JAYAPURA (PAPUA) - Komnas HAM Papua mencatat kekerasan aparat keamanan terhadap warga sipil di Papua pada tahun ini meningkat 70 persen dari tahun sebelumnya. “Tahun 2010 paling tinggi. Kebanyakan pelakunya adalah aparat TNI dan Polri. Tahun ini kekerasan aparat didominasi di daerah Puncak Jaya,” jelas Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Matius Murib kepada wartawan, Selasa (3/12) di Jayapura.
Menurut Murib, cikal bakal tak stabilnya politik dan keamanan dan politik di Papua berawal pada 17 Agustus 2004. Saat itu Goliat Tabuni datang dari Timika, tepatnya di Kali Kopi ke Puncak Jaya lewat Ilaga. “Sebenarnya dia bertujuan pulang ke kampungnya di Guragi dan saat itu bertepatan dengan kegiatan rapat segi tiga dari Gereja Gidi, Baptis dan Kingmi (Kemah Injil Papua)," kata dia.
Goliat Tabuni adalah orang yang oleh aparat keamanan di Indonesia dianggap sebagai pentolan Organisasi Papua Merdeka. Dia dituding sebagai pelaku sejumlah kasus penyerangan terhadap aparat keamanan yang bertugas di daerah itu.
Menurut Murib, dari sinilah konflik di daerah ini berkepanjangan sampai hari ini. Setelah itu, aparat keamanan berusaha untuk memburu Goliat Tabuni. Pada 14 September 2004, misalnya, pasukan Satgas kopassus kembali ke Guragi dengan tujuan mencari, menangkap atau menembak Goliat Tabuni. Pasukan kopassus tidak menemukan Goliat, tetapi berpapasan dengan Pendeta Elita Tabuni dan anaknya juga seorang pendeta.
“Pendeta Elita dan anaknya tidak dapat menjawab karena Elita dan anaknya tidak bisa mengerti dan berbicara bahasa Indonesia dengan baik sehingga pasukan kopassus marah dan menembak mati Pendeta Elisa Tabuni dalam keadaan tangan terikat dengan tali. Sedangkan anaknya berhasil melarikan diri dalam keadaan tangan terikat,” urai Murib.
Saat terjadi penembakan atau pembunuhan terhadap 6 orang non Papua yang bekerja sebagai sopir mobil Hartop di jalan Trans Wamena, Mulia, 12 Oktober 2004, Tabuni juga dituding sebagai pelakunya. “Militer menuding Goliat Tabuni, tapi tiba-tiba muncul dua kelompok baru yang tidak jelas selain Goliat Tabuni yaitu Kelompok Marunggen Wonda dan kelompok kedua yang dipimpin oleh Anton Tabuni,” jelasnya..
Pada tanggal 16 Oktober 2004, Komnas HAM juga mencatat ada penangkapan sewenang–wenang terhadap ketua klasis wilayah Yamo, Pendeta Yason Kogoya.
Akibat sejumlah perburuan itu, kata Murib, banyak terjadi penembakan dan membuat jumlah penduduk yang diperkirakan bersembunyi di hutan- hutan diperkirakan mencapai 5.000 orang. “Sampai saat ini belum diketahui keberadaan para pengungsi ini karena wilayah-wilayah itu sudah diblokir oleh pasukan gabungan," kata dia. Biasanya banyak penduduk menemui ajalnya setelah mengungsi ke hutan karena sakit dan juga kehabisan bahan makanan karena militer memusnahkan hasil-hasil kebun.
Kejadian terus terjadi sepanjang tahun itu hingga tahun 2010. Salah satu yang disebut Komnas HAM adalah ditembaknya pendeta Kindeman Gire oleh TNI pada 17 Maret 2010 di Kelome, Distrik Tingginambut. Keesokan harinya, kata Murib, TNI mengepung sejumlah warga dan melakukan sejumlah aksi kekerasan terhadap warga.
Berdasarkan hasil rekapitulasi Komnas HAM Papua, di tahun 2004 tercatat ada lima kasus, 2005 tiga kasus, 2006 1 kasus, 2007 1 kasus, 2008 tidak ada, 2009 terjadi 8 kasus, dan tahun 2010 11 kasus. Korban meninggal, di tahun 2004 7 orang, 2006 2 orang, 2007 1 meninggal, 2009 5 meninggal, 2010 terdapat 5 meninggal.
Dengan banyaknya kejadian di Puncak Jaya, Komnas HAM Papua mendesak Gubernur Papua untuk memberikan kesempatan dan dukungan kepada pihak Gereja melakukan negosiasi dengan umat-Nya di Puncak Jaya dengan penuh kasih sayang bukan dengan cara kekerasan. “Kami juga minta kepada Pangdam XVII Trikora dan Kapolda Papua untuk menghentikan semua operasi dan upaya penambahan pasukan yang hanya menambah trauma dan berpeluang jatuhnya korban di pihak warga sipil lagi di Puncak Jaya dan sekitarnya,” ungkapnya.
Kepada warga sipil warga sipil di seluruh Tanah Papua yang selama ini menggunakan senjata api, diminta untuk menghentikan aksi kekerasan dan konsolidasi untuk pemulihan. “Kami juga meminta kepada Kapolda Papua untuk memproses hukum setiap orang/kelompok yang di duga terlibat dalam kasus Puncak Jaya, sejak tahun 2004 sampai 2010. Hasilnya di sampaikan kepada para pihak dan publik di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Sumber:Tempointeraktif