Wednesday 27 October 2010

Wednesday, October 27, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Partonton Tuhan di Pater Noster.
JAKARTA - Meski mengalami bencana letusan Gu­nung Sinabung (29/8), warga Karo mesti tetap bersyukur. Bahkan harus bangga. Bahasa mereka kini terpampang di Pater Noster, Gereja Doa Bapa Kami di Israel. Bahasa Karo yang memuat doa Bapa Kami itu tercantum di atas keramik berukuran 60x80 cm. Terletak di sebelah kiri pintu utama menuju goa yang diyakini sebagai tempat Yesus mengajarkan doa tersebut.

Adanya Partonton Tuhan, doa Bapa Kami dalam bahasa Karo di Paster Noster, tidak lepas dari usaha Setiawan Sebajang (57) dan Pdt. Andareas Brahmana (51). Ked­uanya berasal dari Gereja Batak Karo Protestan (GBKP).

Andareas, pendeta di GBKP Pondok gede, sejak pertama kali mengunjungi Holyland pada tahun 2008 sudah memendam niat itu. Sedangkan Setiawan Sebajang (57) adalah pengusaha asal Karo yang sukses di Jakarta.
Dalam benak Setiawan, orang Karo yang mayoritas beragama Kristen mestinya terwakili di Pater Noster. Apalagi minat orang Karo yang berziarah tinggi. “Bah­kan jauh sebelum tahun 1970-an, sudah banyak orang dari Taneh Karo Simalem berziarah,” katanya di sela-sela penyera­han sertifikat dari Pater Noster kepada Moderamen GBKP di Sukamakmur, Si­bolangit (6/8).

Mahaloka
Keduanya kemudian menghubungi Her­mawan Sulistyo, pimpinan Mahaloka Tour untuk membantu. Ewan, demikian sapaan akrab pimpinan Mahaloka ini me­nyambut antusias. Ia kemudian menelu­suri prosedurnya.
Tidak perlu waktu lama, Ewan kemudian menemui pengelola Pater Noster. Sejum­lah persyaratan ia sertakan. Mulai dari ap­likasi yang disediakan Pater Noster hingga Alkitab bahasa Karo serta surat keterangan dan dukungan dari GBKP dilampir­kannya.

Berkas tersebut diserahkan Ewan kepada Sr Elsbeth D’ally, pemimpin Gereja Katolik Ordo Carmelit, pengelola Noster. Oleh Sr Elsbet, berkas tersebut diteruskan kepada Konsul Prancis di Tel Aviv sebagai wakil pemerintah pemilik bangunan. Upaya pertama ini kandas. Pemerintah Perancis beralasan, bahasa dari Indonesia sudah banyak di Pater Noster. “Lebih diutama­kan bahasa dari negara yang belum ada,” kata Ewan yang mendampingi Andareas dalam percakapan di kantor Mahaloka, Bendungan Hilir, Jakarta (27/7).
Memang kehadiran bahasa Indonesia yang kemudan disusul Batak Toba, Jawa, Sunda, Paniai, Biak, Toraja dan Palembang, diniliai cukup oleh Konsul Perancis.

Tidak menyerah Ewan kembali maju, kali ini langsung menemui Sr Elsbeth. Argu­mentasi baru diutarakannya. “Saya sam­paikan bahwa Karo meski termasuk Batak memiliki ciri khas yang berbeda. Memiliki bahasa yang berbeda dan gereja sukunya juga beda. Lagipula Indonesia memilik banyak suku dan bahasa,” tuturnya.
Akhirnya pada Januari 2010, pihak Kon­sul Prancis yang belakangan langsung berinteraksi dengan Ewan, meluluskan permohoan tersebut.

Mamre dan Uis Nipes
Bagi Setiawan Sebajang impian yang ter­wujud ini merupakan kado pernikahan­nya yang ke-30. “Waktu itu aku sedang merayakan pernikahan yang ke-30,” ka­tanya mengisahkan kabar yang diterima awal Januari 2010 itu. Tidak lama kemu­dian terancang agenda ibadah syukur di Pater Noster. Sekitar 200 jemaat dan 18 pendeta GBKP yang terbagi dalam 5 rom­bongan tur menghadirinya. Ibadah syu­kur ini dirangkaikan dengan tur Holyland 3 Juni-11 Juni 2010.

Pihak Pater Noster membuka pintu untuk ibadah tersebut. Bangunan yang dibuka un­tuk umum pada pukul 08.30, khusus untuk ibadah syukur dibuka pukul 07.00 waktu setempat. Ibadah khas Karo yang digelar mengagumkan Konsul Prancis Francois Xavier Leger dan Sr Elsbeth. “Mereka exit­ing terhadap ibadah dan budaya Karo yang belum pernah dilihatnya,” kata Brahmana

Dalam kesempatan itu, oleh pihak GBKP, Xavier Leger dikenakan baju Mamre, jas khas Karo yang dikenakan kaum Bapa GBKP. Sedangkan kepada Sr Elsbeth dis­ematkan ulos Karo Uis Nipes.

Sumber: Bahana