Hampir seratus orang pendeta, penatua dan tokoh jemaat HKBP dari berbagai daerah mengadakan diskusi terbuka di Grya Dome Medan, Selasa (7/9) membahas tentang Sinode Godang HKBP dengan agenda Amandemen terhadap Aturan Peraturan (AP) HKBP Tahun 2002 yang direncanakan berlangsung 14-16 September 2010 di Seminarium Sipoholon Taput.
Tampil sebagai pembicara dalam acara itu mantan Ephorus (Ephorus Emeritus) HKBP Pdt Dr SAE Nababan yang melakukan tinjauan dari sisi Theologis dan Dr Januari Siregar SH, Mhum dengan tinjauan perspektif hukum, serta moderator Pdt Elieser Siregar.
Usai kebaktian singkat, Kordinator Panitia Pdt JP Sibuea menyebutkan pertemuan itu merupakan diskusi terbuka, dan sebelumnya telah ada pemberitahuan kepada Tim Amandemen Pusat maupun Praeses. Acara, katanya, bertujuan untuk membekali dan memperkaya pemahaman para sinodistan, sehingga dalam Sinode Godang Amandemen nantinya dapat mengambil keputusan yang benar-benar bermanfaat bagi kepentingan HKBP ke depan.
Pdt Dr SAE NABABAN: IMPOSIBLE MISSION
Mantan Ephorus HKBP Pdt Dr SAE Nababan dalam paparannya menjelaskan, ada 5 (lima) poin penting yang ia catat menyangkut rencana Sinode Godang Amandemen HKBP dalam waktu dekat ini.
Pertama, apa sebenarnya keputusan Sinode Godang 2008 yang dijadikan dasar pelaksanaan Sinode Godang Amandemen Aturan Peraturan HKBP? Keputusan sinode, menurutnya, harus sudah sampai ke jemaat. Sebab bila tidak, pembicaraan tentang amandemen bisa jadi bola liar atau tidak sesuai dengan yang diamanatkan.
Kedua, ada ketidakjelasan jumlah pasal atau pokok yang akan diamandemen. Informasi tentang pokok yang akan diamandemen berubah-ubah, kadang lima, tujuh, delapan dan terakhir sembilan. “Tidak bisa diikuti ini, mungkin karena saya sudah tua,” katanya dengan nada bertanya.
Ketiga, waktu untuk membahas hingga memutuskan pokok-pokok yang diamandemen sangat singkat. Meski berlangsung dari 14-16 September, tetapi waktu efektif untuk memutuskan amandemen hanya 8,5 (delapan setengah) jam. Karena hari pertama hanya registrasi dan orientasi, sedangkan hari ketiga penutupan dan perjamuan kudus.
Sebagai orang yang telah memimpin dan melakukan perubahan AD/ART atau Aturan Peraturan HKBP, PGI hingga Dewan Gereja se-Dunia, SAE Nababan mengaku tidak mampu melakukan semua itu dalam waktu hanya delapan setengah jam. “Ini imposible mission,” tegasnya. Ia pun menengarai peserta sinode nantinya hanya memutuskan/menyetujui apa yang telah dikonsep sebelumnya, tanpa melalui pembahasan di rapat-rapat komisi.
Keempat, penjelasan dan pemikiran mengenai amandemen oleh Tim Amandemen Pusat sebaiknya tidak dimasukkan dalam agenda Sinode Godang karena mengarah ke hal-hal “Hirarki” dengan menggunakan istilah-istilah yang kurang tepat. Kadang disebut pemikiran harus terpusat (sentralistik) tetapi di bagian lain lagi disebut desentralisasi. Contoh lain, ada disebut pemikiran etimologis, yang seharusnya epistologis.
“Jadi yang wajar-wajar sajalah, biar jangan diketawai orang,” ujar SAE Nababan seraya mencontohkan seorang warga jemaat HKBP yang merasa sangat bangga karena irama lagu dalam Buku Ende HKBP dinyanyikan jemaat gereja di Jerman saat kebaktian. Si jemaat HKBP tidak tahu bahwa lagu tersebut berasal dari Jerman.
Kelima, Sinode Godang Amandemen meninggalkan kesan bahwa yang paling penting adalah masa kerja (periodisasi) Ephorus/Sekjen HKBP. Menurutnya, ada upaya untuk merubah masa kerja Ephorus/Sekjen dari 4 tahun menjadi lima atau enam tahun. Hal itu terlihat dari penjelasan bahwa masa kerja Ephorus/Sekjen berulang-ulang ditulis …. (titik titik atau dikosongkan) padahal sudah ditetapkan empat tahun. “Kenapa gak diisi empat tahun?” katanya, seraya menyebut untuk perubahan itu harus ada alasan yang jelas, kalau tidak, akan ditertawakan dunia.
Ia menegaskan, seandainya pun masa periode Ephorus/Sekjen disetujui jadi 6 (enam) tahun dalam Sinode Godang Amandemen, keputusan itu tidak berlaku surut. Yakni yang sudah dipilih tahun 2008, masa jabatannya tidak bisa hingga 2014.
Menyangkut syarat menjadi Ephorus/Sekjen harus yang sudah pernah menduduki jabatan tertentu, misalnya sudah pernah jadi praeses, SAE Nababan menilainya sangat militeristik. Itu tidak benar dan tidak cocok karena membatasi. Sebab belum tentu seorang yang sudah pernah jadi Praeses atau jenjang-jenjang lainnya, akan mampu jadi Ephorus/Sekjen. Apalagi bila ditinjau dari segi talentanya. “Jadi jangan mampu karena dipilih, tetapi hendaknya dipilih karena mampu. Itu berbeda,” tegasnya.
Di akhir paparannya, Pdt Dr SAE Nababan memberi saran agar sinodistan menghargai hasil kerja komisi atau tim amandemen, karena mereka melaksanakan tugas yang sangat berat, bahkan mission imposible. Namun demikian sinodistan harus juga konstruktif dan mencari jalan keluar. Musti ada kesadaran, bahwa bila dipaksakan, HKBP bisa makin semrawut. Pemikiran yang militeristik dan bukan gerejawi jangan diikuti.
Selain itu, harus disepakati dulu apa saja yang menjadi pokok-pokok amandemen. Misalnya untuk pengawasan pimpinan dibicarakan dulu. Pimpinan perlu dikritisi. Kemudian pengaturan mutasi pendeta harus ditetapkan. Sebab ada pemikiran Praeses dipilih oleh Pendeta Huria, sehingga peran dan struktur Pendeta Resort jadi tidak jelas.
Penempatan komisi-komisi hendaknya didasarkan pada kemampuan dan bidang masing-masing. Selanjutnya, dilakukan perbandingan dengan pokok bahasan. Misalnya, apakah masih wajar makalah yang cukup tebal dipelajari dalam waktu setengah jam. Dan terakhir, hendaknya seluruh peserta menghayati tema Sinode. Bila hasil keputusan Sinode bertentangan dengan yang sebenarnya, jutaan jemaat HKBP tidak akan terima. “Jangan ada penyesalan, sesal kemudian tidak berguna,” tandasnya.
TIDAK BERLAKU SURUT
Sementara itu, Dr Januari Siregar SH, MHum dalam tinjauan perspektif hukum menyimpulkan bahwa Sinode Agung HKBP 2008 adalah sah adanya, yang membawa konsekwensi semua keputusan Sinode Agung HKBP 2008 adalah sah, termasuk keputusan yang memuat rekomendasi Amandemen Aturan Peraturan HKBP 2002 juga sah adanya dan dapat dijadikan dasar dalam melaksanakan Amandemen Aturan Peraturan HKBP 2002.
Namun menurut Januari, juga perlu dilakukan tinjauan terhadap substansi amandemen yang direkomendasikan salah satu keputusan Sinode Agung HKBP 2008, yang dapat dilihat dari redaksi rekomendasi itu sendiri. Hal tersebut diperlukan guna menilai sah tidaknya amandemen secara substansif, sehingga tidak menyimpang dari rekomendasi yang diamanatkan.
Sebab, setiap penyimpangan substansi tentu saja membawa konsekuensi hukum, bahwa penyimpangan tersebut tidak memiliki dasar keabsahan sehingga pelaksanaan dari Amandemen Peraturan HKBP 2002 yang akan dilaksanakan juga menjadi tidak sah adanya.
“Perubahan dalam bentuk Amandemen Aturan Peraturan HKBP 2002 dapat dilaksanakan sepanjang hal tersebut dapat menjaga, memelihara, meningkatkan kesatuan dan persatuan serta perdamaian dalam pelayanan ibadah dalam rangka rangka perwujudan tri tugas pangguilan gereja. Berbuatlah yang terbaik, tanpa berkeinginan menjadi yang terbaik,” simpulnya.
Menanggapi pertanyaan, apakah bila Sinode Amandemen memutuskan masa kerja periode Ephorus/Sekjen menjadi 6 (enam) tahun maka Ephorus/Sekjen sekarang (terpilih 2008) akan bertugas hingga 2014, penyandang gelar S3 dari Fak Hukum USU itu menyatakan, secara hukum keputusan tidak berlaku surut. Jadi yang terpilih 2008 tetap melaksanakan tugasnya selama empat tahun, sebagaimana diatur dalam AP HKBP yang belum diamandemen.
Meski berlangsung empat jam lebih, peserta diskusi tetap tekun dan tidak ada yang meninggalkan lokasi. Pertanyaan maupun saran tentang tata cara pemilihan Ephorus/Sekjen juga mengemuka. Ada yang mengusulkan agar melalui cabut nama saja (manjomput nasinurat), karena dengan demikian peran TS (Tim Sukses) ataupun politik balas jasa tidak berlaku lagi. Ada juga yang mengkritik bahwa laporan tentang keuangan Pusat HKBP tidak pernah lagi diketahui jemaat, Majelis Pekerja Sinode (MPS) dinilai kurang berfungsi dan lain-lain.
Tampil sebagai pembicara dalam acara itu mantan Ephorus (Ephorus Emeritus) HKBP Pdt Dr SAE Nababan yang melakukan tinjauan dari sisi Theologis dan Dr Januari Siregar SH, Mhum dengan tinjauan perspektif hukum, serta moderator Pdt Elieser Siregar.
Usai kebaktian singkat, Kordinator Panitia Pdt JP Sibuea menyebutkan pertemuan itu merupakan diskusi terbuka, dan sebelumnya telah ada pemberitahuan kepada Tim Amandemen Pusat maupun Praeses. Acara, katanya, bertujuan untuk membekali dan memperkaya pemahaman para sinodistan, sehingga dalam Sinode Godang Amandemen nantinya dapat mengambil keputusan yang benar-benar bermanfaat bagi kepentingan HKBP ke depan.
Pdt Dr SAE NABABAN: IMPOSIBLE MISSION
Mantan Ephorus HKBP Pdt Dr SAE Nababan dalam paparannya menjelaskan, ada 5 (lima) poin penting yang ia catat menyangkut rencana Sinode Godang Amandemen HKBP dalam waktu dekat ini.
Pertama, apa sebenarnya keputusan Sinode Godang 2008 yang dijadikan dasar pelaksanaan Sinode Godang Amandemen Aturan Peraturan HKBP? Keputusan sinode, menurutnya, harus sudah sampai ke jemaat. Sebab bila tidak, pembicaraan tentang amandemen bisa jadi bola liar atau tidak sesuai dengan yang diamanatkan.
Kedua, ada ketidakjelasan jumlah pasal atau pokok yang akan diamandemen. Informasi tentang pokok yang akan diamandemen berubah-ubah, kadang lima, tujuh, delapan dan terakhir sembilan. “Tidak bisa diikuti ini, mungkin karena saya sudah tua,” katanya dengan nada bertanya.
Ketiga, waktu untuk membahas hingga memutuskan pokok-pokok yang diamandemen sangat singkat. Meski berlangsung dari 14-16 September, tetapi waktu efektif untuk memutuskan amandemen hanya 8,5 (delapan setengah) jam. Karena hari pertama hanya registrasi dan orientasi, sedangkan hari ketiga penutupan dan perjamuan kudus.
Sebagai orang yang telah memimpin dan melakukan perubahan AD/ART atau Aturan Peraturan HKBP, PGI hingga Dewan Gereja se-Dunia, SAE Nababan mengaku tidak mampu melakukan semua itu dalam waktu hanya delapan setengah jam. “Ini imposible mission,” tegasnya. Ia pun menengarai peserta sinode nantinya hanya memutuskan/menyetujui apa yang telah dikonsep sebelumnya, tanpa melalui pembahasan di rapat-rapat komisi.
Keempat, penjelasan dan pemikiran mengenai amandemen oleh Tim Amandemen Pusat sebaiknya tidak dimasukkan dalam agenda Sinode Godang karena mengarah ke hal-hal “Hirarki” dengan menggunakan istilah-istilah yang kurang tepat. Kadang disebut pemikiran harus terpusat (sentralistik) tetapi di bagian lain lagi disebut desentralisasi. Contoh lain, ada disebut pemikiran etimologis, yang seharusnya epistologis.
“Jadi yang wajar-wajar sajalah, biar jangan diketawai orang,” ujar SAE Nababan seraya mencontohkan seorang warga jemaat HKBP yang merasa sangat bangga karena irama lagu dalam Buku Ende HKBP dinyanyikan jemaat gereja di Jerman saat kebaktian. Si jemaat HKBP tidak tahu bahwa lagu tersebut berasal dari Jerman.
Kelima, Sinode Godang Amandemen meninggalkan kesan bahwa yang paling penting adalah masa kerja (periodisasi) Ephorus/Sekjen HKBP. Menurutnya, ada upaya untuk merubah masa kerja Ephorus/Sekjen dari 4 tahun menjadi lima atau enam tahun. Hal itu terlihat dari penjelasan bahwa masa kerja Ephorus/Sekjen berulang-ulang ditulis …. (titik titik atau dikosongkan) padahal sudah ditetapkan empat tahun. “Kenapa gak diisi empat tahun?” katanya, seraya menyebut untuk perubahan itu harus ada alasan yang jelas, kalau tidak, akan ditertawakan dunia.
Ia menegaskan, seandainya pun masa periode Ephorus/Sekjen disetujui jadi 6 (enam) tahun dalam Sinode Godang Amandemen, keputusan itu tidak berlaku surut. Yakni yang sudah dipilih tahun 2008, masa jabatannya tidak bisa hingga 2014.
Menyangkut syarat menjadi Ephorus/Sekjen harus yang sudah pernah menduduki jabatan tertentu, misalnya sudah pernah jadi praeses, SAE Nababan menilainya sangat militeristik. Itu tidak benar dan tidak cocok karena membatasi. Sebab belum tentu seorang yang sudah pernah jadi Praeses atau jenjang-jenjang lainnya, akan mampu jadi Ephorus/Sekjen. Apalagi bila ditinjau dari segi talentanya. “Jadi jangan mampu karena dipilih, tetapi hendaknya dipilih karena mampu. Itu berbeda,” tegasnya.
Di akhir paparannya, Pdt Dr SAE Nababan memberi saran agar sinodistan menghargai hasil kerja komisi atau tim amandemen, karena mereka melaksanakan tugas yang sangat berat, bahkan mission imposible. Namun demikian sinodistan harus juga konstruktif dan mencari jalan keluar. Musti ada kesadaran, bahwa bila dipaksakan, HKBP bisa makin semrawut. Pemikiran yang militeristik dan bukan gerejawi jangan diikuti.
Selain itu, harus disepakati dulu apa saja yang menjadi pokok-pokok amandemen. Misalnya untuk pengawasan pimpinan dibicarakan dulu. Pimpinan perlu dikritisi. Kemudian pengaturan mutasi pendeta harus ditetapkan. Sebab ada pemikiran Praeses dipilih oleh Pendeta Huria, sehingga peran dan struktur Pendeta Resort jadi tidak jelas.
Penempatan komisi-komisi hendaknya didasarkan pada kemampuan dan bidang masing-masing. Selanjutnya, dilakukan perbandingan dengan pokok bahasan. Misalnya, apakah masih wajar makalah yang cukup tebal dipelajari dalam waktu setengah jam. Dan terakhir, hendaknya seluruh peserta menghayati tema Sinode. Bila hasil keputusan Sinode bertentangan dengan yang sebenarnya, jutaan jemaat HKBP tidak akan terima. “Jangan ada penyesalan, sesal kemudian tidak berguna,” tandasnya.
TIDAK BERLAKU SURUT
Sementara itu, Dr Januari Siregar SH, MHum dalam tinjauan perspektif hukum menyimpulkan bahwa Sinode Agung HKBP 2008 adalah sah adanya, yang membawa konsekwensi semua keputusan Sinode Agung HKBP 2008 adalah sah, termasuk keputusan yang memuat rekomendasi Amandemen Aturan Peraturan HKBP 2002 juga sah adanya dan dapat dijadikan dasar dalam melaksanakan Amandemen Aturan Peraturan HKBP 2002.
Namun menurut Januari, juga perlu dilakukan tinjauan terhadap substansi amandemen yang direkomendasikan salah satu keputusan Sinode Agung HKBP 2008, yang dapat dilihat dari redaksi rekomendasi itu sendiri. Hal tersebut diperlukan guna menilai sah tidaknya amandemen secara substansif, sehingga tidak menyimpang dari rekomendasi yang diamanatkan.
Sebab, setiap penyimpangan substansi tentu saja membawa konsekuensi hukum, bahwa penyimpangan tersebut tidak memiliki dasar keabsahan sehingga pelaksanaan dari Amandemen Peraturan HKBP 2002 yang akan dilaksanakan juga menjadi tidak sah adanya.
“Perubahan dalam bentuk Amandemen Aturan Peraturan HKBP 2002 dapat dilaksanakan sepanjang hal tersebut dapat menjaga, memelihara, meningkatkan kesatuan dan persatuan serta perdamaian dalam pelayanan ibadah dalam rangka rangka perwujudan tri tugas pangguilan gereja. Berbuatlah yang terbaik, tanpa berkeinginan menjadi yang terbaik,” simpulnya.
Menanggapi pertanyaan, apakah bila Sinode Amandemen memutuskan masa kerja periode Ephorus/Sekjen menjadi 6 (enam) tahun maka Ephorus/Sekjen sekarang (terpilih 2008) akan bertugas hingga 2014, penyandang gelar S3 dari Fak Hukum USU itu menyatakan, secara hukum keputusan tidak berlaku surut. Jadi yang terpilih 2008 tetap melaksanakan tugasnya selama empat tahun, sebagaimana diatur dalam AP HKBP yang belum diamandemen.
Meski berlangsung empat jam lebih, peserta diskusi tetap tekun dan tidak ada yang meninggalkan lokasi. Pertanyaan maupun saran tentang tata cara pemilihan Ephorus/Sekjen juga mengemuka. Ada yang mengusulkan agar melalui cabut nama saja (manjomput nasinurat), karena dengan demikian peran TS (Tim Sukses) ataupun politik balas jasa tidak berlaku lagi. Ada juga yang mengkritik bahwa laporan tentang keuangan Pusat HKBP tidak pernah lagi diketahui jemaat, Majelis Pekerja Sinode (MPS) dinilai kurang berfungsi dan lain-lain.
Sumber: http://hariansib.com/?p=140333