Wednesday 10 November 2010

Wednesday, November 10, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pelanggaran HAM dan Degradasi Etika - Moral Menghadang Gereja-Gereja di Papua.
JAYAPURA (PAPUA) - Momentum Hari Ulang tahun Gereja Kristen Injili di Tanah Papua yang ke -54 pada 26 Oktober 2010 merupakan sebuah momentum bersejarah yang patut direnungkan dan dimaknai, sebab sejak berdirinya gereja ini banyak menhadapi 1001 macam persoalan yang membutuhkan sikap kritis, ketenangan dan hikmat untuk berdiri sebagai benteng umat. Gereja hadir sebagai pelindung dan pencetus misi damai, serta sebagai penyambung lidah kenabian bagi umat Tuhan.

Gereja yang bersifat sebagai pengayom dan pelindung telah mulai angkat bicara tentang kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua dan gaungnya hingga mencapai Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Tujuannya hanya satu yakni agar membantu menghentikan kekerasan terhadap warga sipil di Papua sebab tidak sedikit anggota jemaat yang turut menjadi korban kekerasan.

Selain itu persoalah etika dan moral yang bermunculan akibat degradasi kehidupan mulai dari korupsi, pencurian, perselingkuhan, perceraian hingga pembunuhan, sehingga menantang gereja untuk mengevaluasi lagi fokus pelayan pastoral yang selama ini dijalankan.

Sayangnya banyak warga gereja merasa tidak nyaman berada di gereja, karena pada hari dimana mereka harus beribadah, malah disibukkan dengan urusan perut belaka. Kenyataan yang menurut mereka tidak bisa ditawar-tawar inilah yang menjadi alasan mereka rela berjualan di pasar daripada mengikuti ibadah.

Ada pemikiran jika mereka beribadah memang mendapatkan damai, namun saat pulang meja makan tidak tersedia makanan, sehingga dalam kondisi seperti ini gereja harus turut terlibat dalam persoalan ekonomi warga jemaatnya.

Menanggapi hal –hal ini Pdt Rainer Scheunemann yang adalah Dosen STT GKI I.S Kijne Abepura saat ditemui Suara PerempuanPapua (12/10) mengatakan, “gereja kini terlalu sibuk dengan urusan-urusan formalitas seperti pembangunan-pembangunan yang bersifat fisik, seremonial, organisatoris dan birokratis, sehingga kurang mampu memperhatikan paradigma pembinaan warga jemaat”.

“Gereja kurang fokus dan kurang memberi perhatian penuh terhadap kemandirian jemaat, penataan pola pelayanan terhadap jemaat, sehingga kebutuhan palayanan yang kompehensif dan simultan belum tentu menyentuh sisi-sisi kehidupan” Ujarnya.
Akibat dari faktor-faktor tersebut menurutnya membuat gereja semakin terdesak.

Ditempat berbeda Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua, Pdt Dr Benny Giay sangat setuju jika pelayanan gereja harus diarahkan pada keluarga sebagai basis.“ Keluarga adalah lembaga terkecil dalam kehidupan social masyarakat, tapi keluarga juga adalah basis pertahanan dari gereja” tuturnya

Mencermati kenyataan terkini dari warga Kristiani di Papua yang secara kualitas sangat memprihatinkan. Tengok saja kedalam bidang ekonomi, mereka terpinggirkan, mereka juga tidak mendapat pelayanan yang memadai dibidang kesehatan, bahkan dalam kasus Hukum dan HAM mereka tidak pernah mendapat keadilan.

Belum lagi urbanisasi dengan masalahnya bersama dengan persoalan politik pemerintah yang membawa akibat buruk pada kehidupan orang Papua “Kita sedang ditelan oleh mayoritas . hal ini penting untuk dinilai sebagai tanda-tanda zaman” timpalnya.

Untuk itu fokus gereja kedepan adalah penguatan dan pembinaan kepada generasi muda untuk membangun kesadaran tentang pentingnya membina keharmonisan rumah tangga. Sehingga pembinaan pada keluarga mendapat porsi besar dalam pelayanan pastoral. Selain itu pendidikan dini pada anak-anak juga harus ditingkatkan sehingga mereka memiliki jaminan dan masa depan yang lebih baik.

Pdt Benny Giay juga menyatakan bahwa sering kali gereja-gereja menutup diri rapat-rapat dalam menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, tetapi kedepan gereja-gereja dipapua akan bersatu dan menjadi kuat, karena gereja sejati sajalah yang berpihak pada umatnya.
Sehingga menurutnya gereja sekarang jangan hanya memperhatikan gedungnya saja, tapi harus memberi ruang bagi manusianya sehingga keberpihakan gereja menjadi energi dan tanda bahwa adanya kebangkitan baru gereja-gereja di Papua.

Sumber: KabarGereja