YOGYAKARTA - Tak berlebihan jika Gereja Santo Franciscus Xaverius Kidul Lodji Yogyakarta yang berada tepat di sebelah selatan Benteng Vredeburg, dianggap sebagai cikal bakal keberadaan agama Katolik di Yogyakarta. Gereja ini menjadi pionir dari perkembangan umat Katolik di Kota Gudeg.
Keberadaan gereja tersebut tak terlepas dari penyebaran agama Katolik yang dilakukan oleh Belanda sekitar abad 18 lalu.
Gereja Kidul Lodji masih terlihat dengan megah dan kokoh, menjulang tinggi layaknya bangunan Belanda. Meski sudah mengalami tiga kali pemugaran, namun aura bangunan Eropa masih ada. Terlihat dari permainan garis tegas dan lengkungan dalam pilar dan tiangnya, khas art deco.
Bernardinus Sariyanto, Pastur Gereja Kidul Lodji menjelaskan, gereja ini ada sejak 1812, atau hampir dua abad. Bangunan masih tampak kokoh dibalut cat putih dan cokelat dengan ornamen mozaik di depan. Gereja ini juga menjadi peninggalan almarhum Romo YB Mangunwijaya yang mendesain renovasi arsitektur gereja tersebut.
Bangunan ini pun terlihat menarik karena bersampingan dengan gedung kuno Bank Indonesia Yogyakarta. Semakin kentara aura bangunan Londo-nya. “Ya, memang dulunya di sini (gereja dan bank BI) adalah kompleks militer untuk Belanda KNIL,” ujar Bernardinus pada VIVAnews.
Gereja ini terdiri dari beberapa bagian. Gereja, pastoran dan satu bangunan lagi khas gereja Katolik yaitu bangunan yang menjulang tinggi melebihi tinggi bangunan gereja, yaitu bangunan yang di dalamnya terdapat lonceng. Kemudian di puncak paling atas bangunan tersebut tentu saja ada simbol salib.
Menarik melihat sejarah dari gereja ini. Dulunya, gereja dikhususkan untuk orang Belanda semasa penjajahan. Alasan itulah yang membuat gereja ini juga disebut gereja Londo. Ia biasanya digunakan oleh para militer atau para pedagang-pedagang Belanda.
Gereja Kidul LodjiSejalan dengan waktu, ada sejumlah masyarakat pribumi memeluk agama Katolik. Gereja ini kemudian diperluas memperluas keberadaanya seperti Gereja Pugeran atau Gereja Bintaran yang dikhususkan untuk orang Jawa.
“Lantas berkembanglah berbagai kegiatan umat yang kemudian juga memunculkan gereja-gereja baru di kawasan DIY seperti Gereja Kotabaru pada tahun 1926, Gereja Morangan atau Medari pada tahun 1927, Gereja Bintaran pada tahun 1934, Gereja Pugeran pada tahun 1934,” jelas Bernardinus.
Setelah gereja dan beserta parokinya berdiri, bedirilah sekolah Katolik di sekitar lingkungan gereja. Misalnya seperti SD Kanisius (1921), sekolah Dasar Marsudirini (1926) dan bruder (sekolah calon romo) FIC yang datang pada tahun 1926 yang kemudian mengambil alih Sekolah HIS.
Keberadaan dari Gereja Purbayan ini pun menjadi saksi bisu dari sejarah kemerdekaan. Dulu tempat ini menjadi kompleks militernya Belanda. Di satu sisi tempat ini tidak jauh dengan kerajaan Ngayogyakarto, yang mana hanya dipisahkan oleh alun-alun utara.
SUmber: Vivanews