JAYAPURA (PAPUA) - Niat kuat dari umat Katholik yang tinggal di Distrik Kaureh, Lereh Juk, Sentani, Kabupaten Jayapura untuk membangun tempat ibadahnya tidak mendapat restu dari perusahaan kelapa sawit, milik PT. Sinar Mas Group.
Setidaknya, sebelum berakhir masalah seperti sekarang ini, keinginan umat Katholik di daerah itu memiliki sebuah bangunan gereja sudah lama diperjuangkan. Berakali-berkali umat Katholik mengusulkan kepada pihak perusahaan Sinar Mas Group melaui sub PT. Sinar Kencana Inti Perkasa (SKIP), namun tidak ditanggapi. Walau tak disetujui pihak perusahaan, pelaksanaan pembangunan gereja ini dilakukan pada 2007 lalu. Pada Tahun 2008, melobi ke perusahaan untuk mendapatkan ijin, tapi tetapi tetapi hasilnya tetap sama, perusahaan tetap berkeras hati.
Data yang diperoleh JUBI, 30 Oktober 2009 panitia pembangunan gereja melayangkan surat ke pimpinan PT. SKIP (Sinar Mas Group) untuk meminta beberapa hal, diantaranya adalah keadaan bangunan, dinding dan gording seng sudah mulai rusak dan bocor. “Kami sengaja mengajukan surat ke pihak perusahaan karena kondisi gereja sudah rusak. Bayangkan kalau kami sedang ibadah musim hujan, di dalam gereja digenangi air,” kata salah satu pengurus gereja itu.
Upaya itu sedikit mendapat titik terang dari perusahaan. Perusahaan membuka ruang diskusi dengan perwakilan umat Katholik setempat. Dari hasil pertemuan, kedua pihak bersepakat untuk pembangunan gereja dilaksanakan. Perusahaan berjanji dalam waktu dua minggu akan membangun gereja. Berdasarkan janji tersebut warga Katholik langsung membentuk panitia pembangunan. Sayangnya, waktu dijanjikan itu tidak ditepati oleh pihak perusahaan. Lantas, panitia terpaksa mengambil inisiatif untuk membangun gereja di gudang bekas bibitan kelapa sawit. Perbaikan dilakukan karena tidak layak. Ruangan hanya berukuran panjang 25 meter dan lebar 14 meter itu masih berlantaikan tanah. “Umat Katholik di sini sekitar 2 ribu lebih, jadi kalau ibadah hari minggu ruang gereja tidak muat,” ujar Vincent, bendahara panitia pembangunan gereja.
Vincent mengaku, di tengah membangun gedung gereja, tiba-tiba pihak perusahaan memerintahkan untuk mengentikan pembangunan gereja tersebut, tanpa alasan yang jelas. Vincent menjelaskan, saat ini pihaknya sementara berupaya menemui seluruh warga untuk menyelesaikan masalah ini secara damai. “Kami harap tidak ada tindakan kekerasan dalam penyelesaian masalah ini.”
Pihak perusahaan menyebutkan, Umat Katholik telah melanggar aturan dan kesepakatan yang telah dibuat. pihak gereja membangun gereja di atas tanah milik perusahaan yang tidak mendapat ijin resmi dari perusahan. perusahaan menginginkan gereja yang dibangun itu harus digunakan oleh beberapa denominasi gereja yang tinggal di tempat itu. Beberapa denominasi itu antara lain Kristen Protestan, Katholik, Pentakosta dan GIDI.
“Kami akan bangun gereja tapi harus dipakai bersama oleh empat denominasi gereja yang ada,” kata seorang manajer saat berbincang dengan JUBI.
Sebelumnya, umat Katholik beribadah bergantian tiap minggu bersama tiga denominasi gereja di Kaureh yakni GKI tanah Papua, GIDI dan Pentakosta, Ibadah sejak Tahun 1997. Tata cara ibadahnya bersifat oikumene. Meskipun demikian, umat Katholik tidak bisa bertahan dalam sistem tersebut. Mereka merasa tidak nyaman dengan kondisi yang dialami.
Raymond Merabano, Ketua Serikat Pekeja Seluruh Indonesia (SPI) di Kaureh mengatakan, lantaran tak ada gereja Katholik, maka pihaknya berupaya membangun pembicaraan baik dengan perusahaan. Jalinan itu dilakukan sejak 2007 dengan tujuan mendapat ijin pembangunan fasilitas gereja. Alhasil, perusahaan berjanji akan membangun gereja di salah satu astate atau tempat didalam perusahaan, namun tak ditepati. “Perusahaan janji akan bangun gereja untuk kami, tapi sampai sekarang tidak terelealisasi. Sebenarnya ini bukan masalah baru,” ujar Merabano. ”Bagi saya gereja ini sangat penting jadi mau tidak mau harus dibangun. Kami kecewa sekali dengan tindakan ini dan janji ini.”
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia meminta pimpinan perusahaan sebaiknya angkat kaki jika terus melarang pendirian gereja. “Kami minta kepada semua pimpinan perusahaan pindah dari Lere Juk, karena tidak bangun gereja untuk umat Katholik. Padahal gereja merupakan salah satu fasilitas yang sangat dibutuhkan,” tutur Raymond.
Fenesius, warga Katholik di Kaureh mengatakan, karena tak memiliki tempat ibadah tetap, ribuan umat Katholik yang berdomisili di daerah ini terus berpindah tempat ibadah tiap tahun. “Kami terus pindah-pindah tempat ibadah karena belum ada tempat ibadah yang pasti,” tandasnya.
Hendrikus Nahak, Pastor Paroki Lere Juk menjelaskan, pada 24 Agustus lalu, pihaknya sempat melakukan pembicaraan dengan pihak perusahaan untuk membangun gereja. “Umat sudah bangun gereja jadi kami minta kepada perusahaan supaya itu dilanjutkan.”
Nahak menjelaskan, pada Tahun 1997 umat Katholik di wilayah itu bergabung dengan tiga denominasi gereja, yakni, Kristen Protestan, Pentakosta, dan GIDI. Namun, lanjut dia, cara beribadah umat Katholik berbeda dengan tiga denominasi gereja lainnya. Akhirnya mereka memilih untuk beribadah sendiri di sebuah gedung kantor eks gedung bibitan. Kantor ini bekas gudang penampungan bibit kelapa sawit milik PT. Sinar Kencana Perkasa.
“Sampai sekarang mereka biasa ibadah di kantor itu, karena belum ada gereja,” kata Br. Edy Rosariyanto, Koordinator Ekopastoral Kantor Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Keuskupan Jayapura.
Edy mengaku, Selasa (21/9) berusaha menemui Polres Jayapura untuk meminta aparat kepolisian menangani persoalan tersebut. Wakapolres Jayapura, CH. Pusung menyarankan, sebaiknya umat Katholik yang mengalami masalah ini mengajukannya ke pemerintah daerah. “Kami minta masalah ini diajukan ke Pemerintah agar mendorong pihak perusahaan menyelesaikan masalah ini,” kata Pusung ketika didatangi SPSI dan Pastor beserta beberapa warga.
Mendapat Kecaman banyak Pihak
Persoalan ini jadi perhatian serius beberapa pihak. Majelis Rakyat Papua berjanji akan mengusut kasus tersebut ke pihak perusahaan. Hofni Simbiak dari kelompok kerja (Pokja) Agama MRP, mengatakan, pihaknya akan melakukan pengecekan langsung ke perusahan. Selain itu, meminta perusahaan mempertanggungjawabkan persoalan. “Gereja harus dibangun, karena ini merupakan saran yang penting. Perusahan jangan larang,” ujar Simbiak.
Hofni menilai, perusahan tidak melakukan fungsi sosial hanya menjalankan fungsi keuntungan. “Persekutuan jemaat sangat penting. Orang beribadah baru bisa kerja dengan baik. Jangan buat sesuatu yang menimbulkan masalah baru,” ungkapnya.
Majelis Muslim Papua (MMP) juga angkat suara. Wakil Ketua I MMP, Fadhal Alhamid meminta Pemerintah Kabupaten Jayapura bertanggungjawab terhadap masalah pelarangan pembangunan Gereja Katholik di Distrik Kaure. “Pemerintah tidak boleh biarkan masalah itu, harus ada langkah tegas,” ujar Fadhal.
“Kalau perusahaan tidak membangun gereja untuk umat Katholik di daerah itu, maka pemerintah punya tanggung jawab,” imbuhnya.
Bagi Fadhal, kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing merupakan hak umat beragama yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Negara dan pemerintah bertanggungjawab melindungi dan harus bertindak tegas kepada pihak yang berusaha melarangnya. “Kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan itu hak masing-masing umat,” ucapnya.
Sekretaris Komnas HAM, Frits B. Ramandey mengatakan pihaknya akan terus mendampingi kasus itu. “Kami sudah turun ke lokasi dan lihat langsung kondisi tersebut. Rupanya hanya salah paham saja,” ujar Frits.
Tanggapan datang dari DPRP. Anggota DPRP, Kenius Kogoyo bahkan mengecam larangan pembangunan Gereja Katholik oleh PT. SKIP.
Kenius menegaskan, “Kami tidak setuju bila pelarangan itu benar terjadi. Kami akan melakukan penyelidikan dan menanyakan alasan mengapa pembangunan gereja tidak diperbolehkan.”
Sumber: Tabloid Jubi