Tuesday 2 November 2010

Tuesday, November 02, 2010
1
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Sebuah Gereja di Eru Paraboat Masih Berdiri Kokoh.
TUAPEJAT (SUMBAR) - Sebuah Gereja  Kristen Protestan Mentawai (GKPM)  di Kampung Eru Paraboat berdiri dengan kokoh diantara bekas-bekas rumah yang tersisa dan juga diantara tumpukkan karang yang sebelumnya berasal dari tengah laut. Lapisan karang-karang terjal dan tajam tersebar di permukaan pantai akibat tsunami. Kampung ini merupakan salah satu titik terparah yang dihantam tsunami di Mentawai. 
  

Kampung yang dulu ditinggali 80 KK (kepala keluarga) tersebut kini hanya menyisakan sekitar 100 orang.

Kuburan masal berisi 60 mayat telah digali di salah satu tanah lapang di dusun itu. Semua bangunan di sana luluh lantak. Namun, mereka memilih bertahan di lokasi tersebut.
Dusun itu adalah salah satu di antara enam dusun dan satu desa yang belum tersentuh bantuan memadai. Warga di sana hanya diberi bantuan secukupnya. 

Itu pun tersendat-sendat. Itu terjadi karena laut sangat tidak bersahabat dan badai masih mengelilingi Pulau Pagai. Dusun-dusun di pulau tersebut, antara lain, Dusun Bulasat, Limu, Mapinang, Pororogat, Munte, Mapopu, Maunai, dan Pororogat.

Titik-titik itu tidak mudah dijangkau karena boat menolak melanjutkan perjalanan. Badai dan gelombang setinggi rata-rata 6 meter menyertai perjalanan menuju Eru Paraboat. Sedikitnya 25 kali kapal wartawan diterpa ombak dan nyaris terbalik. Alasan itulah yang membuat distribusi bantuan tersendat.

Laut di Kepulauan Mentawai memang ditetapkan memiliki ombak terbaik ketiga setelah Hawaii dan Tahiti. Kepulauan Mentawai berada pada jarak 150 km di lepas pantai Pulau Sumatera. Kabupaten seluas 601 kilometer persegi tersebut didiami 64.235 jiwa yang sebagian besar adalah warga asli.

Kepulauan Mentawai terdiri atas 213 pulau dengan empat pulau utama, yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Beribu kota di Tua Pejat, Kabupaten Mentawai terbagi menjadi empat kecamatan dan 40 desa.

Posisi geografis Kepulauan Mentawai di lepas pantai Sumatera Barat memberikan ancaman tersendiri bagi warga karena langsung menghadap Samudera Hindia. Karena itu, kecepatan gelombang tsunami yang menghantam pesisir diperkirakan mencapai 800 km per jam dengan tempo 6 menit dari pusat tsunami sebelum menghantam perumahan penduduk.
“Kami cukup beruntung karena letak dataran tinggi tidak jauh, sekitar 1 km di atas perkampungan kami,” kata Risen.

Sisa bau mayat masih menyengat di sudut-sudut reruntuhan. Ketika mulai melangkah dari bibir pantai, hanya terlihat jalan setapak dan pohon-pohon kelapa yang terlihat utuh. Bantal, guling, sarung, panci, sampai alat pemutar VCD terlihat berserakan di jalanan, tak lagi bertuan. Sejumlah STTB (surat tanda tamat belajar) dan ijazah juga tampak berceceran.

Warga Eru Paraboat kali pertama menerima bantuan pada Rabu (28/10) atau tepatnya dua hari setelah tsunami menghancurkan kediaman mereka. Bantuan tersebut diberikan para surfer yang sebagian besar menetap di Mentawai. Bantuan pun berupa makanan yang hanya bisa membuat mereka bertahan selama sehari. Setelah itu, mereka harus menunggu bantuan lagi.

Setelah mendapat bantuan, mereka pun memilih mengungsi ke hutan dan berjalan menembus jalan setapak ke dusun tetangga, yakni Dusun Asahan. Untuk mencapai dusun tetangga itu, diperlukan waktu sedikitnya tiga jam menembus hutan. “Kami mengungsi ke sana karena jauh dari pantai. Banyak yang masih trauma,” ungkap Zaskina, salah seorang warga.

Dia menceritakan, pascatsunami, warga sempat kelaparan. Mereka pun terpaksa bergantian mengambil air kelapa dan mengumpulkan sisa-sisa makanan yang terserak. Karena air tawar juga sulit didapatkan, bantuan berupa mi instan yang sempat dikirimkan lewat udara oleh militer pun sia-sia.

Tenda darurat didirikan tim perintis berdekatan dengan pantai. Akibatnya, warga menolak tinggal di sana. Warga memilih bermalam di gubuk-gubuk dan tempat pengungsian semipermanen yang didirikan di dataran tinggi di hutan.

Ketika matahari tenggelam, mereka tampak panik dan berlarian kembali ke dalam hutan. Rendahnya pendidikan membuat para korban yang trauma dan takut, mengira bahwa tsunami hanya terjadi saat malam. “Karena itulah, kami takut tidur di tenda. Sebab, saat malam, gelombang bisa datang,” ujar salah seorang warga dengan raut muka serius.
Kini, mereka berangsur-angsur mendapatkan bantuan dari para relawan yang memberanikan diri menembus laut.

Sumber: KabarGereja