Wednesday, 27 October 2010

Wednesday, October 27, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Bedah Buku "Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa" di Universitas Paramadina.
JAKARTA - Jimmy Oentoro bersama 26 tokoh Indo­nesia menuangkan pemikirannya dalam buku bertajuk Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa.  Buku tersebut la­hir dari keprihatinan atas kondisi Indo­nesia yang carut marut, menggerogoti keutuhan bangsa. Sekaligus juga lahir dari rasa kecintaan pada putra-putri bangsa yang ingin menyaksikan Indo­nesia menjadi negara yang damai, har­monis, dan sejahtera. 

Pada acara itu hadir pakar ekonomi Roy Sembel, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, Rohaniwan Romo Franz Magnis-Suseno, pengamat politik Bima Arya Sugiarto, dan aktivis lintas iman Djohan Effendi. Menurut Roy Sembel, Indone­sia merupakan negara yang sangat unik karena memiliki banyak keragaman. Ke­unikan tersebut, bisa menjadi modal dasar yang kuat bagi pijakan pembangunan Indonesia ke depan. “Perbedaan tersebut membuat kita ke depannya bisa menca­pai beberapa hal yang barang kali tidak terpikir sebelumnya. Indonesia saat ini sudah masuk kategori G20. Itu penca­paian yang luar biasa,” tandas Roy pada acara bedah buku Indonesia Satu, Indo­nesia Beda, Indonesia Bisa, di Universi­tas Paramadina, Jakarta, Rabu (4/8).

Sementara Romo Franz Magnis me­nyampaikan tentang pentingnya plu­ralisme. “Pluralisme tidak sama dengan relativisme agama. Yang dikutuk oleh MUI adalah relativisme agama.” Rela­tivisme agama adalah pandangan bah wa semua agama sama benar dan ke­benaran masing-masing agama berlaku bagi agama itu sendiri tapi tidak di luar.

Relativisme tidak pluralistik, dan juga tidak toleran karena menuntut agar agama-agama melepaskan keyakinan bahwa mereka memang benar. Seba­liknya, seorang pluralis justru meneri­ma bahwa manusia mempunyai keper­cayaan yang berbeda-beda. Sayangnya, istilah pluralisme kadang-kadang diba­jak sebagai nama untuk pandangan bahwa semua agama sama saja dan jangan agama-agama masing-masing menganggap diri sendiri paling benar. “Pluralisme itu sangat penting,” pesan Romo Magnis.

Buku Indonesia Satu, Indonesia Beda, In­donesia Bisa ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk bergandeng tangan membangun Indonesia. Beberapa tokoh yang menyumbang buah pemikirannya dalam buku tersebut antara lain, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, Mantan Menteri Keuan­gan Rizal Ramli, Mantan Ketua Umum PBNU Hassyim Muzadi, Pendiri Insti­tute for Syriac Christian Studies Bam­bang Noorsena, dan Pengusaha Cipu­tra.

Sumber: Bahana