MERAUKE (PAPUA) - Uskup Agung Merauke Nicholaus Adi Seputra MSC meluruskan berita yang menyebutnya mendukung megaproyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di atas 1,28 juta hektare di Merauke, Papua. Menurutnya investor memang perlu didatangkan membangun Merauke, tetapi syaratnya harus melibatkan dan memajukan warga setempat.
Beberapa waktu yang lalu, kata Uskup Nicholaus, di banyak tempat sudah ramai dibicarakan di email berita yang menyebut Uskup Agung Merauke memaksa rakyat untuk terima investasi di merauke.
Dia mengaku mendengar informasi samar-samar tentang hal itu, dan tidak pernah tahu berita lengkap yang dibicarakan di mana-mana. Barulah awal tahun ini, 1 Januari 2011, kata Uskup Nicholaus dalam surat yang ditulis 12 Januari 2011, ada seorang sahabatnya yang meneruskan email itu kepadanya, sehingga mendapatkan email itu secara utuh.
Berita itu membeberkan bahwa pihak Gereja Katolik, dalam hal ini, Uskup Agung Merauke, harus bertanggung jawab atas penderitaan orang Papua.
Seolah dibenturkan, menurut rumor itu, saat orang Papua menolak dan tidak hendak menerima investor asing atas Program Pemerintah Indonesia, justru uskup Merauke memaksa rakyat Papua di Merauke untuk menerima proyek ini.
"Sejauh saya tahu dan sejauh saya ingat, Bupati John Gluba Gebze, DPRD dan Dinas-dinas terkait, para tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama, tidak pernah duduk bersama untuk rapat koordinasi dalam rangka membahas hal-hal penting tentang para investor," kata Uskup Nicholaus dalam pernyataan yang diterima redaksi Tribunnews melalui surat elektronik (email), Jumat (14/1).
Menurut Uskup, tidak pernah dibahas berapa luas tanah yang diperlukan, berapa besar ganti rugi, dan bagaimana keterlibatan pelbagai pihak atas masuknya para investor itu. Yang ada adalah, sekitar tahun 2006, informasi Merauke akan dijadikan kota agropolitan, agro wisata dan agro industri.
"Kemudian muncul berita dalam 1- 2 tahun terakhir ini, bahwa Merauke dipilih untuk menjadi tempat untuk program MIFEE.
Apa isi program MIFEE, siapa yang terlibat dan dilibatkan, instansi mana yang akan menangani, semuanya kabur bagi saya. Yang pasti, saya tidak pernah hadir dalam rapat-rapat mereka," kata Uskup Nicholaus.
Diinformasikan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) pada 10 Maret 2008. Dalam PP itu disebut, areal MIFEE telah dikapling sebagai kawasan andalan, terutama sektor pertanian.
Kemudian, pemeritah mencanangkan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di atas lahan 1,28 juta hektare.
Kawasan ini diplot menjadi 10 klaster dan tersebar di 16 distrik. Delapan di antaranya berada di Kabupaten Merauke, sisanya masuk distrik Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Greenomics Indonesia, baru-baru ini melansir hasil surevei yang menyebut sebagian besar lahan atau sluas 1.157.347,5 hektare kawasan MIFEE berada di hutan kasan hutan. Hanya kurang dari 10 persen, atau 125.485,5 hektare dari 1,28 juta hektare yang bukan hutan.
Uskup mengatakan, dia tidak pernah tampil untuk mempromosikan program ini. "Karena bagi saya semuanya belum/tidak jelas," ujarnya sembari menyebut menyadari Merauke perlu banyak investor.
"Pemkab Merauke tidak akan mungkin dapat membangun masyarakat dengan kekuatannya sendiri. Pemda membutuhkan investor. Saya pun memahami dan mendukung hadirnya investor.
Namun belum pernah ada investor yang berunding bersama sampai tuntas dan tertulis tentang hal-hal yang amat pokok dan penting untuk kemajuan bersama, terlebih untuk membangun masyarakat lokal secara berkesinambungan dan untuk jangka waktu panjang," imbuh Uskup, jabatan untuk pimpinan gereja Katolik lokal.
Kepada para investor yang telah ada, Uskup mengaku menanyakan dan meminta fotokopi surat kontrak moral-sosial dengan masyarakat lokal. Isi surat kontrak itu adalah kerelaan dan kepedulian para investor untuk mengembangkan SDM setempat melalui bidang pendidikan, kesehatan dan pengembangan infrastruktur dan sosial ekonomi. Namun sampai hari ini, surat kontrak yang dia minta itu tidak pernah ada, meski secara lisan mereka menyanggupinya.
Kemudian, katanya Keuskupan Agus Merauke sudah sejak dulu, tahun 1905, berarti sudah lebih dari 100 tahun memberikan penyadaran kepada masyarakat. Misalnya, tentang hak-hak azasi manusia, pentingnya tanah untuk generasi mendatang, pelestarian hutan dan lingkungan hidup, perlunya pendidikan dan peningkatan kesehatan serta penyediaan air bersih.
Tentang Demonstrasi yang terjadi tanggal 25 November 2010 di Merauke. Dikesankan di dalam tulisan itu, bahwa Uskup hadir di Gedung DPRD Merauke dan melawan para demonstrans itu.
"Realita yang ada adalah, tanggal 1-18 November 2010 saya ada di Jakarta dalam rangka Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia dan Rapat KWI. Tanggal 19 - 23 Nov 2010 saya ada di Agats untuk menghadiri pesta 40 tahun Keuskupan Agats.
Akibat kesulitan penerbangan, saya harus kembali via Timika, bermalam di Timika dan Jayapura. Saya baru tiba di Merauke tanggal 25 Nov 2010 siang," ujarnya.
Berdasarkan realita itu, menjadi jelas bahwa Uskup tidak ada di Merauke ketika demo itu berlangsung. "Saya juga tidak membuat pernyataan apa pun tentang program MIFEE di depan para demonstran," ujarnya sembari berharap kiranya penjelasannya cukup meluruskan berita miring yang sudah beredar di mana-mana.
Sumber: Tribun News