JAKARTA - Dalam mengenang satu tahun wafatnya Abdurrahman Wahid, tokoh pluralisme Indonesia, para pemuka agama menekankan bahwa masyarakat perlu dididik untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan, sehingga mereka bisa menghargai sesamanya.
“Kita hendaknya bersama mendidik masyarakat dengan nilai-nilai kemanusiaan agar mereka menghargai yang lain,” Kata Pastor Franz Magnis Suseno SJ, dosen STF Driyarkara di Jakarta pada seminar dalam mengenang wafatnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang meninggal pada 30 Desember 2009.
Acara yang digelar Gerakan Peduli Pluralisme itu memilih tema ”Kebinekaan Pasca Gus Dur”, dan disi dengan berbagai kegiatan termasuk seminar, peluncuran buku dan film tentang Gus Dur serta pameran.
“Saya kira kita perlu berupaya dari lingkungan kita untuk belajar termasuk nilai-nilai kemanusiaan yang ditegakan oleh Gus Dur. Gus Dur adalah seorang pluralis, nationalis dan humanis,”
Kata Pastor Magnis kepada sekitar 100 peserta yang hadir.
Keterbukaan yang humanis seperti Gus Dur, katanya, mengubah hubungan antara kelompok mayoritas dengan kelompok lain di Indonesia. “Ini menjadi salah satu faktor yang membuat saya sangat dekat dengan Islam dan selalu disambut dengan hangat dan nyaman di tengah mereka.”
Imam itu mengatakan, “Kita juga berhak untuk membela dan membantu orang yang tertindas, tidak hanya masalah yang dihadapi Protestan and Katolik dalam kaitan dengan ibadat dan tempat ibadat.”
Kiai Haji Nuril Arifin Husein (Gus Nuril) menyanyikan lagu Silent Night untuk membuka acara itu untuk menghormati umat Kristiani yang merayakan Natal.
“Kita duduk bersama bukan untuk mengubah pikiran tapi hati kita karena hal itu akan menimbulkan cinta terhadap kemanusiaan,” kata pemimpin Muslim itu.
Lily Wahid, seorang anggota DPR RI, mengatakan, “Kita mestinya sadar bahwa kita hidup di tengah multi etnis dan agama sejak sebelum negara kita kemerdekaan. Semua agama dan kepercayaan memberikan kontribusi terhadap kemerdekaan itu. Namun sekarang ada yang sudah antipati terhadap agama lain, menurut saya, orang tidak paham terhadap sejarah dan agamanya sendiri.”
Damien Dematra, coordinator GPP, mengatakan, “Tantangan bagi kami dari activis pluralisme adalah berbagai kejadian yang masih terjadi saat ini khususnya dalam kaitan dengan keagamaan karena orang sulit untuk beribadah dan membangun tempat ibadah.”
Sumber: CathnewsIndonesia