Friday, 7 January 2011

Friday, January 07, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Merah di Probolinggo Belum Dilindungi Perda Bangunan Bersejarah.
PROBOLINGGO (JATIM) - Meski kaya bangunan cagar budaya, hingga kini Kota Probolinggo belum mempunyai payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) untuk melindungi bangunan bersejarah.

Sisi lain, ada sejumlah warga Belanda yang mempunyai kepedulian untuk mengembalikan benda-benda bersejarah asal Probolinggo.

“Kalau eksekutif tidak segera mengusulkan draft Rancangan Perda Cagar Budaya, ya nanti Komisi A yang berinisiatif melahirkan Perda tersebut,” ujar Ketua Komisi A DPRD Kota Probolinggo Asad Anshari, Jumat (7/1) pagi tadi.

Soalnya, keberadaan bangunan dan benda cagar budaya harus mendapatkan payung hukum. Dikatakan tanpa payung hukum, Pemkot Probolinggo tidak bisa menggunakan anggarannya (APBD) untuk biaya perawatan gedung-gedung bersejarah.

Sehari sebelumnya, Kamis (6/1), Komisi A mengunjungi sejumlah gedung cagar budaya di Kota Bayuangga. Mulai Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel, Asrama Suster Perawan Maria, gedung SMP Mater Dei, hingga Stasiun Kereta Api (KA) Probolinggo.

GPIB di Jl. Suroyo atau yang populer dengan sebutan Gereja Merah karena warna catnya merah selama ini sering dikunjungi wisatawan mancanegara terutama dari Belanda. “Banyak turis terpikat Gereja Merah karena masih berdiri kokoh padahal dibangun pada tahun 1862 silam,” ujar Sekretaris GPIB Jhon Rondonuwu.

Di altar gereja tua itu tertera tulisan ”Gebouwd Anno 1862” (dibangun tahun 1862). “Di dunia hanya ada dua gereja yang seperti ini, satu di Denhaag, satu lagi ya Gereja Merah di Probolinggo,” ujarnya.

Gereja Merah yang struktur bangunannya sebagian besar dari besi baja dulu memang dibuat dan dirancang di Belanda. Setelah jadi, struktur bangunan yang bisa dibongkar-pasang (knock down) itu kemudian dikapalkan ke Probolinggo.

Sesampai di Probolinggo, struktur bangunan itu dirangkai kembali menjadi bangunan gereja. “Aslinya dinding gereja papan biasa, karena tidak rata kami lapisi dengan kayu lapis,” ujar John.

Bangunan cagar budaya lainnya adalah Asrama Suster Perawan Maria lengkap dengan gereja Katholik (kapel) di susteran di Jl. Dr Moch. Saleh. Bahkan Suster Adelia Alberste (86), misionaris berkebangsaan Belanda merupakan saksi mata sejarah karena sudah sekitar 60 tahun tinggal di Probolinggo.

Bangunan-bangunan bernilai sejarah itu, kata Asad, harus dijaga kelestariannya. Caranya dengan cara merawat dan memperbaikinya kalau ada kerusakan. Ironisnya, tidak ada anggaran untuk perawatan bangunan dan benda cagar budaya pada APBD 2011. “Anggaran yang ada baru untuk museum, sedangkan untuk cagar budaya belum ada,” ujarnya.

Meski Perda belum ada, Asad menyarankan, Pemkot Probolinggo tetap melestarikan bangunan cagar budaya. Caranya, menghubungi pemilik atau warga yang menempati bangunan cagar budaya itu. “Syukur-syukur Pemkot menyumbang dana perawatan bangunan cagar budaya biar pemiliknya tidak nggerundel,” ujarnya.

Museum Probolinggo sendiri, kata Asad, baru dioperasikan April 2011, namun isinya masih kurang. Pemkot Probolinggo bakal menerima sumbangan helikopter bekas dari Mabes Polri. Selain itu, Nico van Horn, warga Belanda bakal menyumbangkan sejumlah benda bersejarah yang dibawa kakek moyangnya ke Belanda semasa penjajahan

Sumber:SurabayaPost