JEMBARANA (BALI)- Perayaan Hari Natal selalu dilaksanakan dengan khidmat di Gereja Hati Kudus Yesus (HKY), yang berlokasi di Jalan Gereja no. 2, Dusun Ekasari, Desa Palasari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali.
Pada 24 Desember yang lalu dipentaskan drama natal oleh anak-anak Paroki Hati Kudus Yesus, yang menceritakan kelahiran Yesus Kristus, sang juru selamat.
Drama natal yang disaksikan ratusan jemaat itu dipentaskan di gereja yang megah dan bernilai sejarah. Gereja yang dirancang oleh pastor berkebangsaan Belanda, Bruder Ign. AMD Vrieze, SVD, mulai dibangun pada tahun 1956.Sedangkan “pentahbisan” gereja Katolik ini dilakukan pada 13 Desember 1958. Rehabilitasi diawali pada Agustus 1992, dan selesai pada 1994.
Sebelum memasuki gereja, orang akan melewati alun-alun yang sangat luas, yang terletak sisi kanan (di sebelah Barat) gereja ini. Melalui jalan raya yang ada di hadapannya, pengunjung/umat akan dapat masuk melalui dua buah candi bentar gaya Bali, berpintu terali besi, dicat putih, masing-masing dengan enam anak tangga (undag) di depannya.
Dengan pelataran yang luas dan penataan lansekap yang asri, pengunjung/umat akan “diarahkan” menaiki tangga memasuki halaman kedua, yang “diterima” oleh candi bentar pula dengan 20 buah anak tangganya, lebih banyak dari undag candi bentar yang ditemui sebelumnya. Beberapa jenis pepohonan seperti cemara, palm, kemboja, flamboyan, dan bermacam tanaman hias lainnya tertata rapi dan indah. Dari halaman yang kedua inilah baru terlihat pintu gerbang utama bangunan gereja HKY.
Saat pertama masuk gereja ini, akan dijumpai semacam foyer (ruang penerima), yang pada bagian atasnya merupakan lantai dua, yang (pada awalnya) dipakai untuk ruang kegiatan paduan suara (koor) sebagai pengiring prosesi upacara persembahyangan. Kini, kegiatan koor lebih sering diselenggarakan pada sisi ruang depan altar, kecuali kalau dalam keadaan tertntu umat yang datang beribadat sangat penuh dan memadati ruang, maka barulah ruang pada lantai dua di bagian depan tersebut difungsikan.
Sesudah melewati ruang ini, lantas ke ruang umat (ruang untuk sembahyang). Lebih masuk lagi, di sebelah kiri podium pertama dipajang patung Santo Josef, dan di sebelah kanannya berdiri patung Bunda Maria. Pada podium utama kemudian, di tengah-tengahnya terdapat ruang altar yang berfungsi sebagai tempat kurban. Di belakang altar terdapat tabernakel (penyipanan sakramen roh kudus) berlatar belakang patung Yesus Kritus (disalib) menempel pada dinding bagian atasnya. Ruang paling belakang merupakan ruang sakristi (persiapan).
Di sebelah kanan dan kiri altar terdapat tempat sembahyang para biarawan dan biarawati, atau untuk para umat yang tidak memperoleh tempat pada ruang umat di depan (ruang ini disebut pula sebagai ruang kapela). Selain itu terdapat pula dua buah ruang “pengampunan dosa” (ruang pengakuan), yang masing-masing memiliki luasan sekitar 6 m2.
Ruang-ruang ini pun mengambil posisi di sebelah kanan dan kiri altar. Di belakang atau di sebelah timur laut gereja, selain tersedia garase, terdapat arsitektur tempat hunian (tempat tinggal) para pendeta (bangunan “pastoran”) berdampingan dengan “pendopo pasturan”, tempat ziarah dan tempat parkir kendaraan yang ada di sebelah Selatannya.
Gereja HKY merupakan perpaduan antara gaya Eropa (model Gothik) dengan arsitektur Bali. Pada arsitektur gereja ini, ada tujuh buah salib di atas atap.
Tiga buah salib dipasang pada tiga buah menara di atas bangunan bagian depan, tiga buah di atas bangunan bentuk meru, dan satu lagi di puncak atap ruang sakristi. Tujuh buah salib ini melambangkan tujuh sakramen, yakni permandian, pengakuan, komuni, krisma (penguatan), perkawinan, imamat (yang ditahbiskan menjadi iman), dan pengurapan minyak suci. Puncak bangunan yang tertinggi (pada puncak atap meru bertumpang tiga), berketinggian 33 meter dari permukaan lantai dasar bangunan.
Menurut Bapak Puniastha — ketua bidang pembinaan iman di Gereja HKY, tiga buah bangunan meru — satu buah bertumpang tiga, dan dua buah lagi bertumpang dua — melambangkan sifat “Tri Tunggal Maha Kudus” (satu Tuhan, tiga pribadi), yaitu Allah sebagai Bapa, sebagai putra Yesus, dan roh kudus.
Dengan menggunakan struktur rangka tiang (pilar) beton bertulang berbentuk melengkung, lengkungan tersebut sebagai lengkungan model Gothik, yang bermakna mengarah ke atas (ke Yang Maha Kuasa). Tiang-tiang struktur berbentuk lengkung tersebut (puncaknya) memiliki ketinggian 12,50 meter dari permukaan lantai gereja. Secara visual bentuk lengkungan tersebut terlihat dengan jelas dari ruang ibadah (umat bersembahyang), dengan tampilan yang jujur, struktur tersebut diekspose dan dicat, dan pada bagian bawah/kakinya ditempel ornamen style Bali.
Drama Natal
Bentuk geomentris yang demikian ini diimbangi pula bentuk kusen-kusen jendela yang melengkung ke atas, dengan kaca jendela berwarna warni, yang pada tepian kusennya (berhubungan dengan dinding) dibingkai dengan paras warna abu-abu.
Bahan dinding-dinding dengan ketebalan 45 cm bangunan gereja ini dibuat dari bahan (cetakan) campuran bata merah yang ditumbuk, kapur dan pasir. Setelah mengeras bahan ini disebut dengan batu porma. Kecuali untuk dinding-dinding pemisah ruang yang terdapat di antara ruang altar dan ruang sakristi, serta dinding (ketebalan sekitar 30 cm/satu bata) penyekat ruang sakristi itu sendiri (terbagi menjadi dua ruangan) menggunakan bata merah.
Atapnya menggunakan genteng plentong Pejaten pada bangunan induk, beratap ijuk (bahan yang berasal dari Lampung). Bahan ijuk bersebut secara khusus hanya dipergunakan pada tiap-tiap atap yang tertinggi dari menara (bentuk meru) yang bertumpang, dengan rangka atap memakai bahan kayu bangkirai. Seluruh kusen terbuat dari bahan kayu merbau. Kemudian, pada plafonnya sebagian memakai kayu bangkirai bentuk lambersiring dan sebagian lagi lambersiring jati. Sedangkan lantainya menggunakan bahan keramik.
Bila diamati lebih seksama, maka wajah (fasade) depan arsitektur gereja ini — yang lebih didominasi oleh unsur bidang datar vertikal — mungkin terilhami fasade gedung S. Agostino di Roma karya Giacomo da Pietrasanta dan gedung S. Maria Novella, Florence karya Alberty.
Secara proporsional, figur geometris fasade tersebut memiliki visualisasi yang hampir serupa dengan fasade gedung-gedung tersebut di atas. Begitu pula yang terlihat pada pintu masuk utama bangunan gereja. Pengaruh unsur bidang datar vertikal dari Eropa tersebut terlihat sangat dominan. Namun tampilannya berhasil “dipercantil” oleh ragam hias Bali, dengan pemakaian warna serta bahan lokal khas Bali, seperti pemakaian batu paras (yang diukur) serta bata gosok (pripihan).
Sebagai suatu unsur perencanaan, sebuah dinding luar dapat diartikan sebagai “wajah” sebuah bangunan atau fasade pokok. Di dalam suatu situasi perkotaan, fasade-fasade bangunan berfungsi sebagai dinding-dinding ruang yang dibentuknya sebagai jalan dan ruang-ruang luar umum. Gereja ini memiliki keunikan yang khas dibandingkan dengan beberapa gereja lain yang ada di Bali. Misalnya dapat diamati ornamennya memakai paras yang diukir bergaya Bali. Pemakaian ornamen pada gereja ini mempunyai bentuk, penempatan dan makna yang serupa dengan ornamen yang dipakai pada arsitektur Bali, sebagaimana yang ditulis oleh Tri Anggraini Prajnawrdhi dalam Proseding “SiJAN” (Simposium Jelajah Arsitektur Nusantara) 2002; “Pada Gereja Palasaril penyelesaian dari ragam hias yang digunakan merupakan gabungan yang konsepsual dan yang visual. Bagian dasar bangunan menggunakan ornamen karang gajah, namun hanya berupa kekupakan (konsepsual saja), dan makin meningkat ke badan bangunan terdapat ornamen karang goak yang masih dalam bentuk kekupakan, dan semakin ke atas semakin memiliki penyelesaian yang lebih detail (visual)”. Namun lebih lanjut Tri Anggraini, alumnus arsitektur Unud, ornamen yang memiliki makna dan bentuk yang berbeda adalah ornamen yang berada di atas pintu masuk menuju ke dalam gereja, dimana pada pintu masuk bangunan arsitektur Bali biasanya terdapat karang boma atau karang sae, dengan makna untuk mengusir segala pengaruh jahat agar tidak masuk ke dalam. Sedangkan pada Gereja Palasari ini, ornamen yang berada di atas pintu masuk merupakan ornamen burung pelican di antara tumbuh-tumbuhan dalam penyelesaian seperti layaknya ornamen Bali, dengan menggunakan patra samblung dan patra bun-bunan, sehingga ornamen yang tidak memiliki makna yang setara dengan ornamen Bali ini, tampil layaknya sebuah ornamen Bali.
Adanya tampilan bentuk-bentuk meru yang ditemukan pada bagian atap di sebelah utara, berkedudukan tepat di atas ruangan berpajang patung Yesus Kristus, dimana lubang/celah masuknya sinar matahari meneruskan cahayanya pada patung Yesus Kritus trsebut, yang mendukung suasana religius dan komunikatif antara ruang dalam gerja dengan alam lingkungan semesta sekitarnya. Bila diamati bentuk denahnya, sepertinya nampak terinspirasi dari metafora bentuk salib, ruang altar sebagai titik perpotongannya. Sedangkan secara makro, garis sumbu (maya) sebagai salah satu unsur arsitektur dapat ditarik dari titik patung HKY yang terletak di halaman pertama (dekat pagar tembok) sampai pada titik ruang tabernakel.
Sumber: