Wednesday, 27 October 2010

Wednesday, October 27, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Hentikan Langkah Kelompok Intoleran.
JAKARTA - Halangan yang terus  dihadapi oleh gereja  untuk mendirikan tempat ibadah, meski telah menempuh langkah-langkah sesuai yang dituntut Perber 2006, cukup jelas menunjukkan bahwa masalah utama dari kisruh seputar tempat ibadah bukan pada Perber Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri itu, tapi oleh faktor-faktor lainnya.

Menurut Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, penyebab utamanya bukan pada kehadiran Perber tersebut tapi pada tingkat intoleransi yang disemai oleh sekolompok orang yang memang bersikap anti-keberagaman.  “Akar masalah bukanlah pada Perber  itu. Ada akar masalah yang jauh lebih dalam, yaitu  gejala intoleransi yang menguat dalam masyarakat,” katanya. Sebab kedua, adanya kelompok kecil puritan yang konservatif yang cenderung tidak mau menerima pandangan teologis yang berbeda.

Fakta yang ketiga, dari setiap kasus penolakan pendirian tempat ibadah, selalu ada sekelompok orang yang bergerak mobile. “Mereka bukan dari lingkungan di mana tempat ibadah itu akan dibangun, tapi dari tempat-tempat lain,” katanya sembari menekankan bahwa pengung-kungan kesempatan orang beribadah merupakan sebuah ironi yang getir. “Teman-teman kita itu sebetulnya hanya ingin beribadah, mendekatkan diri dengan Tuhan yang mahakuasa. Berbuat baik kok ditolak.”

Kehadiran sekelompok orang yang bergerak mobile itu, menurut Bonar, semakin kentara pada tujuh tahun belakangan ini. Mereka bergerak dan menjadi akar persoalan. “Kalau pemerintah tunduk pada kelompok-kelompok ini, kami tidak tahu lagi bagaimana Indonesia di masa datang. Pemerintah harus segera menghentikan gerak kelompok intoleran itu,” tegas aktivis kebebasan beragama ini.  
    
Pemerintah tersandera
Dari kasus-kasus tersebut, terlihat pula bahwa pemerintah terkesan membiarkan tindakan intoleransi itu terjadi. Hal itu dipentaskan secara nyata ketika aparat menghalangi jemaat untuk melakukan ibadahnya. “Pe-merintah seharusnya melakukan perlindungan dan menindak tegas penghalang kebebasan beragama. Kita ingin pemerintah sungguh-sungguh menegakkan negara hukum di mana salah satu pilarnya adalah kesetaraan,” kata Febi Yonesta dari LBH Jakarta.      

Sementara menurut Subhi dari The Wahid Institut, penghalangan kebebasan beribadah bukan hanya dialami oleh umat kristiani dalam pendirian gereja, tapi juga oleh umat agama lainnya. Hal itu, lanjut dia, muncul karena ada penolakan dari masyarakat yang merupakan kelompok konservatif dari agama tertentu. “Selama ini, saya melihat pemerintah mengikuti desakan kelompok konservatif ini. Pemerintah telah tersandera dan kalah pada kelompok ini,” tegasnya. Fakta lapangan menunjukkan, meskipun ijin telah diperoleh gereja, tapi bila kelompok garis keras itu protes, maka pemerintah akan mengalah. “Ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono bahwa kita tidak boleh kalah oleh kelompok garis keras,” tambahnya.

Daerah eksklusif?
Dari puluhan spanduk yang dibentangkan di sekitar tanah milik warga HKBP yang biasa digunakan oleh HKBP Ciketing, Bekasi untuk beribadah, jelas terlihat bahwa warga setempat tidak menghendaki kehadiran tempat ibadah Kristen di tempat mereka.  “Kami: Tokoh, Pemuda, Mas-yarakat Muslim Menolak Berdirinya Gereja di Mustika Jaya”, merupakan salah satu contoh spanduk tersebut.
Dalam ruang lebih luas, di beberapa pagelaran demonstrasi di Bekasi, massa yang menamakan dirinya Forum Komunikasi Silaturahmi Masjid-Mushola (FKSM)  seperti dikutip Republik Newsroom, mengumandangkan penolakan mereka atas kehadiran gereja. Budi Santoso, koordinator lapangan aksi unjuk rasa yang digelar pada 31 Juli 2009 itu,  menegaskan bahwa Walikota Bekasi telah mencederai amanat KH. Noer Ali, pahlawan nasional dari Bekasi, karena mengizinkan pembangunan gereja di Bekasi Utara. “KH. Noer Ali bilang, di Bekasi Utara boleh dibangun perumahan, bahkan kawasan industri, tapi jangan bangun gereja,” teriak Budi dalam orasinya.

Pernyataan-pernyataan tersebut jelas mengekspresikan eksklusivitas wilayah yang harus steril dari kehadiran tempat ibadah lain. Bila pandangan itu terus dibiarkan dan diikuti oleh wilayah-wilayah lain di Indonesia, maka akan ada pengkaplingan wilayah berdasarkan agama. Dan itu bertentangan dengan salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Wawasan Nusantara.

Yang paling dibutuhkan sekarang ini bukan mengutak-atik Perber 2006 dan sebagainya, tapi menanamkan prinsip-prinsip utama dalam pluralitas masyarakat Indonesia seperti toleransi dan kesediaan untuk menerima perbedaan. Bila masyarakat kita memang belum mampu menerima perbedaan, maka kehadiran Perber itu bukanlah menjadi unsur yang memudahkan pendirian rumah ibadah, tapi sebaliknya, menjadi penghalang pendirian rumah ibadah.

Sumber: Reformata