Sunday 24 October 2010

Sunday, October 24, 2010
1
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Komitmen Pemerintah dalam Ungkap Pelaku Kekerasan di Papua Dinilai Lemah.
JAKARTA - Komitmen pemerintah untuk menuntaskan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua dinilai sebatas lip service (omong saja). Salah satu buktinya, laporan-laporan yang disusun LSM dan tim pemantau independen selalu tidak jelas tindak lanjutnya.

"Selama ini pemerintah hanya bicara saat ada kasus terungkap. Misalnya video yang beredar di youtube. Padahal ada banyak kekerasan di luar video yang terjadi di Papua," ujar Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan Haris Azhar pada wartawan di Jakarta kemarin (23/10).

Haris mencontohkan, dokumen berjudul Laporan Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007 yang dilaporkan oleh Imparsial, SKP Jayapura, Sinode GKI Papua, Progressio, dan Franciscans International. "Khusus untuk Papua ada 290 kasus yang jika diteliti hingga sekarang tindak lanjutnya mengambang," kata alumni Universitas Trisakti itu.

Laporan itu sudah disampaikan pada Komite Anti Penyiksaan PBB. "Kita mendesak Kejagung dan Komnas HAM membuat semacam tim bersama untuk menguak kekerasan-kekerasan yang selama ini tidak terungkap," katanya.

Seperti diketahui, Jumat (22/10) lalu, di Istana Negara  pemerintah mengakui adanya video kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI. Menkopolhukam Djoko Suyanto dan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro memastikan pelakunya akan dibawa ke peradilan militer.

Kontras yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang mengadvokasi korban-korban kekerasan menilai tiga tahun setelah kedatangan Wakil Khusus Sekjen PBB untuk Situasi Pembela HAM  Hina Jilani ke Papua pada bulan Juni 2007, situasi para pembela hak asasi manusia di Papua tidak mengalami perubahan.

"Aparat keamanan, antara lain polisi, militer dan intelejen masih saja melakukan kekerasan terhadap para pembela di Papua. Target kekerasan adalah perorangan maupun organisasi yang melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah, mulai dari aktivis Dewan Adat  Papua hingga para pemimpin agama," kata Haris. 
Meskipun kekerasan tersebut telah dilaporkan kepada pemerintah, tetapi kekebalan masih saja menyelimuti aparat yang melakukan pelanggaran terhadap para Pembela HAM di Papua.

Bahkan, di tahun 2010, tuduhan melakukan tindakan makar  masih digunakan oleh aparat kepolisian di Papua untuk membungkam gerakan mahasiswa. "Sejak kekerasan yang terjadi di depan Universitas Cenderawasih yang menewaskan 5 aparat pada tahun 2006, aparat mulai melakukan pengejaran terhadap kelompok-kelompok mahasiswa di Papua dan melabeli mereka sebagai simpatisan OPM," katanya.
Di sisi lain, pemerintah juga menggunakan stigma separatis untuk menjustifikasi kekerasan yang dilakukan aparat terhadap para pembela HAM Papua.

Kontras mencatat berbagai kekerasan terhadap para pembela HAM di Papua antara lain pada tanggal 15 Januari 2010, pemerintah mengumumkan pelarangan buku tulisan Pendeta Socrates Sofyan Yoman berjudul "Suara Gereja bagi Umat Tertindas" dengan alasan buku tersebut dianggap mengadu domba dan membahayakan NKRI.

Ancaman kekerasan terhadap para jurnalis di Papua juga meningkat di tahun 2010 ini. "Kami mencatat setidaknya ada lima kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua pada tahun 2010 ini," katanya.
Berdasarkan database Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) tahun 2010, setidaknya terjadi 5 kasus kekerasan jurnalis di Papua, yaitu pemanggilan POLDA Papua terhadap Lucky Ireeuw, pimpinan redaksi Cenderawasih Pos, setelah Cenderawasih Pos memberitakan pernyataan Pendeta Rev. Socrates Sofyan Yoman bahwa aparat TNI harus bertanggung jawab terhadap berbagai macam peristiwa kekerasan yang terjadi di Puncak Jaya.

Lalu kasus  Opin Tanati, wartawati KBR 68H di Biak telah diintimidasi oleh ajudan Bupati Biak. Selanjutnya, Ardiansyah Matrais dari Merauke TV dan Tabloid JUBI meninggal dibunuh pada akhir Juli 2010 di Merauke.
Sementara beberapa jurnalis lainnya antara lain Lidya Salma Achnazyah dari Bintang Papua, Agus Batbual dari Suara Perempuan Papua, Idri Qurani Jamillah dari tabloid JUBI dan Julius Sulo dari Cendrawasih Pos telah diancam menjelang pelaksanaan pemilukada di Merauke. Ada juga,  Musa Kondorura, reporter RRI, KBR 68H dan reporter Radio Sasar Wondama di Wasior, telah dianiaya oleh  dua orang yang diduga oknum anggota BIN bernama Luki dan Hendra.

"Pemerintah pusat seakan-akan membiarkan ada gunung es pelanggaran HAM di Papua. Jika komitmen hanya sebatas pernyataan, lantas rakyat harus percaya pada siapa," kata Haris.

Di bagian lain, video dugaan penganiayaan oknum TNI di Puncak Jaya menjadi perbincangan serius di lingkungan prajurit. Sejumlah sumber di lingkungan Mabes TNI mengaku sudah melihat video itu di internet. "Banyak yang menduga itu propaganda dari OPM saja," kata seorang perwira berpangkat letnan kolonel kemarin. Perwira asal Klaten, Jawa Tengah ini pernah bertugas di beberapa wilayah Papua selama lima tahun. "Disana , tugas prajurit memang berat. Ada juga problem kesejahteraan," katanya.

Dia mencontohkan, seorang prajurit yang bertugas di daerah pegunungan tinggi seperti Tingginambut Puncak Jaya yang seing terlambat mendapat pasokan jatah kebutuhan hatriannya. "Kalau kaporlap terlambat, tingkat stres tinggi," katanya. Kaporlap adalah singkatan dari perlengkapan perorangan lapangan yang dipasok secara berjenjang dari Mabes TNI ke Kodam lalu disebarkan ke pos-pos dibawahnya.

Sumber lain, seorang mayor  mengungkapkan kendala komunikasi dengan warga lokal juga bisa memicu stres. Salah bahasa tubuh, bisa dianggap intimidasi. "Padahal tugas tentara disana sangat unik dan komplit. Ada tugas rutin tapi ada juga tugas incidental seperti mengurusi sengketa kepemilikan babi warga," katanya.

Terpisah, Kepala Dinas Penerangan Umum Mabes TNI Kolonel Prakoso menjelaskan, tim sudah berangkat ke Puncak Jaya untuk melakukan koordinasi dengan Kodam XVII Cendrawasih. "Kita tunggu perkembangannya dua sampai tiga hari ke depan," kata Prakoso saat dihubungi semalam.

Perwira menengah TNI AU itu menjelaskan, dari laporan sementara ada dugaan kejadian berada di Tingginambut, Puncak Jaya. "Nanti, detailnya akan disampaikan oleh tim disana atau melalui Kodam setempat," katanya.