Tuesday 7 December 2010

Tuesday, December 07, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pengungsi Tanpa Batas di Yogyakarta.
YOGYAKARTA - Wedus gembel, menjadi momok paling menakutkan masyarakat Yogyakarta sejak 26 Oktober 2010. Kematian mulai mengintai tatkala gemuruh terdengar. Awan bergulung secepat angin berhembus telah meniupkan kematian. Sejenak senyap menyapa Lereng Merapi dari berbagai penjuru.

Bencana menyapa Yogjakarta atau Jogja. Panggilan akrab bagi siapa saja untuk kota gudeg dan kota pelajar ini. Sejak Merapi menggeliat, kali ini saya pulang untuk menengok debu vulkanik yang menghimpit nafas. Bersama dengan beberapa teman, kami membawa masker, obat tetes mata dan beberapa keperluan pengungsi lainnya.

Perjalanan panjang dimulai dari penerbangan hari itu, Sabtu, 6 November 2010. Semua jalur penerbangan menuju Jogja dialihkan ke Semarang. Setelah menunggu selama seharian penuh, malam itu akhirnya saya menjejakkan kaki di bandara Ahmad Yani, Semarang. Perjalanan menuju Jogja ditempuh kurang lebih 4 jam. Perjalanan malam, diiringi gerimis dan abu tipis, membuat jarak antara Semarang dan Jogja makin jauh.

Lewat pukul 22.00, rombongan saya memasuki wilayah Muntilan. Gelap dan sunyi, sepanjang jalan listrik padam. Terlihat beberapa lilin menyala, di kelilingi beberapa orang. Ternyata mereka kaum lelaki yang tidak mengungsi, tetapi berjaga di sepanjang jalan. Bayangan pohon tumbang dan atap rumah jebol terlihat makin membuat seperti kota mati. Pasir setebal 5 centi menutup jalan. Saya kemudian mengajak teman-teman untuk menepi, melihat langsung suasana malam. Ketika keluar dari mobil, bau belerang sangat menyengat. Hal ini memaksa kami kembali kedalam mobil dan memakai masker. Perlahan perjalanan dilanjutkan menuju Jogja malam itu.

Jogja masih pagi ketika geliat Malioboro tak seperti biasanya. Pasar Beringharjo juga sepi. Pusat perbelanjaan juga masih terlihat lengang. Hari itu, 7 November 2010, saya berkunjung ke tempat pelatihan pendampingan korban Merapi. Bersama dengan beberapa kampus hari itu akan dilaksanakan pelatihan pendampingan secara psikologis terhadap korban. Hal ini mengingat bahwa penanganan sesudah bencana sangat diperlukan, agar korban dapat terbantu secara kejiwaan.

Saya berupaya menghubungi teman-teman lintas iman di Jogja melalui beberapa rekan. Antusias dari para relawan lintas agama, lintas suku terlihat dalam pelatihan yang diselenggarakan di Aula Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM). Relawan itu berasal dari posko Kalasan yang di ikuti oleh mahasiswa dari Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Atma Jaya, Universitas Kristen Emanuel Universitas Islam

Dalam pelatihan ini seluruh relawan bersama-sama melebur dalam satu harapan ingin membantu sesama, tanpa melihat perbedaan yang ada. Ini menjadi sebuah kekuatan besar di Jogja. Termasuk relawan lintas agama di berbagai posko. Data yang saya himpun dari data Mahasiswa Pecinta Alam Geologi UGM, sampai dengan tanggal 11 November, sejumlah Universitas dan sekolah Katholik menjadi pos pengungsian antara lain: Universitas Sanata Dharma Paingan, Universitas Atmajaya, SMU Kolese Debrito, Seminari Tinggi Kentungan, Gereja Marganingsih, Gereja Banteng, Gereja Pangukrejo, Gereja Ganjuran dan beberapa tempat lainnya.

Beberapa teman relawan yang saya temui mengatakan bahwa dalam situasi bencana, mereka tidak perlu menanyakan identitas pengungsi. Semua membutuhkan tempat untuk sementara. Tanpa kecuali persoalan agama tidak perlu menjadi identitas yang menghambat penyaluranbantuan dan pertolongan.

Seperti sore itu, 8 Oktober 2010. Saya berkunjung ke pos pengungsian di Kalasan. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri I Kalasan. Siswa harus merelakan ruang belajar mereka menjdi tempat mengungsi 1500 orang. Ruang-ruang kelas itu menjadi tempat tidur sementara. Tikar digelar di tiap ruangan untuk tidur dan beristirahat pengungsi dari berbagai tempat.

Anak-anak tetap bermain di riuhnya pengungsi lain. Sementara beberapa ibu muda menggendong anak-anak balita. Sore itu mereka sedang antri di depan raung secretariat posko. Antri ember untuk mandi balita. Kenyataan tak ada fasilitas mandi unutk balita harus diterima oleh pengungsi. Mereka harus membiarkan balita mungil itu di guyur air dingin. Tak ada air hangat tersedia disana.

Seperti yang dialami oleh Sri, perempuan beranak dua tersebut menjadi pengungsi sejak Merapi sering mengeluarkan bunyi gluduk-gluduk. Ia memilih menyingkir ke posko karena tidak tenang tinggal dirumahnya. Ia pun tak pernah tahu bahwa salah satu coordinator posko adalah seorang pendeta dan beberapa mahasiswa Katholik. Ia juga tak pernah ditanya apakah agamanya atau kepercayaannya.

Pendeta Yane bahkan merelakan hari-harinya untuk berbagi dengan pengungsi, bahkan hari minggu pun dilewati di posko pengungsian. Perempuan asal Nusa Tenggara Barat itu menyampaikan bahwa melayani pengungsi meskipun melelahkan tetap menyenangkan. Karena ini adalah bagian dari pelayanan terhadap sesame secara nyata. Bahkan beberapa mahasiswa relawan, terlihat tetap menyembangkan senyum mereka diantara letih melayani pengungsi. Bagi mereka, inilah saat berbagi. Saat memberikan apa yang bisa mereka lakukan untuk sesama.

Seperi Idul Adha tahun ini, Seminari Tinggi Kentungan yang dihuni oleh 800 orang menyediakan halaman seminari untuk Sholat. Bahkan dengan suka rela para relawan yang terdiri dari beberapa frater membantu menyiapkan pemotongan hewan korban.

Harmoni keberagaman itu tetap tumbuh diantara gemuruh Merapi. Diantara riuhnya pengungsi perbedaan itu tetap terjaga. Tempat pengungsian bukan halangan bagi mereka untuk tetap melakukan kegiatan keagamaan. Bahkan saling menjaga adalah cara yang dirasa tepat untuk mengembalikan semangat Jogja.

Sumber: Tribuners