Sunday 24 October 2010

Sunday, October 24, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Tokoh Gereja Papua : Pemerintah Pusat Tak Serius Tangani Masalah di Papua.
JAKARTA - Pemerintah diminta memperhatikan dan menyelesaikan masalah Papua dengan sungguh-sungguh. Pemerintah jangan menunggu masyarakat Papua memberontak dan mendapat tekanan internasional, baru memalingkan pandangan untuk memperhatikan rakyat Papua. Saat banjir bandang melanda Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, pemerintah pusat tidak memberi perhatian serius.

Selain itu, berbagai persoalan terkait pemberian otonomi khusus (otsus), termasuk korupsi besar-besaran, dan kemiskinan yang mencapai 35 persen di Papua dan 38 persen di Papua Barat, harus mendapat perhatian serius pemerintah pusat.

Demikian rangkuman pendapat Ketua Sekolah Tinggi Teologi dan Filsafat Fajar Timur Abepura, Jayapura, Papua, Neles Tebay bersama Ketua III Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH PGI) Dr Karel Phil Erari, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sofia Maipauw, kepada SP di Jakarta, Senin (11/10), terkait penanganan banjir Wasior dan penuntasan berbagai persoalan di Papua.

“Sikap dan perhatian pemerintah yang sangat minim dan reaktif membuat seolah-olah rakyat Papua bukan rakyat Indonesia. Memang Papua secara geografis jauh dari Jakarta, tetapi secara psikologis pemerintah harus membuat orang Papua itu warga negara kelas I di Indonesia sama dengan daerah lainnya. "Mengapa bencana alam, di daerah lain, pemerintah sangat tanggap, tapi Papua seakan ada pembiaran,” ujar Neles Tebay.

Dia meminta pemerintah memberi perhatian kepada Papua sama dengan daerah lainnya. Kalau pemerintah mau menyelesaikan masalah Papua, jangan hanya berdialog dengan Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat, AO Atuuri, serta jajaran pemerintahan.

Dialog itu harus dilakukan terbuka dengan tokoh agama, tokoh adat, Majelis Rakyat Papua (MRP), serta rakyat kecil, termasuk dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Apakah pemerintah menunggu orang Papua berontak seperti saudara-saudara di Aceh barulah pemerintah memberikan perhatian yang serius untuk membangun dan menyejahterakan rakyat. Jangan biarkan rakyat Papua terus menderita dan miskin, sementara tanah Papua memberikan kekayaan alamnya untuk negara,” katanya.

Pada kesempatan itu, Neles berharap janji Presiden SBY untuk mengunjungi warga Wasior, bukan hanya janji belaka. “SBY harus ke sana. Warga Wasior butuh perhatian karena penderitaan yang mereka alami. Biarlah ia melihat sendiri apa derita rakyatnya daripada hanya mendengar laporan, membaca koran, atau menonton televisi tentang penderitaan rakyatnya,” katanya.

Senada dengannya, Karel Phil Erari mengatakan pemerintah harus meninggalkan kultur reaktif dalam menangani masalah Papua. Pemerintah harus mengembangkan budaya dan sikap yang membangun Papua sebagai bagian dari NKRI serta diperlakukan secara adil dan bermartabat.

Dia meminta pemerintah memperhatikan pelaksanaan otsus, terutama mengevaluasi penggunaan dana. Sebab selama 9 tahun, ternyata otsus tidak bermanfaat bagi rakyat.

Pemerintah pusat serta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat juga harus menunjukkan sikap tegas untuk menghentikan hak pengusahaan hutan (HPH) di sana. Selain itu, pemerintah juga diminta menghentikan dan menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap semua aspek kehidupan rakyat.

Sofia Maipauw meminta pemerintah menyelesaikan seluruh masalah kemanusiaan yang terjadi di Papua dan Papua Barat. “Sangat disesalkan sikap yang lamban dari pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan di Papua, termasuk korban banjir bandang di Wasior,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta pemerintah membentuk tim independen untuk menyelidiki penyebab bencana banjir di Wasior. Selain itu, pemerintah juga diminta menyelesaikan semua masalah Papua melalui dialog kemanusiaan yang adil dan bermartabat.

Kajian Lingkungan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Furqon, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Andrie Wijaya, Executive Director Indonesian Center for Environmental Law, Rhino Subagyo, mendesak pemerintah mengubah kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang selama ini eksploitatif dan tidak memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan hidup.

Kebijakan tersebut menimbulkan berbagai bencana ekologis, termasuk bencana banjir bandang di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat, yang menewaskan sedikitnya 145 orang dan 123 korban dinyatakan hilang. Selain itu, pemerintah diminta melakukan kajian kondisi lingkungan dalam skala daerah dan nasional yang menjadi dasar pembuatan rencana pembangunan ke depan.

Menurut Berry, bencana Wasior harus menjadi pelajaran bagi pemerintah terkait pengelolaan lingkungan hidup. Ke depan, pola pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam juga harus menggunakan pendekatan pengurangan risiko bencana.

Data Walhi menunjukkan sekitar 83% wilayah Indonesia rawan bencana longsor, banjir hingga kebakaran hutan. Selama 10 tahun terakhir telah terjadi 6.000 bencana alam di Indonesia.

“Pola pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam harus dikaji ulang dengan menggunakan perspektif risiko bencana, kondisi lingkungan, dan dengan melihat daya dukung lingkungan, serta daya tampung lingkungan,” katanya.

Menurut Andrie Wijaya, bencana ekologi, seperti di Wasior, berpotensi terjadi di berbagai daerah di Indonesia karena aktivitas sektor industri yang mengabaikan pemeliharaan lingkungan, termasuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Setidaknya ada 150 usaha pertambangan yang mengalihfungsikan hutan lindung.
“Perubahan bentang alam dan tata guna lahan menyebabkan wilayah rentan terhadap bencana longsor, seperti Sumatera Utara dan Papua. Pemerintah daerah tidak pernah belajar, bencana alam akan terjadi pada daerah eksploitasi yang mengalami alih fungsi lahan dan masyarakat hanya akan menjadi korban,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta pemerintah jangan hanya mengejar pendapatan daerah dari hasil eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Sedangkan, Rhino Subagyo mendesak pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Itu akan bisa mengurangi bencana yang terjadi akibat eksplotasi alam. Selama ini pemerintah terlalu mudah mengeluarkan izin. Pemerintah juga harus berani menindak tegas dan mencabut izin HPH serta konsesi lahan yang tidak sesuai dengan fungsi lingkungan hidup,” katanya.

Secara terpisah, Menhut Zulkifli Hasan menyatakan pemekaran wilayah dan pembangunan perkotaan harus memperhatikan tata ruang dan daya dukung lingkungan. Kota-kota yang sudah telanjur dibangun harus dievaluasi dan ditata ulang agar tidak mengalami bencana. Wasior menjadi salah satu contoh perkembangan kota yang tidak direncanakan dengan baik dan tidak memperhatikan lingkungan sekitar.

Dia menjelaskan kawasan Wasior adalah cagar alam atau konservasi yang seharusnya tidak boleh dikembangkan menjadi kota. Di wilayah itu tidak diizinkan kegiatan apa pun, seperti pertambangan dan HPH.
Direktur Eksekutif Forum Kerja Sama LSM Papua, Septer Manufandu mengakui Kota Wasior dibangun di kawasan cagar alam Pegunungan Wandibo. Selain disebabkan pembalakan liar, bencana banjir juga terjadi karena pembangunan yang tidak mematuhi tata ruang. Hampir 80 persen pembangunan di daerah itu berada di kawasan konservasi. Tanah di daerah itu juga tak stabil, tetapi aktivitas pembangunan terus berlanjut.

Secara terpisah, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono kepada SP di sela-sela pembukaan acara Asia Pacific Transformation Conference (APTC) di Jakarta, Minggu (10/10) malam, menyatakan pemerintah tidak akan segera melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi Kota Wasior, ibu kota Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. “Menurut pengamatan kami, ibu kota Kabupaten Teluk Wondama harus segera dipindah. Sebab, lokasi saat ini sangat tidak tepat karena rawan bencana alam,” katanya.

Sedangkan, Mensos Salim Segaf Aljufri menyatakan warga korban bencana alam di Wasior akan direlokasi. Sebab, wilayah tersebut sudah luluh-lantak.