Monday, 25 October 2010

Monday, October 25, 2010
2
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua Gelar Festival Budaya Papua di Enarotali.
NABIRE (PAPUA) - Untuk ketiga kalinya, Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua kembali menggelar Festival Budaya Papua yang dipusatkan di jantung bumi Cenderawasih, Enarotali, Paniai.

Ketua Panitia, Henok Pigai kepada Tim PPGI mengatakan, "Gereja Kingmi Papua sudah memulai kegiatan tersebut sejak tahun 2008 dan telah menetapkan bulan Oktober sebagai bulan budaya Papua dengan harapan pada bulan Oktober seluruh jemat ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan budaya yang diselenggarakan Panitia." Menurut Hanok, Gereja Kingmi Papua mengambil inisiatif menggali budaya Papua dengan maksud orang Papua dapat mengenal dirinya, dari mana asalnya, bagaimana perkembangan budayanya, juga untuk melihat lebih jauh tentang bagaimana dampaknya terhadap perkembangan pendidikan, kesehatan, ekonomi (oda-owadaa, red), serta seluruh aspek kehidupan lainnya.

Tema yang diusung untuk kegiatan festival kali ini berbunyi: “Lapangkanlah tempat kemahmu, dan bentangkanlah tenda tempat kediamanmu, janganlah menghematnya, panjangkanlah tali-tali kemahmu dan pancangkan dengan kokoh patok-patokmu, sebab engkau akan mengembang ke kanan dan ke kiri, keturunanmu akan memperoleh tempat bangsa-bangsa dan akan mendiami kota-kota yang sunyi”.

Sejumlah kegiatan dan perlombaan yang digelar dalam festifal antara lain lomba mengarang dengan thema “Aweta Ko Enaa Agapidaa”, lomba menggambar dengan thema “Awetako Enaa Agapidaa”, lomba menulis makalah dengan tema yang sama,

lokalatih ibu-ibu, penanaman 1000 pohon, lomba “Kaido”, lomba “mamoyakii”, sosialisasi dan pembekalan pengurus gereja dan kunjungan ke sejumlah tempat-tempat penting.

Kegiatan ini melibatkan seluruh masyarakat yang ada di ranah koteka. Termasuk di dalamnya adalah umat Katolik, jemaat-jemaat yang berada jauh di pelosok-pelosok, orang-orang tua dan juga generasi muda.

Pelajar Mahasiswa dari beberapa SMP – SMA dan Kampus terlihat antusias mengikuti lomba mengarang yang dilakukan panitia Festival Budaya Papua. Hal ini terlihat dari semangat mengikuti arahan yang disampaikan pihak Panitia di setiap sekolah dan kampus.

Dalam arahan, Ketua Panitia Festival Budaya Papua, Hanok H Pigai mengatakan bahwa tujuan dilaksanakan lomba mengarang adalah agar siswa dan mahasiswa Paniai bisa menjawab pandangan mereka terhadap moto “Aweta ko Enaa Agapidaa” atau “Hari Esok lebih baik dari sekarang”.

“Kepada pelajar mahasiswa diharapkan untuk menulis pandangan mereka terhadap moto pembangunan kabupaten Paniai tersebut, baik dalam sisi perkembangan ekonomi, sosial budaya, lingkungan alam, adat istiadat maupun hubungannya antara laki dan perempuan”, ujar Hanok.

Dengan menjawab sejumlah pertanyaan tersebut, kata Hanok, siswa dan mahasiswa dapat melihat posisi mereka sekarang dan sekaligus bisa melihat dan meninjau sejauh mana daerah dibangun oleh gereja, pemerintah dan institusi lain. Dengan kata lain, Hanok mengatakan, peserta diharapkan dapat memahami sejauh mana Hari Esok itu sudah dicapai. Apakah hari esok itu hanya sebuah hari yang hanya terdapat dalam angan-angan, mimpi atau sebuah hari dimana rakyat Paniai itu sendiri mengatakan dirinya sudah mencapai kesejahteraan dari sisi ekonomi, social budaya, lingkungan dan juga ketentraman dalam rumah tangga.

Peserta lomba karya tulis ini diberi waktu selama tiga hari hingga Senin depan. Peserta bisa tulis pandangan atau pikiran-pikiran mereka dalam bentuk karangan bagi siswa SMP dan SMA dan bagi mahasiswa dalam bentuk makalah. Mereka yang dinilai terbaik, kata Hanok, akan diberi hadiah oleh panitia pada acara penutupan 30 Oktober mendatang.


Ketika berbicara di SMP YPPGI Wissel Enarotali, yang menjadi moderator ialah sdr Yulinton Degei. Selaku Wakil Kepala Sekolah, Yulinton mengajak anak muridnya untuk mengikuti kegiatan lomba mengarang dengan serius. Sebab kata Degey, disekolah murid hanya dapat ilmu 50%, sementara diluar siswa harus mencari dengan antara lain mengikuti lomba-lomba seperti yang digelar panitia Festival.

Di Kampus Sekolah Tinggi Ekonomi Karel Gobay Enarotali, moderator Peli Yogi menegaskan, motto Aweta Ko Enaa Agapida mesti dikaji ulang secara ilmiah dengan melibatkan semua pihak. Dengan demikian demikian motto tersebut tidak hanya menjadi sebuah harapan semu yang tidak pernah digapai, tetapi menjadi sebuah usaha bersama seluruh komponen masyarakat dengan berbagai program yang nyata sehingga dari hari ke hari rakyat merasakan keberhasilan. Disana rakyat bisa merasakan dan mengatakan sendiri, hari esok itu telah tiba di tiap hari karena ada usaha yang dilakukan dihari-hari sebelumnya.

Sarjana ekonomi jebolan uncen ini juga mengatakan, gereja menjadi agen pembaru bagi manusia, sehingga gereja lewat berbagai program sudah saatnya melaksanakan berbagai program yang menyentuh dan mendasar bagi rakyat koteka moge agar rakyat bisa maju menyesuiakan perubahan jaman diatas identitas dan eksistensi yang jelas. Disana kata Yogi, butuh dukungan dari LSM, Pemerintah dan civitas akademika bersama-sama bergandengan tangan saling mendukung agar motto tersebut terwujud.

Henok juga menyebutkan sejumlah latar belakang mendasar mengapa kegiatan festival tersebut dilaksanakan.
Alasan pertama adalah karena kesadaran warga untuk mempertahankan budaya semakin hilang akibat masuknya pengaruh-pengaruh baru yang ikut bersama pemekaran-pemekaran wilayah atau proses pembangunan. "Akibatnya, rakyat Papua semakin hari hilang identitas dan eksistensi, dan itu sangat berbahaya bagi generasi-generasi mendatang". Kata Pigai, akibat orang Papua tidak mengenal budaya Papua, maka dengan mudah terkena penyakit-penyakit yang mematikan seperti TBC, HIV, GO, SPILIS atau AIDS. Padahal sejak turun moyang ajarkan untuk tidak boleh zinah (mogai daa,red).

Ada juga ajaran untuk tidak boleh mencuri, tetapi sekarang banyak generasi kita yang kena penyakit kleptomaniac atau penyakit tangan panjang. Ini berbahaya dan oleh karena itu sekarang saatnya generasi muda dan juga orang-orang tua mulai kembali belajar budaya religi turun temurun sambil menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman.

Sehari sebelumnya(22/10), acara festival budaya Papua ini sudah dibuka oleh Bupati Paniai yang diwakili Derek Pakage selaku wakil Bupati Paniai. Dalam sambutannya, Wakil Bupati mendukung upaya gereja Kingmi Papua menjadikan bulan Oktober sebagai bulan budaya. Sementara itu, dalam Sambutan Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua, DR Benny Giay mengajak agar mulai membangun Papua dari keluarga yang antara lain dengan membangun keterbukaan, komunikasi yang baik, serta saling menghargai pendapat antar anggota keluarga. Bila didalam keluarga sudah kuat, maka interaksi dengan sesame akan semakin baik karena fondasi sudah kuat.

Selain itu, pembicara yang hadir memberi arakan ialah Kepala Dinas Sosial Kabupaten Paniai, antara lainmengajak agar menjaga cirri khas budaya dalam segala hal itu lebih penting. Misalnya dalam pembangunan rumah-rumah dinas dan pribadi, mesti cirri khas budaya asli Paniai mesti ditampilkan. Seperti orang Toraja, dimana-mana mereka bangun rumah, pasti ada unsur unsur Toraja yang ditampilkan. Lalu bagaimana dengan rumah-rumah orang Paniai, mana cirri khasnya. Disinilah tugas panitia dan intelektual untuk merancang sejumlah tipe menawarkan rumah yang betul-betul bercorak Paniai.

Sumber: KabarGereja