SIDIKALANG (SUMUT) - Bagi umat Kristiani, sejarah Nabi Nuh sebagaimana ditulis dalam Kitab Suci Perjanjian Lama bukanlah cerita baru. Kendati tidak terlalu mendalami, paling tidak perjalanan hidup seorang gembala dalam menentang nafsu duniawi dan memegang teguh iman adalah catatan yang terekam sejak masa kanak-kanak.
Nabi Nuh, adalah seorang warga Jerusalem. Dia dan keluarga hidup di bawah tekanan lingkungan yang penuh gemerlap ribuan tahun silam. Kala itu, manusia memberhalakan harta benda. Mereka mengabaikan Tuhan. Peradaban carut marut tanpa nilai sosial. Masing-masing mencari kesenangan tanpa peduli tindakan itu salah.
Nabi Nuh berusaha menyadarkan masyarakat. Ragam pandangan disampaikan kepada kerabat agar sudi bertobat. Namun, bukan respon positif diterima. Dia malah dilecehkan dan ditertawakan. Tak seorang pun mendengar. Kata demi kata dianggap angin lalu. Mustahil sesuatu petakan bakal timbul. Ucapannya dianggap bual lantaran lupa diri oleh kenikmatan. Begitu pun, ia tetap bersikukuh mencari tiga, dua hingga satu orang yang mau mendengar firman. Perjuangan itu tidak membuahkan hasil. Tak seorang pun manusia di luar keluarga membuka telinga.
Keputusan akhir, Tuhan memerintahkan Nabi Nuh membuat sebuah perahu sebagai sarana transportasi untuk menyelamatkan diri. Penuh ketekunan dan yakin terhadap jalan kebenaran yang abadi, konstruksi perahu itupun rampung. Bahan makanan, ternak serta barang seperlunya dimasukkan. Delapan anggota keluarga termasuk Sem, Ham dan Javet menumpang di sana.
Hingga detik itu, mereka masih jadi bahan cemoohan
Lalu, tak lama berselang, hanya keluarga ini yang dapat tersenyum. Banjir dan air bah meluap. Permukaan bumi memuncratkan air berdebit kencang tiada henti. Demikian pebukitan mendatangkan longsor hingga bumi nyaris lenyap. Suara tawa ria berbalik jeritan isak tangis dimana-mana. Semua memanggil nama Tuhan buat minta tolong. Jangankan meloloskan anak istri, diri sendiri sajapun tersapu oleh derasnya gelombang. Istilah sekarang, identik dengan gelombang tsunami. Tidak tanggung-tanggung air bah itu menerpa selama 40 hari hingga hampir melenyapkan kehidupan.
Nabi Nuh bertahan di atas perahu. Derita dijawab suka. Guna mengetahui apakah hujan telah reda serta banjir surut, dua ekor merpati dilepas. Binatang piaraan itu tak kembali hingga waktu yang dinanti. Itu pertanda, amarah Sang Pencipta belum stop. Sinyal positif diperoleh seiring pelepasan seeokor merpati yang kembali ke perahu.
Pastor Mathias Simarmata pelayan di Gereja Katolik Paroki Sidikalang Kabupaten Dairi, Jumat (29/10) menjelaskan, itu bukan legenda. Firman Tuhan adalah sejarah yang ditulis oleh penginjil. Peristiwa itu mengingatkan semua komponen agar tidak terbawa arus oleh harta, kuasa dan jabatan. Godaan limpahan berpotensi membikin manusia melakukan penyelewengan.
Kondisi itu tengah mengemuka. Memang manusia percaya pada Tuhan. Namun sepertinya, porsi iman berada di nomor dua. Money theisme (mendewakan uang) sepertinya lagi berkembang. Uang dan harga dijadikan target dan alat pemuas. Seolah, aset adalah sumber segala kesenangan. Praktik korupsi, perampokan dan kriminal serta perusakan alam adalah indikasi betapa keserakahan mendominasi fikiran oknum tertentu. Rakyat kecil jadi korban tindakan mereka.
Pemanasan global misalnya, terjadi akibat ulah manusia yang sembarang membabat hutan. Peristiwa banjir akibat penebangan tanpa kendali merupakan contoh relevansi musibah air bah. Artinya, bila manusia berbuat hanya berdasarkan kemauan semata tanpa memperhatikan aspek keseimbangan, maka suatu waktu Tuhan akan memberi hukuman.
Ada di Twi Sitinjo
Kehadiran TWI (Taman Wisata Iman) Sitinjo, (sekitar 10 kilometer dari kota Sidikalang) mengingatkan masyarakat pada janji Allah. Bagaimana bumi semula diserahkan dalam penuh kesejukan, tergambar jelas di sana. Perjalanan salib hingga naik ke Surga dapat diikuti. Harmoni antar umat beragama sebagaimana terjalin di Indonesia dapat dirasakan di sana dimana rumah ibadah berdiri saling berdampingan. Inilah miniatur kerukunan Indonesia.
Mau lebih dekat seputar Perahu Nabi Nuh? Silakan kunjungi Taman Wisata Iman Sitinjo Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, 150 kilometer dari Medan. Konstruksi didesain mirip cerita Alkitab sehingga mampu melahirkan introspeksi diri.
Bangunan diletakkan di pebukitan. Di dalamnya terdapat 17 kamar istirahat terdiri dari 6 kamar di lantai dasar dan 11 kamar di lantai dua. Pasangan warna merah kecoklatan terkesan apik dibarengi terohan tangan sehingga dinding perahu identik dengan papan tua sesungguhnya. Mau berdoa dalam suasana hening? Ruang tersebut boleh jadi pilihan tepat. Apalagi, fasilitas itu berdampingan dengan Bukit Golgata lokasi penyaliban Yesus serta kandang domba kelahiran Sang Penebus.
Dari sudut kamar, Anda akan seolah benar-benar berada dalam sebuah perahu yang tengah mengarungi samudera. Sudut bilik kamar akan membuka hamparan sawah, hijauan hutan Bukit Barisan dan keindahan permukiman Kota Sumbul. Dan, di titik terdekat, tertengok aliran sungai dan air terjun. Di sekitarnya juga terpandang kegiatan penggalian batu padas. Artinya, ragam aktivitas manusia dapat diperbandingkan.
Merpati yang tengah kembali membawa kabar gembira hinggap di sana. Begitu juga Nabi Nuh saat keluar dari perahu, memandang langit cerah pertanda berakhirnya cobaan Dia. Kehidupan baru memuliakan Tuhan saatnya digelar.
Sumber: Analisa