YOGYAKARTA - Gereja Santo Yusuf Bintaran, Kota Yogyakarta, menjadi bangunan cagar budaya karena mempunyai sejarah yang berkaitan dengan sejumlah organisasi masyarakat pada zaman kolonial Belanda.
"Bangunan Gereja Bintaran ini menorehkan banyak kisah sejarah pada zaman kolonial Belanda dan bagunan ini digunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat serta sekolah anak-anak pribumi pada masa itu," kata Ketua Panitia Pemugaran dan Peresmian Gereja Santo Yusuf Bintaran Yogyakarta, Sandiwan Sunaryanto kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis (14/10/2010).
Ia mengatakan pada 1947-1949 bangunan di pastoran Gereja Bintaran pernah menjadi tempat tinggal Mgr Soegijapranata, pemuka agama yang menggerakkan umatnya untuk menjaga keselamatan dan kelangsungan gereja pada masa itu.
"Kawasan Gereja Bintaran juga pernah menjadi markas majalah Sawara Tama, Peraba, Semangat dan Radio Bimika serta pada awalnya SMA Kolese de Britto juga memulai kegiatan pendidikan di sekitar bangunan tersebut," katanya.
Menurut dia, saat Daerah Istimewa Yogyakarta dilanda gempa 5,9 skala Richter pada Mei 2006, bangunan Gereja Santo Yusuf mengalami kerusakan sehingga memerlukan renovasi dan pemugaran.
"Proses renovasi membutuhkan waktu tiga tahun, cukup lama karena kami terkendala biaya. Namun kami berhasil menghimpun dana dari masyarakat, pemerintah dan pihak swasta," katanya.
Total dana ang digunakan dalam pemugaran cagar budaya tersebut sebesar Rp3,2 miliar, yang bersumber dari swadaya umat paroki Santo Yusuf Bintaran, sumbangan resmi pemerintah melalui Departemen Agama, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta serta sumbangan dari sejumlah perusahaan swasta.
Ia mengatakan, pemugaran Gereja Santo Yusuf Bintaran tersebut mencakup sejumlah bangunan yang mengalami kerusakan saat gempa 2006. Pemugaran itu melibatkan beberapa arsitek lokal dari Yogyakarta.
"Pemugaran meliputi bangunan Gereja, aula, serta pastoran dan sekitarnya yang mempunyai luas sekitar 5.024 meter persegi. Kami menggunakan jasa arsitektur dari Universitas Atmajaya sebanyak dua orang yang ditugaskan mendesain rancang bangun gereja ini," katanya.
Selain itu, Sandiwan juga mengatakan, pemugaran berlangsung Juli 2007 hingga Agustus 2010 dan saat ini sudah selesai serta akan diresmikan dalam waktu dekat.
"Bangunan Gereja Santo Yusuf Bintaran Yogyakarta ini akan diresmikan pada 17 Oktober 2010 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X," katanya. Ia juga mengatakan, peresmian gereja tersebut akan diisi dengan serangkaian acara yang dimulai pada 16 hingga 17 Oktober 2010, dan akan dilanjutkan pada 23 Oktober 2010.
"Serangkaian acara tersebut meliputi kenduri masyarakat yang akan menghadirkan K.H. Abdul Muhaimin sebagai pembicara dan dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit yang menghadirkan Ki Seno Nugroho dengan lakon Semar Mbangun Kahyangan pada 23 Oktober," katanya.
"Bangunan Gereja Bintaran ini menorehkan banyak kisah sejarah pada zaman kolonial Belanda dan bagunan ini digunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat serta sekolah anak-anak pribumi pada masa itu," kata Ketua Panitia Pemugaran dan Peresmian Gereja Santo Yusuf Bintaran Yogyakarta, Sandiwan Sunaryanto kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis (14/10/2010).
Ia mengatakan pada 1947-1949 bangunan di pastoran Gereja Bintaran pernah menjadi tempat tinggal Mgr Soegijapranata, pemuka agama yang menggerakkan umatnya untuk menjaga keselamatan dan kelangsungan gereja pada masa itu.
"Kawasan Gereja Bintaran juga pernah menjadi markas majalah Sawara Tama, Peraba, Semangat dan Radio Bimika serta pada awalnya SMA Kolese de Britto juga memulai kegiatan pendidikan di sekitar bangunan tersebut," katanya.
Menurut dia, saat Daerah Istimewa Yogyakarta dilanda gempa 5,9 skala Richter pada Mei 2006, bangunan Gereja Santo Yusuf mengalami kerusakan sehingga memerlukan renovasi dan pemugaran.
"Proses renovasi membutuhkan waktu tiga tahun, cukup lama karena kami terkendala biaya. Namun kami berhasil menghimpun dana dari masyarakat, pemerintah dan pihak swasta," katanya.
Total dana ang digunakan dalam pemugaran cagar budaya tersebut sebesar Rp3,2 miliar, yang bersumber dari swadaya umat paroki Santo Yusuf Bintaran, sumbangan resmi pemerintah melalui Departemen Agama, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta serta sumbangan dari sejumlah perusahaan swasta.
Ia mengatakan, pemugaran Gereja Santo Yusuf Bintaran tersebut mencakup sejumlah bangunan yang mengalami kerusakan saat gempa 2006. Pemugaran itu melibatkan beberapa arsitek lokal dari Yogyakarta.
"Pemugaran meliputi bangunan Gereja, aula, serta pastoran dan sekitarnya yang mempunyai luas sekitar 5.024 meter persegi. Kami menggunakan jasa arsitektur dari Universitas Atmajaya sebanyak dua orang yang ditugaskan mendesain rancang bangun gereja ini," katanya.
Selain itu, Sandiwan juga mengatakan, pemugaran berlangsung Juli 2007 hingga Agustus 2010 dan saat ini sudah selesai serta akan diresmikan dalam waktu dekat.
"Bangunan Gereja Santo Yusuf Bintaran Yogyakarta ini akan diresmikan pada 17 Oktober 2010 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X," katanya. Ia juga mengatakan, peresmian gereja tersebut akan diisi dengan serangkaian acara yang dimulai pada 16 hingga 17 Oktober 2010, dan akan dilanjutkan pada 23 Oktober 2010.
"Serangkaian acara tersebut meliputi kenduri masyarakat yang akan menghadirkan K.H. Abdul Muhaimin sebagai pembicara dan dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit yang menghadirkan Ki Seno Nugroho dengan lakon Semar Mbangun Kahyangan pada 23 Oktober," katanya.
Sumber: Kompas