Sunday 31 October 2010

Sunday, October 31, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Catatan Lepas “Exposure visit on CCR project in Aceh Jaya”.
BANDA ACEH (NAD) - Tidak ada yang tersembunyi dari Aceh yang  tidak menjadi perhatian dari berbagai pihak Internasional setelah kejadian Tsunami tgl 26 Desember 2004 yang menelan korban lebih dari 126.000 jiwa.

Sebelumnya Aceh sudah sering dipublikasikan karena peristiwa konflik yang berkepanjangan antara GAM dan pemerintah Negara Republik Indonesia.  Tsunami yang menelan begitu banyak korban jiwa dan materi sungguh dashyat. Namun tidak ada yang menyangka akan datangnya “tsunami kedua”. Tsunami ini muncul karena begitu banyaknya donor dari dunia Internasional menggelontorkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit ke wilayah Aceh dan sekitarnya.  Orang-orang Aceh mendapat “serangan” yang tiba-tiba dan tak terduga dan sangat mempengaruhi pola hidup dan mata pencaharian mereka. Bencana ini menambah persoalan mereka yang selama ini berada dalam situasi konflik yang berkepanjangan yang membuat masyarakat. Tsunami kedua membuat kebanyakan masyarakat memilih untuk menikmati rasa “aman” tinggal di rumah  “bermalas-malasan”  tanpa memperhitungkan perputaran hidupnya masih berlangsung terus.

Situasi tersebut menarik perhatian dunia internasional melalui NGO-NGO secara luar biasa. Bencana alam tsunami menarik perhatian orang untuk membangun persaudaraan  tanpa mengenal batas-batas suku, agama, ras, bahasa, dan bangsa. Bahkan suasana konflik yang berkepanjangan seolah-olah berhenti sejenak untuk menikmati betapa persaudaraan itu  begitu nikmat dan menyenangkan. Uluran tangan persaudaraan diungkapkan dengan “semangat berbagi” kepada saudara-saudara yang mengalami bencana maha-dahsyat  itu. Aceh menjadi daerah yang sangat terbuka bagi siapapun, hospitalitasnya sungguh mengagumkan.

Caritas Czesh Republic (CCR) pasca tsunami hadir di Aceh untuk terlibat dalam solidaritas mengangkat kembali  masyarakat Aceh dari keterpurukan. Setelah berkarya selama lebih dari 4 tahun mereka telah mampu menunjukkan kontribusi kehadiran mereka dalam membangun Aceh kembali. Caritas Czesh memandang perlu untuk mengajak 3 Caritas Keuskupan dan 7 lembaga binaan Caritas Internasional untuk mengadakan “eksposure” terhadap beberapa program CCR di Aceh. Caritas Keuskupan yang diundang adalah Caritas Makassar, Caritas Surabaya dan Caritas Purwokerto. Sementara itu lembaga binaan Caritas Internasional yang ikut serta adalah LPUBTN (Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani dan Nelayan, Binaan Caritas Irlandia),  ELSPPAT (Institute of sustainable agriculture dan rural livelihood, binaan Trocaire/CARITAS Irlandia), Bina Swadaya (binaan Caritas Belanda), YMTM (binaan Caritas Australia) dan PERDHAKI. Kegiatan ini juga mendapat dukungan penuh dari Caritas Spanyol.

Kegiatan “exposure visit”  ini dilakukan ke tempat-tempat binaan CCR dalam bidang “livelihood” yang bertujuan untuk mendampingi kelompok masyarakat dalam meningkatkan pendapatannya melalui berbagai kegiatan pertanian dan ketrampilan. Kunjungan ini dipimpin langsung oleh Rebecca Domondon, Project Manager dari CCR yang berasal dari Filipina, dengan bahasa Indonesia yang sangat  fasih.
Misi kemanusiaan yang dijalankan CCR adalah program livelihood yang berkelanjutan. Keberanian CCR mengambil terobosan yang berbeda dengan NGO lainnya adalah CCR berani mengambil risiko dengan terjun langsung dalam kehidupan nyata masyarakat setempat dan menjalankan karya-karya kemanusiaan. Caritas Czech sadar betul bahwa tidaklah cukup karya-karya karitatif untuk membantu masyarakat yang miskin dan tak berdaya. Karya “kasih” harus mampu memberdayakan mereka sehingga mandiri dalam melanjutkan kehidupannya.  Upaya pemberdayaan ini berkaitan dengan kesinambungan dan keterpaduan mata pencaharian (livelihood) masyarakat. Kami mendapatkan pengalaman dan penjelasan langsung di lapangan dari CCR dan masyarakat dalam ekposure  ini. Kegiatan  exposure visit di Aceh berlangsung  tanggal 23-26 Feruari 2010.

Exposure ini diawali dengan mengunjungi proyek aquaculture; tambak ikan air payau dan pembibitan udang, jaring apung (karamba) dan tambak, di daerah post tsunami, lalu dilanjutkan ke agroforestry; pembibitan tanaman keras,  dan archery (penyemaian) tanaman palawija yang dikelola oleh kaum perempuan (janda) korban konflik yang berkepanjangan di daerah pedalaman. Sangat kelihatan bahwa CCR berani terjun langsung dan membina masyarakat setempat agar tetap bertahan hidup meskipun para donatur mereka kelak sudah pergi. Kebanggaan CCR adalah karya mereka tidak sekedar “karya karitatif” (menghabiskan uang proyek) tetapi sungguh-sungguh bergerak pada pemberdayaan berkelanjutan.

Luar biasa. Itu kata yang pantas diberikan kepada CCR. Proses pemberdayaan ini sungguh dipersiapkan dengan matang. Rantai mata pencaharian dari awal sampai pemasarannya dikawal dengan sepenuh hati, sampai mencapai kemandirian. Sistem jaringan dibentuk untuk tetap menjaga agar program ini menjadi milik masyarakat  binaan, bukan donatur. Jaringan dengan pemerintah juga diperkuat sehingga kelompok-kelompok binaan ini menjadi milik bersama masyarakat.  Untuk memperlancar semua jenjang proses livelihood ini, dibentuklah organisasi yang menjadi saluran keberlanjutan program ini. Koperasi Tani dan Nelayan dibentuk untuk menyuplai mereka dengan dana bergulir. Sistim ini sangat manjur sejauh yang kami lihat dalam exposure selama 4 hari di Aceh Jaya.

Belajar dari exposure beberapa hari di Aceh, kami juga menaruh harapan adanya kerjasama dengan Caritas Czech dan Caritas Spanyol dengan Caritas-Caritas Keuskupan lain di Indonesia. Kiranya pengembangan program “Livelihood” bisa menjangkau wilayah karya Caritas Makassar yang selama ini merencanakan pengembangan “pertanian terpadu” di wilayah Kevikepan Luwu, Toraja dan Sulawesi Tenggara. Langkah awal bisa dimulai dengan membuat “small pilot project”.

Rebecca Domondon (Project Manager CCR) mengingatkan kepada para peserta agar melihat kembali visi dan misi Caritas Keuskupannya dan Lembaganya apakah ingin mengembangkan program “Livelihood” yang memberdayakan masyarakat setempat menuju kemandirian. Persiapan yang matang perlu dilakukan lewat pemetaan situasi di setiap wilayah pengembangan dan kesiapan organisasi untuk berkarya dalam bidang  ini. Pengembangan program ini dapat  dimulai dengan memperbanyak “sekolah lapangan” untuk tempat pendidikan dan pelatihan bagi mereka yang berkecimpungan dalam bidang ini.  Kemitraan dengan Lembaga Keuangan Mikro seperti Koperasi dan Credit Union (CU) juga akan sangat memperkembangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Demikianlah catatan lepas exposure visit yang kami jalankan dari tgl 23-26 Februari 2010 di Aceh Jaya. Mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran berharga bagi Caritas Makassar bahwa Caritas tidak hanya berkarya secara karitatif tetapi perlu menuju kepada pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Kemandirian masyarakat  juga sangat tergantung apakah mereka sendiri dimana mereka  merasa perlu untuk mempertahankan kehidupannya dan tidak hanya tergantung dari pihak luar. Program Caritas berasal dari bawah, maka ketahanan dan keberlanjutannya juga tergantung pada mereka sendiri. Caritas selalu siap membantu dalam usaha pemberdayaan yang berkelanjutan, bukan sekedar karitatif belaka. “Bagaikan burung camar terbang mengitari pantai, semoga CAMAR bisa terlibat penuh dalam membina masyarakat Sulawesi menuju ketahanan pangan”.
 
Selamat berjuang!

Sumber: Karina