CIANJUR (JABAR) - Natal di Palalangon seperti perayaan Lebaran. Anak-anak bergembira mengenakan pakaian baru. Mereka berlari-larian di halaman gereja sambil menunggu orang tua mereka selesai beribadat.
Natal di Palalangon pun tak seperti di kota besar. Tak ada penjagaan ketat petugas. Jalannya ibadat berlangsung khidmat dengan kicauan burung dan suara gemerisik daun yang diterpa angin.
Itulah secercah suasana di sekitar Gereja Kristen Pasundan (GKP) Palalangon yang terletak di Kampung Palalangon RT 02 RW 09 Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat.
Natal di Palalangon juga menyisakan banyak pertanda tentang sebuah cita-cita luhur suku Sunda yang senang hidup rukun dan damai, dengan khotbah dari pendeta yang banyak menyerukan perdamaian di atas perbedaan. Pada mulanya keterasingan. Demikian diungkapkan Pendeta I Putu Suwintana seusai memimpin kebaktian sehari sebelum Natal, Jumat (24/12). Dia menceritakan awal berdirinya (GKP) Palalangon tersebut.
“Kehadiran Kristen tak lepas dari intimidasi, baik secara ekonomi, politik, maupun primordial,” Putu menjelaskan. Kehadiran Gereja Palalangon pun tak lepas dari semangat mengasingkan diri. Hal itu dilakukan agar umat Kristen di tatar Sunda bisa terselamatkan dari gejolak pada masa itu. Pencarian lokasi penyelamatan akhirnya dilakukan seorang pengabar injil dari Belanda, BM Alkema. Dalam misinya, dia mengajak tujuh orang pribumi yang berasal dari Jabar.
Pencarian dimulai dengan menyusuri Sungai Cisokan di sebelah utara Cianjur yang diteruskan ke selatan menyusuri Sungai Citarum. Setelah satu minggu pencarian, akhirnya ditemukan sebuah tempat yang lapang. Itu pun ditemukan tak sengaja akibat salah satu anggota rombongan terperosok. Sebuah tanah lapang dengan kontur seperti punggung kura-kura. Tempat itu dirasa cocok bagi penganut Kristen.
Toleransi Kuat
Di tempat ini, mereka hidup da mai dan bisa menjalani ibadah dengan leluasa. Penduduk setempat yang jumlahnya tak banyak pun amat toleran dengan perbedaan. Hal ini mem buat banyak warga Priang an, baik dari Bogor, Sukabumi, Ja karta, maupun Banten, pindah ke sana.
Pada 1902, barulah dibangun sebuah gereja, dan Palalangon dikukuhkan sebagai nama gereja sekaligus nama kampung. Menurut warga sekitar, Palalangon diambil dari bahasa Sunda yang berarti “panggung yang luhur”.
Nama tersebut dipilih Alkema karena sesuai dengan kontur tanah serta sebagai tempat yang nyaman bagi warga Kristen. Pada perkembangannya, banyak penduduk yang membangun rumah dekat gereja itu. Mau tak mau, hubungan kekerabatan mereka jalin sejak saat itu. Sikap toleransi berkembang lambat laun. Tak sadar, masing-masing pihak saling menghormati ritual agama mereka. “Dari awal agama Kristen berkembang di sini, tak pernah sekali pun ada konflik.
Tak salah dinamai sebagai Palalangon,” kata Ucu Suwarna Miun, Ketua 1 Majelis Jemaat GKP Palalangon. Bola salju kekerabatan ini semakin menggelembung setelah pihak satu dengan pihak lain melebur. Entah dalam status pernikahan maupun persahabat an. Jadilah dalam satu keluarga lumrah ada yang beragama Islam maupun Kristen.
Di Palalangon saat ini, sudah ada 370 keluarga yang menganut Kristen dari tujuh keluarga pada 108 tahun lalu. Sebagian besar menghadiri kebaktian yang dilakukan Jumat lalu. Mereka datang berbondong- bondong tanpa kendaraan bermotor. Ini membuat suasana gereja sangat tenang.
Pada kebaktian malam kudus menjelang Natal, walaupun petir menggelegar, ibadat tetap jalan. Umat tetap khusyuk mengikuti prosesi keagamaan. Ini pertanda bahwa di Pala longan, toleransi beragama selalu terjaga.
Sumber:Koran Jakarta