Sesungguhnya kerugian yang paling besar dalam kedua peristiwa itu adalah ketika manusia kehilangan kemanusiaannya. Apa yang nampak di situ adalah kekejaman, kekejian dan kebiadaban. Kita semua tahu, tragedi berdarah dengan pola kekejaman seperti ini sudah berlangsung berkali-kali, di berbagai tempat dengan korban yang tidak sedikit.
Maka, kekerasan dan kekejian pun menjadi sesuatu yang lumrah, yang biasa saja. Ia dianggap sesuatu yang kecil dan kurang serius untuk ditanggapi! Akibatnya, sebagian masyarakat menjadi terbiasa melakukan tindakan anarkis, seringkali atas nama Allah dan agama. Di sisi lain, negara, terutama aparat keamanan, seolah lemah, tidak berdaya, dan bahkan dalam beberapa kasus terkesan melakukan pembiaran. Maka hukum pun diinjak-injak, konstitusi diabaikan, kebhinekaan bangsa dilupakan.
Sinode GKI merasa prihatin dan sangat berduka atas tragedi itu. Pertanyaan yang mengusik hati kita adalah: masihkah negara berkomitmen melindungi hak setiap warganegaranya dari kekerasan, penghakiman dan diskriminasi? Masihkah negara memiliki komitmen untuk menegakkan kemanusiaan dan hak azasi manusia dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Repiblik Indonesia? Masih adakah komitmen masyarakat dan negara untuk menjunjung kebebasan beragama dan beribadah dalam konteks kebhinekaan Indonesia?
Beberapa pertanyaan miris di atas tidak akan kita jawab dalam desahan putus asa. Kita juga tidak ingin menyikapi rangkaian tragedi kemanusiaan itu dengan sikap apatis atau sikap ketakutan. Kita akan menghadapi berbagai tantangan berat ini dengan bersandar pada kuasa Kristus. Oleh karena itu, sebagai gereja yang berperharapan oleh karena kematian dan kebangkitan Kristus, kita akan menghadapi tantangan yang ada dengan berani, dalam cinta kasih dan pengampunan yang Tuhan sudah anugerahkan kepada kita (1 Yoh. 4:18; Kol. 3:13).
Melalui Surat Gembala ini, BP Majelis Sinode GKI menyampaikan beberapa aspek penting sebagai berikut:
1. Kami prihatin dan berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada para korban, baik yang di Cikeusik maupun di Temanggung. Semoga Allah yang Maha Baik akan memberikan penghiburan dan kekuatan kepada para korban.
2. Kami mendorong segenap warga masyarakat dan umat berbagai agama agar bersama-sama menghentikan anarkisme dan kekerasan atas nama apa pun dan kepada siapa pun. Sebaliknya, marilah kita utamakan sikap dialog yang dilandaskan pada sikap toleransi, kasih dan persaudaraan sejati.
3. Kami mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum untuk membebaskan diri dari sikap diskriminatif dan meningkatkan tanggungjawabnya untuk melindungi hak setiap warga negara Indonesia yang bhineka ini.
4. Kami berharap dan berdoa agar seluruh warga jemaat GKI tidak terprovokasi dan terjebak dalam kemarahan dan kebencian. Kami percaya dalam situasi seperti inilah api cinta di dada harus terus menyala untuk memancarkan kedamaianan di bumi Indonesia, sekaligus mengalahkan kegelapan dan kebencian. Firman Tuhan berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9).
5. Kami mendorong agar seluruh warga jemaat terus meningkatkan relasi dan kerjasama dengan berbagai umat beragama melalui kerja dan pelayanan yang nyata di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia; pada saat yang sama, terus menggunakan berbagai saluran komunikasi yang kita miliki untuk mengingatkan negara melaksanakan fungsinya sebagai perekat bangsa.
Akhirnya, “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14).
Jakarta, 12 Pebruari 2011
atas nama
Badan Pekerja Majelis Sinode
Gereja Kristen Indonesia
Pdt. Royandi Tanudjaja, MST | Pdt. Arliyanus Larosa, M.Th |
Ketua Umum | Sekretaris Umum |
Sumber: Cyber GKI