Wednesday 27 October 2010

Wednesday, October 27, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Warga Papua Simpati dengan Kasus HKBP Bekasi.
JAKARTA - Ribuan warga Kristen Papua melakukan demonstrasi di depan kantor gubernur dan DPRD Papua Barat. “Negara ini rumah besar untuk kita semua, bukan untuk kelompok tertentu saja!” Begitu bunyi salah satu dari puluhan spanduk yang diben-tangkan dalam demonstrasi yang digelar pada 15 September silam oleh Forum Solidaritas Umat Kristen Manokwari-Papua Barat Peduli HKBP Bekasi, Jawa Barat.

Inisiatif demonstrasi ini adalah para ibu yang pada 14 September menggelar kebaktian yang terfokus pada musibah yang dialami oleh sebagian “anggota tubuh Kristus” yang berada di Bekasi. Dari kebaktian itu, muncul keinginan untuk menyuarakan solidaritas melalui aksi  demons-trasi.  Selain menyatakan sikap, gereja-gereja Papua juga akan memberikan sumbangan finansial bagi HKBP Ciketing, Bekasi Timur.

Sebagai kelanjutan dari ungkapan solidaritas itu, beberapa petinggi gereja datang ke Jakarta, terutama untuk bertemu langsung dengan warga gereja yang menjadi korban.

Rumah  bersama 
 Dalam pertemuan di Kantor Pusat PGI, Jumat (24/9/2010), salah satu utusan gereja Papua Pdt. Dr. M.L. Wanma menegaskan bahwa apa yang terjadi di Ciketing, Bekasi berupa penyerangan terhadap sekelompok warga yang hendak beribadah dan penyegelan tempat ibadah merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 dan Piagam PBB. “Penyegelan tempat ibadah oleh Walikota Bekasi bertentangan dengan UUD 1945 dan Piagam PBB tentang HAM dan kebebasan berekspresi,” kata Pdt. Wanma sambil menambahkan bahwa peristiwa itu memunculkan sebuah pertanyaan kritis: “Masihkah NKRI menjadi rumah bersama bagi semua komponen masyarakat Indonesia yang plural ini?”

Mantan Ketua Badan Kerjasama Gereja-gereja di Manokwari  Pdt. A. Marin, S.Th., secara khusus menyoroti pentingnya sikap dan tindakan tegas Presiden dalam mengatasi persoalan ini. “Persoalan Ciketing bukan hanya persoalan Ciketing. Tapi merupakan persoalan bangsa secara keseluruhan. Sekecil apa pun lokasinya, ini merupakan masalah bangsa,” tegasnya. Sebagai orang yang telah diambil sumpah untuk menjalankan amanat konstitusi, Presiden diminta untuk bertindak tegas terhadap orang atau kelompok yang melanggar konstitusi, terutama menyangkut hak atas kebebasan beragama.

“Contohlah Obama yang bersedia kehilangan pamor di antara warga Kristen Amerika demi menegakkan hak konstitusi semua warga, termasuk warga Muslim Amerika,” himbaunya. Ia menambahkan, tak boleh dibiarkan orang memakai kekerasan karena cara itu merupakan cara primitif dan kolot.
 
Karena selama ini Perber 2006 dan sebelumnya SKB Tiga Menteri 1969 terbukti telah dijadikan alat pengekangan dan penindasan kebebasan beragama oleh sekelompok orang, Marin menyerukan agar peraturan bersama itu dicabut atau minimal ditinjau ulang dalam sebuah dialog lintas agama. “Di Papua, orang mendirikan masjid tidak perlu surat ijin,” katanya.

Jangan terjebak kasus
Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe mengajak semua pihak untuk tidak terjebak melihat kasus Ciketing sebagai sebuah kasus lokal. Menurut dia, kasus Ciketing memunculkan pertanyaan besar: Apakah kita masih mampu hidup bersama di negeri ini kendati berbeda suku, agama, ras dan seterusnya?

Persoalan Ciketing harus ditanggapi dengan konsisten dengan prinsip menegakkan konstitusi, bukan mengikuti keinginan mayoritas atau minoritas. “Penyelesaian Ciketing merupakan pilihan antara popularitas dan konstitusi, antara konstituen dengan konstitusi. Dalam pilihan-pilihan itu, Presiden harus tetap memilih menegakkan konstitusi. Beliau harus terus menegakkan konstitusi, meski dengan begitu, citranya turun,” kata doktor dalam bidang teologi ini.

Menurut Yewangoe, tragedi Ciketing meminta seluruh masyarakat terutama para pemimpinnya untuk tidak terus memopulerkan dikotomi mayo-ritas-minoritas. “Istilah mayoritas-minoritas dalam agama itu tidak dikenal dalam konstitusi kita, jadi jangan dibudayakan. Yang dikenal hanyalah warga negara Indonesia yang setara. Dan pemerintah adalah pemerintah Indonesia, bukan pemerintah kelompok A atau kelompok B,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa “kerukunan” merupakan aktivitas kultural dalam relasi yang saling terbuka dan spontan.  Yang perlu dibangun adalah kerukunan otentik seperti terjadi di desa-desa sebelum terintervensi oleh kekuatan politik jangka pendek

Sumber: Reformata