CANBERRA (AU) - Pihak Uniting Church in Western Australia akan mendesak Menlu Australia Kevin Rudd agar mendorong pemerintah Indonesia untuk mengadakan dialog nasional dengan orang asli Papua.
“Dialog yang dimediasi oleh pihak ketiga yang independen bisa menjamin keadilan dan keamanan Papua ke depan,” kata ketua Sinode Pendeta Ken Williams.
Inti pembahasan termasuk marginalisasi dan kekerasan terhadap warga Papua, militerisasi dan keinginan orang Papua untuk mengatur daerah mereka sendiri.
“Orang Papua merasa terisolasi dan rentan,” kata John Barr, direktur Associate of UnitingWorld Asia. UnitingWorld bekerjasama dengan Gereja Kristen Indonesia Tanah Papua (GKI-TP).
GKI-TP mencatat bahwa setelah 10 tahun berada di bawah UU Otonomi Khusus (Otsus), orang asli Papua tetap terpinggirkan. UU tersebut dibuat oleh pemerintah Indonesia setelah bertumbuhnya sentimen separatis.
Menyusul seruan ini, rapat gabungan Presbiterian dan Sinode mengeluarkan resolusi di akhir pekan ini di Perth. Ini merupakan aksi pertama yang dilakukan oleh sebuah Gereja di Australia sejak warga Papua menolak UU Otsus dengan sebuah demonstrasi besar-besaran Agustus lalu.
Mengutip para pimpinan Gereja, Barr mengatakan UU ini gagal memenuhi aspirasi warga Papua. “Mereka ingin hidup damai, namun mereka tidak memiliki lahan sendiri, pengawasan atas ekonomi dan pendidikan yang layak.”
Uniting Church telah bekerjasama dengan GKI-TP melalui berbagai proyek pembangunan. Mereka sepakat untuk melanjutkan kerja sama dalam advokasi HAM, penegakan perdamaian, bantuan darurat, pelayanan kesehatan dan pengembangan ekonomi.
Kemarin warga Papua berdemontrasi di depan Kedutaan Amerika Serikat dan konsultat Indonesia di Perth bertepatan dengan sidang kongres Amerika Serikat berjudul Kejahatan Terhadap Keanusiaan: Kapankah Militer Indonesia Bertanggungjawab atas Kekerasan Sistematis dan Sengaja di Papua Barat?
GKI-TP menulis kepada Presiden AS Barack Obama agar “mendukung Dialog antara Papua dan Jakarta [pemerintah] serta menjamin hak untuk kebebasan berekspresi seperti yang ditetapkan oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.”
Pendeta Socratez Sofyan Yoman, ketua umum Persekutuan Gereja Baptis di Papua mengklaim bahwa UU Otsus telah gagal. “UU itu meningkatkan penderitaan orang asli Papua di tanah leluhur mereka sendiri,” katanya.
Tahun 1969, Indonesia mengambil alih Papua barat berdasarkan “Act of Free Choice,” sebuah referendum dari 1.000 tokoh warga Papua.
Sejak itu, Australia mengakui hak-hak Indonesia atas Papua, dimana transmigrasi yang disponsori pemerintah telah menyebabkan penurunan populasi.
Sidang Umum Dewan Gereja-Gereja Dunia dan Aliansi Gereja-Gereja Reformasi mendesak seluruh anggota untuk “mendukung orang Papua dalam perjuangan mereka untuk keadilan dan perdamaian.”
Investasi Australia di Papua termasuk pertambangan raksasa Freeport, yang merupakan tambang emas terbesar dunia dan tambang tembaga terbesar ketiga dunia. Para aktivis Lingkungan dan orang Papua protes terhadap operasi Freeport itu.
Sumber: cathnewsindonesia.com