UskupAgung Kupang Mgr Petrus Turang |
KUPANG (NTT) - Hari Minggu (26/9/2010) pagi, Rm Bento, yang ditemui di Pastoran Sta. Maria Mater Dei Oepoli tampak tegar dalam menghadapi penganiayaan yang dideritanya. Imam muda ini sudah terlihat tenang. Namun kondisi traumatis dan tekanan psikologis belum hilang.
Kepada Pos Kupang, Rm. Bento mengatakan, dia bersama umatnya sama sekali tidak menyangka akan menghadapi kejadian seperti itu. Tetapi, sesaat sebelum kejadian dia merasakan ada firasat kalau akan terjadi sesuatu yang menimpanya.
Rm. Bento menuturkan, kejadian itu terjadi pada pukul 19.10 Wita, Kamis (23/9/2010) malam bertempat di paroki setempat. Saat itu bertepatan dengan persiapan penerimaan imam baru, Rm. Simon Tamelab, Pr yang baru ditahbiskan menjadi imam di Gereja Katedral Kristus Raja Kupang pada 21 September 2010. Pada saat itu tiga oknum TNI AD yang bertugas di perbatasan di wilayah Oepoli membuat keributan.
Sekitar pukul 18:20 Wita, ada seorang ibu bernama Yuli yang kurang waras berteriak-teriak di sekitar gereja. "Saat itu saya pikir imam baru sudah tiba sehingga saya masuk pakai jubah. Saat saya keluar saya panggil Ketua Dewan Pastoral Paroki (DPP), Wens Parera, meminta umat bakar lilin sebanyak delapan batang di Gua Maria. Saat itu juga masih terdengar rebut-ribut di luar," tutur Rm Bento.
Saat itu, baik di dalam gereja maupun di halaman umat sedang- sedang bersiap-siap menjemput imam baru. Rm. Bento yang sudah mengenakan jubah keluar dari dalam kamarnya. Dia dipanggil oleh seorang anak remaja yang memberitahukan kepadanya kalau ada oknum tentara yang ribut di luar.
"Saat saya keluar, ketiga oknum tentara itu sudah ada di halaman rumah pastoran dan ada juga di lopo depan pastoran. Saya hendak menghampiri mereka, namun satu di antara mereka mendorong saya dengan tongkat (kayu kudung berukuran sekitar 50 cm)," katanya.
Romo Bento kaget. Dia tidak menyangka diperlakukan seperti itu. Seorang dari tiga oknum tentara itu, kata Rm. Bento, mendekatinya, sehingga oknum tentara yang hendak memukulnya dengan kayu kudung itu tidak langsung mengenai tubuhnya. Tapi pukulan kayu itu sempat terbentur kemudian mengenai bahu kiri Romo Bento.
"Pada kesempatan itu umat langsung bereaksi menolong saya, sedangkan dua anggota TNI langsung melarikan diri, satunya sempat ditangkap umat. Sebelum ditangkap, oknum TNI yang satu itu memeluk saya dan katakan saya juga umat Katolik. Saat itu saya juga peluk dan amankan. Memang sebelum saya minta umat bakar lilin di Gua Maria, saya sudah punya firasat akan terjadi sesuatu di tengah-tengah kami," tuturnya.
Ketika mengisahkan kejadian yang dialaminya kepada Pos Kupang, kemarin, Rm. Bento didampingi Rm. Gusti Bastian, Pr dan Rm. Simon Tamelab, Pr. Rm. Bento mengenakan bajo kaos hitam berkrah, dipadu celana hitam. Dia tenang dengan ekspresi yang meyakinkan adanya semangat. Ini dilakukan guna memotivasi umat di paroki setempat agar tidak berkecil hati menghadapi kenyataan yang dialaminya.
Ketika disapa Rm. Leo Mali, Pr, semangat Rm. Bento bangkit lagi. Sebagai gembala umat, dia harus bangkit.
Rm Leo juga sempat memberi pencerahan kepada umat setempat, baik saat misa maupun dalam pertemuan non formil. Umat juga merasa kuat dengan kehadiran Rm. Leo Mali, Pr yang juga membawa berita pernyataan sikap dari Unio Imam Projo Keuskupan Agung Kupang.
Sebagai orang yang menjadi panutan, Rm. Bento selalu mengedepankan keadilan dan kebenaran terhadap umatnya, apalagi bila ada umat yang tertekan atau menemui masalah. Dalam berbagai kesempatan Rm. Bento selalu menegur dan mengarahkan umat ketika ada umat yang datang mengadu soal sikap dari oknum TNI di perbatasan.
Rm. Bento sendiri tidak bisa menolak apabila ada umat yang datang menyampaikan unek-unek atau masalah yang dihadapi. Masalah yang paling sering dikeluhkan adalah ancaman dari oknum tentara. Meski begitu, Rm. Bento selalu mengarahkan umatnya untuk menghargai dan menghormati aparat keamanan yang bertugas di sana. (yel)
Minta Jaminan Keamanan
PASCA penganiayaan Pastor Paroki Sta. Maria Mater Dei, Oepoli, umat setempat meminta jaminan keamanan. Sampai kemarin mereka umumnya masih dilanda ketakutan.
Permintaan itu disampaikan sejumlah tokoh masyarakat Oepoli kepada Pos Kupang di Oepoli, Minggu (26/9/2010). Menurut mereka, sejak kejadian Kamis lalu, sebagian besar warga Oepoli belum berani meninggalkan rumah seperti ke sawah atau ladang. Mereka lebih memilih tinggal di dalam rumah.
"Saya juga melihat masyarakat di sini masih dilanda kecemasan. Takut keluar rumah. Jaminan keamanan itu sangat penting agar mereka dapat beraktivitas kembali seperti biasa," kata Romo Leo Mali, Pr, yang tiba di Oepoli, Minggu (26/9/2010) pagi.
Pada Minggu sore Romo Leo Mali, Pr memimpin misa di Gereja Mater Dei Oepoli. Seperti disaksikan Pos Kupang, umat Katolik Oepoli sangat antusias menyambut kehadiran Romo Leo Mali dan rombongan dari Kupang. Mereka merasa mendapat dukungan moril.
Sementara kondisi Rm. Bento sudah membaik. Romo Bento secara pribadi memaafkan ketiga pelaku yang telah menganiayanya. Namun, Romo Bento dan umat Katolik di Oepoli mengharapkan pimpinan TNI konsekwen dengan janji untuk memroses hukum ketiga pelaku secara adil.
Ditarik
Reaksi negatif atas peristiwa itu datang berbagai kalangan. Di Kupang, umat Stasi Fransiskus Asisi, BTN Kolhua, mendesak agar Batalyon 742 segera ditarik dari perbatasan karena tidak memahami karakteristik budaya warga Oepoli, di perbatasan Kabupaten Kupang dengan Enclave Distrik Oekusi, Negara Timor Leste.
Dalam rapat di Gereja Stasi Fransiskus Asisi, kemarin, umat BTN Kolhua menyatakan empat sikap lainnya, pertama, umat menyesalkan dan mengutuk keras peristiwa pemukulan terhadap Romo Bento. Kedua, meminta Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr, untuk menyurati Presiden RI tentang kasus penganiayaan ini yang tembusannya disampaikan kepada Panglima TNI, Pangdam Udayana, Gubernur NTT dan Danrem 161 Wirasakti Kupang.
Ketiga, peristiwa ini sangat mengganggu toleransi kehidupan umat beragama yang telah dibangun dan dijaga umat Katolik di NTT. Keempat, menuntut agar penyelesaian masalah ini dilakukan secara adat di hadapan umat Katolik secara khusus dan masyarakat secara umum di Oepoli yang disaksikan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah baik kabupaten maupun Pemprop NTT. Kegelisahan ini muncul karena kasus pemukulan terhadap pastor telah berulangkali. Sebelum kasus penganiayaan terhadap Romo Bento, juga telah terjadi kasus pemukulan yang sama oleh oknum TNI terhadap seorang pastor di Pulau Rote beberapa bulan lalu.
Kepada Pos Kupang, Rm. Bento mengatakan, dia bersama umatnya sama sekali tidak menyangka akan menghadapi kejadian seperti itu. Tetapi, sesaat sebelum kejadian dia merasakan ada firasat kalau akan terjadi sesuatu yang menimpanya.
Rm. Bento menuturkan, kejadian itu terjadi pada pukul 19.10 Wita, Kamis (23/9/2010) malam bertempat di paroki setempat. Saat itu bertepatan dengan persiapan penerimaan imam baru, Rm. Simon Tamelab, Pr yang baru ditahbiskan menjadi imam di Gereja Katedral Kristus Raja Kupang pada 21 September 2010. Pada saat itu tiga oknum TNI AD yang bertugas di perbatasan di wilayah Oepoli membuat keributan.
Sekitar pukul 18:20 Wita, ada seorang ibu bernama Yuli yang kurang waras berteriak-teriak di sekitar gereja. "Saat itu saya pikir imam baru sudah tiba sehingga saya masuk pakai jubah. Saat saya keluar saya panggil Ketua Dewan Pastoral Paroki (DPP), Wens Parera, meminta umat bakar lilin sebanyak delapan batang di Gua Maria. Saat itu juga masih terdengar rebut-ribut di luar," tutur Rm Bento.
Saat itu, baik di dalam gereja maupun di halaman umat sedang- sedang bersiap-siap menjemput imam baru. Rm. Bento yang sudah mengenakan jubah keluar dari dalam kamarnya. Dia dipanggil oleh seorang anak remaja yang memberitahukan kepadanya kalau ada oknum tentara yang ribut di luar.
"Saat saya keluar, ketiga oknum tentara itu sudah ada di halaman rumah pastoran dan ada juga di lopo depan pastoran. Saya hendak menghampiri mereka, namun satu di antara mereka mendorong saya dengan tongkat (kayu kudung berukuran sekitar 50 cm)," katanya.
Romo Bento kaget. Dia tidak menyangka diperlakukan seperti itu. Seorang dari tiga oknum tentara itu, kata Rm. Bento, mendekatinya, sehingga oknum tentara yang hendak memukulnya dengan kayu kudung itu tidak langsung mengenai tubuhnya. Tapi pukulan kayu itu sempat terbentur kemudian mengenai bahu kiri Romo Bento.
"Pada kesempatan itu umat langsung bereaksi menolong saya, sedangkan dua anggota TNI langsung melarikan diri, satunya sempat ditangkap umat. Sebelum ditangkap, oknum TNI yang satu itu memeluk saya dan katakan saya juga umat Katolik. Saat itu saya juga peluk dan amankan. Memang sebelum saya minta umat bakar lilin di Gua Maria, saya sudah punya firasat akan terjadi sesuatu di tengah-tengah kami," tuturnya.
Ketika mengisahkan kejadian yang dialaminya kepada Pos Kupang, kemarin, Rm. Bento didampingi Rm. Gusti Bastian, Pr dan Rm. Simon Tamelab, Pr. Rm. Bento mengenakan bajo kaos hitam berkrah, dipadu celana hitam. Dia tenang dengan ekspresi yang meyakinkan adanya semangat. Ini dilakukan guna memotivasi umat di paroki setempat agar tidak berkecil hati menghadapi kenyataan yang dialaminya.
Ketika disapa Rm. Leo Mali, Pr, semangat Rm. Bento bangkit lagi. Sebagai gembala umat, dia harus bangkit.
Rm Leo juga sempat memberi pencerahan kepada umat setempat, baik saat misa maupun dalam pertemuan non formil. Umat juga merasa kuat dengan kehadiran Rm. Leo Mali, Pr yang juga membawa berita pernyataan sikap dari Unio Imam Projo Keuskupan Agung Kupang.
Sebagai orang yang menjadi panutan, Rm. Bento selalu mengedepankan keadilan dan kebenaran terhadap umatnya, apalagi bila ada umat yang tertekan atau menemui masalah. Dalam berbagai kesempatan Rm. Bento selalu menegur dan mengarahkan umat ketika ada umat yang datang mengadu soal sikap dari oknum TNI di perbatasan.
Rm. Bento sendiri tidak bisa menolak apabila ada umat yang datang menyampaikan unek-unek atau masalah yang dihadapi. Masalah yang paling sering dikeluhkan adalah ancaman dari oknum tentara. Meski begitu, Rm. Bento selalu mengarahkan umatnya untuk menghargai dan menghormati aparat keamanan yang bertugas di sana. (yel)
Minta Jaminan Keamanan
PASCA penganiayaan Pastor Paroki Sta. Maria Mater Dei, Oepoli, umat setempat meminta jaminan keamanan. Sampai kemarin mereka umumnya masih dilanda ketakutan.
Permintaan itu disampaikan sejumlah tokoh masyarakat Oepoli kepada Pos Kupang di Oepoli, Minggu (26/9/2010). Menurut mereka, sejak kejadian Kamis lalu, sebagian besar warga Oepoli belum berani meninggalkan rumah seperti ke sawah atau ladang. Mereka lebih memilih tinggal di dalam rumah.
"Saya juga melihat masyarakat di sini masih dilanda kecemasan. Takut keluar rumah. Jaminan keamanan itu sangat penting agar mereka dapat beraktivitas kembali seperti biasa," kata Romo Leo Mali, Pr, yang tiba di Oepoli, Minggu (26/9/2010) pagi.
Pada Minggu sore Romo Leo Mali, Pr memimpin misa di Gereja Mater Dei Oepoli. Seperti disaksikan Pos Kupang, umat Katolik Oepoli sangat antusias menyambut kehadiran Romo Leo Mali dan rombongan dari Kupang. Mereka merasa mendapat dukungan moril.
Sementara kondisi Rm. Bento sudah membaik. Romo Bento secara pribadi memaafkan ketiga pelaku yang telah menganiayanya. Namun, Romo Bento dan umat Katolik di Oepoli mengharapkan pimpinan TNI konsekwen dengan janji untuk memroses hukum ketiga pelaku secara adil.
Ditarik
Reaksi negatif atas peristiwa itu datang berbagai kalangan. Di Kupang, umat Stasi Fransiskus Asisi, BTN Kolhua, mendesak agar Batalyon 742 segera ditarik dari perbatasan karena tidak memahami karakteristik budaya warga Oepoli, di perbatasan Kabupaten Kupang dengan Enclave Distrik Oekusi, Negara Timor Leste.
Dalam rapat di Gereja Stasi Fransiskus Asisi, kemarin, umat BTN Kolhua menyatakan empat sikap lainnya, pertama, umat menyesalkan dan mengutuk keras peristiwa pemukulan terhadap Romo Bento. Kedua, meminta Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr, untuk menyurati Presiden RI tentang kasus penganiayaan ini yang tembusannya disampaikan kepada Panglima TNI, Pangdam Udayana, Gubernur NTT dan Danrem 161 Wirasakti Kupang.
Ketiga, peristiwa ini sangat mengganggu toleransi kehidupan umat beragama yang telah dibangun dan dijaga umat Katolik di NTT. Keempat, menuntut agar penyelesaian masalah ini dilakukan secara adat di hadapan umat Katolik secara khusus dan masyarakat secara umum di Oepoli yang disaksikan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah baik kabupaten maupun Pemprop NTT. Kegelisahan ini muncul karena kasus pemukulan terhadap pastor telah berulangkali. Sebelum kasus penganiayaan terhadap Romo Bento, juga telah terjadi kasus pemukulan yang sama oleh oknum TNI terhadap seorang pastor di Pulau Rote beberapa bulan lalu.
Sumber: Pos Kupang.com