menjadi bumerang bagi kelangsungan hidup warga gereja.

Keterbukaan, toleransi dan diskusi yang jujur mengenai seks dan narkoba menjadi penting ketika menangani masalah HIV-AIDS dengan efektif. Kebekuan berupa tidak tahu, cuek, bisu, bungkam dan penyangkalan terutama terhadap masalah yang sangat terkait dengan perilaku ini menjadi sangat berbahaya bagi kesehatan warga, sebab hal-hal ini merupakan bahan bakar bagi penyebaran infeksi HIV-AIDS.

Sikap dingin terhadap HIV-AIDS akan sama nilainya dengan sadar maupun tidak sadar memelihara ‘penyamun’, ‘pengkhianat’, ‘parasit’, pencemooh dan orang-orang munafik dalam lingkungan gereja dan organisasinya.

Banyak contoh kasus di Indonesia lebih khusus Sulut yang jika dicermati bersama  perlu mendapat perhatian ekstra dari gereja. Di antaranya adalah trafficking atau eksploitasi perempuan lokal ke luar daerah menjadi pekerja malam, bisnis prostitusi berkedok tempat hiburan malam, pemerkosaan/cabul terhadap anak-anak, seks bebas dikalangan pelajar dan mahasiswa (di tempat kost, dll), miras dan narkoba yang masih beredar secara ilegal.

Semua “budaya hitam” ini sangat berkolerasi dengan HIV-AIDS. Tragisnya, bukan saja individu rentan yang terpapar HIV namun juga orang di sekelilingnya bisa terkena imbas yang sangat merugikan.

Ditambah lagi masalah stigma dan diskriminasi dari masyarakat yang harus ditanggung penderita (ODHA) dan Orang yang Hidup Dengan Orang HIV-AIDS (OHIDHA).

Apakah fakta ini harus diacuhkan? Apakah gereja hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat realita yang dialami oleh sebagian umatnya? Apakah gereja hanya bisa
mengangguk-anggukkan kepala ketika mendengar ada anggota jemaatnya yang harus dikebumikan akibat epidemi ini? Apakah gereja akan ikut-ikutan mengutuk seorang penjahat seksual yang mati karena HIV-AIDS? Atau apakah tembok gereja terlalu megah sehingga menutupi pandangan mata terhadap realita ini?

Jika hal ini terjadi, maka gereja telah melakukan pengingkaran terhadap amanat agung Yesus Kristus yang berkata : “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku”.

Tanpa disadari kebekuan, salah informasi, dan prasangka buruk yang dicerminkan oleh gereja akan mengakibatkan terpeliharanya mitos-mitos mengenai HIV-AIDS maupun IMS (Infeksi Menular Seksual) yang berimplikasi pada lambannya perubahan perilaku kelompok masyarakat beresiko.

Banyak generasi kini, khususnya pemuda dan remaja, berada di persimpangan jalan perubahan dan mereka seringkali bingung membahas moralitas, seks, perkawinan, epidemi HIV-AIDS dan pergaulan tanpa bimbingan dari Tokoh Agama dalam gereja dan orang tua. Gereja bukan saja mempunyai sesuatu untuk dikatakan, tapi mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk melindungi umat  dari penyakit yang mematikan namun dapat dicegah ini.

Sangat tidak saleh dan tidak bermoral bila terjadi pembunuhan  terhadap istri/suami (sah maupun tidak) atau terhadap anak dan sesama manusia baik dengan senjata ataupun meracuni darah secara perlahan dengan HIV dan narkoba.

Bila seseorang belum dapat meninggalkan
kebiasaan buruknya yang terkait dengan epidemi HIV-AIDS, walau oleh berbagai agama dan gereja telah mengajarkan tentang hukum Tuhan,  maka segi moralitas menuntut orang itu untuk memodifikasi selera seksnya maupun penggunaan narkoba sehingga dapat mencegah atau meminimalisasi resiko terinfeksi serta menularkan HIV-AIDS.

Dilematis memang, bagaikan air dan minyak yang tidak dapat berbaur meski dalam satu wadah, demikian juga misi pencegahan dan penanggulangan IMS/HIV-AIDS yang diemban oleh petugas kesehatan termasuk aktivis dalam Aliansi LSM Peduli HIV-AIDS (ALPHA) dimana lebih berorientasi pada menurunkan perilaku beresiko tinggi walaupun tetap bertujuan untuk menghilangkan semua bentuk perilaku beresiko.

Berbeda dengan pandangan gereja yang langsung menekankan pada penghapusan dan peniadaan segala bentuk perilaku beresiko tinggi dan tidak mengakui jenis perilaku dan upaya apapun yang melanggar norma agama meskipun dapat menurunkan resiko penularan.

Namun ada sudut pandang Kristiani yang mengedepankan belas kasihan dan ada tanggung jawab moral untuk melindungi hidup serta meminimalkan penderitaan sesama. Karenanya dirasakan perlu memberikan informasi tentang seks dan pemakaian narkoba yang aman bagi mereka yang belum dapat keluar dari jaringan kebiasaan buruk disebabkan
berbagai alasan.

Konsep ini dapat diberikan dan diramu dengan cara sedemikian rupa agar tetap tercermin bahwa gereja tidak menyetujui praktek seksual di luar hukum dan penyalah guna narkoba tapi juga mendorong 2 perintah Tuhan : “Jangan berzinah dan Jangan membunuh (dengan menularkan HIV) dan tetap meneruskan Firman yang berkata “Ingat tubuhmu adalah bait Allah, jangan merusaknya”.

Menjadi tanggung jawab kita bersama pula (yang peduli, berkompeten, dan telah memahami HIV-AIDS) untuk membantu serta mendukung gereja dan masyarakat awam agar mengetahui tentang HIV-AIDS, terutama cara penularan, kehidupan yang rentan, cara menghadapi, serta akibat yang ditimbulkan oleh virus aneh ini.

Selain itu mempersiapkan diri dan masyarakat dalam hal penerimaan terhadap Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) maupun keluarganya (OHIDHA) tanpa adanya stigma dan diskriminasi. Saat ini banyak aktivis LSM peduli AIDS yang tergabung dalam Aliansi LSM Peduli HIV-AIDS (ALPHA) seperti YMM, YPK, PKBI, YBHK, LHS, ZPG, YBHK, LKKNU dan YHS sudah terjun ke kelompok-kelompok masyarakat yang diasumsikan komunitas berperilaku resiko tinggi, untuk memberikan informasi IMS/HIV-AIDS sekaligus penguatan dan pendampingan inter personal terhadap individu rentan terinfeksi.

Namun alangkah baiknya usaha ini dilegitimasi dan didukung oleh institusi agama, mengingat epidemi HIV
maupun IMS, prevalensinya sudah cukup tinggi di semua lapisan masyarakat.

Salah satu cara penyebarluasan informasi efektif yang dapat dilakukan gereja adalah dengan mengintegrasikan semua informasi dan fakta IMS/HIV-AIDS ke dalam khotbah, warta jemaat, maupun tata ibadah yang implementasinya langsung berhadapan dengan jemaat.

Sebagian kalangan mungkin berpendapat bahwa epidemi HIV hanya merupakan masalah kecil di antara persoalan-persoalan negara lainnya. Tetapi perlu diketahui bahwa akibat epidemi HIV berpengaruh yang besar terhadap berbagai aspek kehidupan berjemaat maupun bermasyarakat.

Implikiasinya akan dapat mempengaruhi semua sektor baik ekonomi, politik, sosial, budaya yang sebetulnya merupakan suatu kesatuan instrument yang sudah tertata dengan baik dalam pajanan suatu roda kehidupan bernegara.

Realita yang perlu juga dicermati adalah bahwa sebagian besar orang yang tertular HIV-AIDS berada pada usia produktif yaitu antara 17-45 tahun. Di Sulut, dari 646 ODHA sekitar 70 % penderitanya tergolong dalam usia produktif. Jumlah ini hanya merupakan angka yang terdeteksi, sedangkan yang belum terdeteksi keberadaannya diperkirakan jauh lebih besar.

Dan sepanjang kebekuan ini masih berlangsung, ODHA yang belum terdeteksi karena ketidaktahuan mereka atas apa yang dialaminya, dikhawatirkan akan terus menularkan virus ini ke orang lain lewat beragam perilaku beresiko yang dilakoninya. WHO merekomendasikan bahwa dimana ada 1 penderita (ODHA) maka ada 100 orang di sekitarnya yang ikut terinfeksi.

Mengingat pola berjangkitnya HIV sulit untuk dilihat dan pada tahun-tahun awal pengidapnya tidak menunjukkan gejala. Jika fenomena ini dibiarkan maka kita harus rela melihat anak-anak yang seharusnya berada di bangku sekolah dieksploitasi untuk bekerja oleh negara maupun industri, atau orang tua yang seharusnya menikmati masa pensiunnya dipanggil kembali menjalankan tugas/pekerjaan yang tidak lagi mampu diimbangi oleh otot dan otak mereka.

Jika gereja masih saja bungkam dan bisu terhadap epidemi ini, maka gereja pun harus bersiap-siap kehilangan banyak generasi muda yang sebetulnya diharapkan dapat meneruskan tongkat estafet kepelayanan. Imbas dari semua itu adalah kehancuran negara seperti yang dialami oleh negara-negara di bagian Afrika.

Sejak permulaan gereja dibentuk hingga masa reformasi dengan pergolakannya sampai saat ini, kebekuan seperti canggung, rasa malu, bisu serta tampilan sikap yang bermusuhan atas isu-isu seksual dapat membawa konsekuensi yang berbahaya.

Terhadap hal ini sang reformator Martin Luther dalam bukunya The Children In Society III menulis ; apabila kita tetap diam mengenai hal tersebut dan tetap menutup mata dan para pemuda diacuhkan sehingga anak-anak merekapun menjadi seperti binatang liar, adalah semua dikarenakan kebisuan kita dan kitalah yang harus mempertanggung jawabkannya.

Menyadari institusi agama  dan gereja yang mendukung norma-norma budaya positif serta menjadi sarana yang bisa membawa berbagai perubahan anggota jemaat, maka yang sekarang dibutuhkan adalah visi, keyakinan serta komitmen untuk melawan epidemi IMS/HIV-AIDS.

Lewat suatu perenungan dan refleksi yang mendalam mengenai tanggung jawab kita sebagai warga gereja, diharapkan kita mulai dapat mencairkan kebekuan, memecah kebisuan, rasa malu serta ketidakacuhan terhadap pandemi HIV-AIDS.

Gereja harus menangani isu dan meluruhkan sikap yang membentuk tirai kebungkaman serta yang paling penting mulai menyebarkan informasi dan fakta tentang pencegahan dan penanggulangan IMS/HIV-AIDS ke semua lapisan masyarakat.

Dilihat dari sudut pandang sosial, ekonomi dan keagamaan adalah tugas kita sebagai warga gereja untuk menganjurkan perilaku yang aman dan resmi dengan mendorong masyarakat untuk : menghindari hubungan seks pra nikah, saling setia dengan pasangan tetap yang resmi, menghindari hubungan seks sama sekali atau menerapkan cara hidup seksual yang aman sehingga mencegah kontak langsung cairan tubuh yang mengandung virus yang dapat menularkan, serta menghindari dan menghentikan kebiasaan menggunakan narkoba atau meminimalisasi penggunaan narkoba yang dapat berakibat tertular dan menularkan HIV.

Selain itu melakukan perluasan jangkauan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi seperti konseling, KB, pencegahan dan penanganan IMS, juga hal terkait lainnya yang dibutuhkan masyarakat.

Saya menulis atas nama perjuangan Pdt. Gideon Byamugisha, hamba Tuhan yang terinfeksi HIV yang dengan gigihnya melakukan berbagai upaya untuk memecah kebisuan gereja terhadap HIV-AIDS di negaranya meskipun harus menanggung berbagai stigma (cap buruk) seperti tidak bermoral, kurang waras, orang aneh, dsb. Tulisan ini juga lahir atas nama semua Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) dan keluarganya (OHIDHA) yang sementara berperang melawan HIV, stigma dan diskriminasi.

Saya menulis atas nama jutaan bayi dan anak-anak yang hidupnya singkat akibat tertular HIV dan yang harus kehilangan orang tuanya akibat maut HIV-AIDS. Saya menulis atas nama masyarakat dunia yang telah menjadi donatur, menyisihkan sebagian uangnya untuk membantu berbagai lembaga di negara manapun yang peduli HIV-AIDS.

Saya juga menulis atas nama rekan-rekan aktivis yang tergabung dalam Aliansi LSM Peduli HIV-AIDS (ALPHA) dengan semangat menjangkau dan mendampingi masyarakat supaya terhindar dari epidemi IMS/HIV-AIDS dan terbebaskan dari stigma dan diskriminasi. Saya menulis atas nama generasi muda yang belum menyadari bahaya HIV-AIDS yang sudah ada di sekelilingnya.

Karenanya, jika kita peduli dan merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan sesama  mulailah berbuat  untuk melawan epidemi virus yang bernama Human Immunodeficiency Virus ini.

Segenap tokoh agama harus mencairkan kebekuan sikap dan pandangan agar tidak ada kesan hanya berlindung dibalik kokoh dan megahnya gedung Gereja.

Dengan demikian kita mengaplikasikan sepenuhnya firman Tuhan dalam Matius 25:40 “…Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk-Ku”. Renungkanlah …


* Pengelola Program KPAP Sulut & Wasek Panitia Konas PGI.



Sumber:http://manado.antaranews.com/berita/13468/mencairkan-kebekuan-gereja-terhadap-hiv-aids