Monday, 27 September 2010

Monday, September 27, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Umat Paroki Klepu Memberi dari Kekurangannya.
JAKARTA -Umat yang sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan pekerja lapangan, akhirnya mempunyai kekuatan untuk bahu-membahu membangun gereja berikut pastoran dan segala sarananya. Maklum, bangunan gereja dan pastoran di paroki ini telah diluluhlantakkan oleh gempa besar yang melanda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2006.

Gereja ini adalah Paroki St Petrus & Paulus Klepu, yang berlokasi sekitar 20 kilometer sebelah barat Kota Yogyakarta. Tepatnya di Dusun Klepu, Minggir, Sleman. Hingga tahun 2009, umat Katolik di paroki ini berjumlah 8.881 orang. Uniknya, paroki ini telah melahirkan tiga uskup, yaitu Kardinal Darmoyuwono (alm), Mgr Aloysius Sudarso SCJ (Uskup Agung Palembang), dan Mgr Yulianus Kema Sunarka SJ (Uskup Purwokerto), serta melahirkan 54 pastor, 31 bruder, dan 114 suster.

Sayangnya, bencana gempa mengakibatkan gereja ini rusak parah, terlebih lagi karena bangunannya dibangun tahun 1950-an. Kemudian, umat dari berbagai penjuru dusun bergotong-royong memperbaiki kerusakan itu, sekadar agar bangunannya tidak semakin membahayakan umat.

Akhirnya, umat paroki ini berniat untuk melakukan renovasi total terhadap gedung gereja ini, dan pada 29 Juni 2009 Mgr Ignatius Suharyo Pr yang kala itu menjadi UskupAgung Semarang, meneguhkan tekad umat itu. Untuk itu, mulai saat itu segala potensi umat dikerahkan untuk pengumpulan dana.

Bagi yang kesulitan secara ekonomi, mereka menyumbangkan tenaganya secara gotong-royong. Kehidupan menggereja yang mendalam ini menginspirasi para umat Klepu yang tinggal di Jabodetabek (Paguyuban Umat Katolik Klepu, Jakarta/Gumathok) untuk turut menggalang dana bagi pembangunan gereja. Untuk itu, kemudian mereka bekerja sama dengan Wayang Orang Bharata, menyelenggarakan Pagelaran Wayang Orang di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada Kamis malam, 26 Agustus 2010 lalu.

“Kalau sudah kepepet, usaha apa pun dilakukan asalkan halal. Semangat inilah yang mendorong Romo Sulistiadi, Pr (Paroki St Ignatius, Menteng), dan Romo Andreas Suhana Nitiprawira, CSsR (Paroki Nandan Yogyakarta) untuk ikut memeriahkan pentas wayang orang itu dengan berperan sebagai Petruk dan Semar. Hasil dari tiket penjualan itu disumbangkan seluruhnya untuk Paroki Klepu.

“Petroek Ngimpi”       
Pergelaran wayang orang ini mengambil tajuk “Petroek Ngimpi”, untuk mengingatkan para pemimpin di negeri ini. Para pemainnya juga melibatkan Persatuan Wartawan Katolik Indonesia (PWKI).

Petruk adalah simbol rakyat kecil yang gelisah melihat kondisi negaranya yang kurang baik. Ia ingin mengingatkan pemimpin negerinya supaya memperhatikan nasib rakyatnya, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Untuk itu, kemudian Petruk berkoalisi dengan Semar, Bagong, dan Gareng, berunjuk rasa memprotes para pemimpin negara. Akibatnya, para dewa dan petinggi negeri merasa terancam sehingga bertekad menghentikan manuver Petruk.

Selanjutnya, Petruk terpaksa menggunakan politik “atas nama”. Ia memakai pengaruh Semar untuk mencapai cita-citanya itu. Petruk menggunakan “mulut” Semar, karena Semar dipercaya kata-katanya. Ia mengingatkan para pemimpin bahwa rakyat rindu kedamaian, ketenteraman, dan negeri yang tata titi tentrem kertaraharja. Manakala cita-cita itu tercapai, sayangnya, Petruk hanya bermimpi. Nyatanya, ia menghadapi kehidupan di negeri yang penuh KKN, para pemimpin terjerat dekadensi moral, banyaknya pengadilan manipulatif serta sumpah palsu. Pendek kata, ia tinggal di negeri yang penuh dengan intrik politik dan skandal.

Sumber: Sinar Harapan