PENANG (MALAYSIA) - Umat Kristen punya misi untuk mengubah masyarakat dan ini termasuk mengubah Gereja, kata seorang uskup Anglikan dari Malaysia. “Dalam Gereja sendiri, kita menghadapi banyak tantangan – umat terbagi dalam dua ekstrim,” kata Uskup Andrew Phang dalam South East Asia Provincial Gathering kedua dari Gereja Anglikan yang diselenggarakan pada 22-24 Februari di Penang.
Menjelaskan tema pertemuan “Bangkit Menerjang Badai” tersebut, dia mengatakan bahwa di dalam Gereja ada satu kelompok yang ortodoks dan dingin yang menolak untuk terlibat dalam masyarakat atau politik. Pada saat yang sama, ada kelompok “liberal” yang menggunakan ayat-ayat tertentu dari Kitab Suci dan menerapkannya dalam hidup sosial.
Menjelaskan tema pertemuan “Bangkit Menerjang Badai” tersebut, dia mengatakan bahwa di dalam Gereja ada satu kelompok yang ortodoks dan dingin yang menolak untuk terlibat dalam masyarakat atau politik. Pada saat yang sama, ada kelompok “liberal” yang menggunakan ayat-ayat tertentu dari Kitab Suci dan menerapkannya dalam hidup sosial.
Mereka mendasarkan tindakan mereka pada emosi bahkan sekalipun tindakan itu salah. Gereja di Asia Tenggara menghadapi tantangan besar karena dia merupakan minoritas kecil di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dan Budha, tambahnya. Mencari lahan untuk kuburan dan untuk tempat ibadah terus saja menjadi masalah, katanya kepada sekitar 500 para pemimpin Gereja Anglikan.
Seringkali kita “harus menggunakan ruko sebagai tempat ibadah,” katanya. Dia kemudian berkata: “Gereja ingin menjadi katalisator perubahan yang menguntungkan dan bermakna,” sambil mencatat bahwa “secara global ada jeritan untuk perubahan. Namun, perubahan itu sendiri sulit diprediksi karena ada hasil yang baik dan buruk.”
Uskup Agung John Chew dari Singapura mengatakan, meskipun Gereja Anglikan hanya bersuara kecil “di tengah-tengah badai,” dia dapat bangkit untuk mengubah masyarakat bersama-sama sebagai satu provinsi.
Provinsi Anglikan Asia Tenggara terdiri dari empat keuskupan – Malaysia Barat, Singapura, Kuching, dan Sabah. Semuanya berbasis di Malaysia atau Singapura, tetapi mereka juga melayani komunitas-komunitas kecil di Nepal, Myanmar, Brunei, Thailand, Kamboja, Laos, dan Indonesia.
Pertemuan itu dihadiri oleh 500 delegasi, termasuk beberapa dari Afrika Selatan, Zambia, Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada. Pertemuan tingkat provinsial itu itu pertama kali dilakukan tahun 2007 di Sabah, Malaysia timur.
Sumber: ucanews.com