MEDAN (SUMUT) - GBKP Runggun Pasar II Titi Rante terancam akan digusur akibat putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan yang akan melakukan eksekusi terhadap lapangan bola mewnjadi kenyataan.
Hali ini dinyatakan oleh Koordinator Aksi Forum Masyarakat Peduli Lapangan Olah Raga Jalan Rebab, Zakaria Bangun SH, saat mengadakan unjuk rasa pada pukul 09.00, pagi tadi (10/3) di lapangan bola tersebut setelah mendengar informasi akan dilakukan eksekusi.
“Gila itu, kalau Pemko Medan membiarkan tanah ini dieksekusi maka, gereja GBKP dan masjid di samping lapangan bola ini akan terancam digusur, apa mungkin itu dilakukan?” kesal Zakaria. “Tanah itu dulunya diberikan oleh raja perang kepada rakyatnya untuk diusahai, namun sekarang tanah itu diklaim oleh pengembang menjadi miliknya secara pribadi, aneh benar,” katanya.
Dijelaskanya, dirinya cukup heran terhadap berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Medan dengan Suratnya N0 19/Eks/2010/05/Pdt/2005/PN Mdn. Kemudian pada 9 Maret, PN Medan menerbitkan Surat N0:2.VI/2878/Pdt.04.10/II/2011 tentang pelaksanaan eksekusi pengosongan tanah atas lapangan olahraga di Jalan Rebab Kelurahan Titi Rante. “Itu…itu dia, penyebab terjadinya aksi ini, akibat surat putusan itu. Jadi jangan salahkan kami kalau kami akan melawan dengan cara kami sendiri jika putusan PN itu tetap dilaksanakan,” ujarnya marah.
Dalam aksi itu, warga yang berjumlah seribuan orang dijaga sebanyak 200-an personel polisi untuk mengantisipasi tindakan provokasi yang berujung anarkis. Sampai siang eksekusi batal dilakukan, dan sebagian warga pun membubarkan diri. Aksi unjuk rasa warga Jalan Rebab telah dilakukan berkali-kali sejak tahun lalu. Mereka tetap tak terima dengan putusa PN Medan yang memenangkan N Ginting sebagai pemilik tanah.
Ia bersama warga menuding Pemko Medan telah menjual fasilitas umum itu kepada pengembang. Tudingan itu sebetulnya keliru, karena Pemko Medan dalam persidangan dikalahkan oleh majelis hakim. Dan harus merelakan lapangan yang sejak puluhan tahun lalu dijadikan fasilitas umum, menjadi milik N Gingitng, warga Kaban Jahe, yang memenangkan atas sengketa tanah tersebut.
“Kami tidak mau tanah ini dijual kepada pihak pengembang, jangan mentang-mentang banyak uang lantas suka-sukanya mencaplok tanah masyarakat yang digunakan sebagai fasilitas umum,” teriak T Pinem dengan kesal, seorang warga.
Hal senada juga dikatakan warga lainnya, Rikardo N Ginting. Dia tidak terima jika lapangan itu dieksekusi oleh pengadilan untuk keperluan privasi tanpa memperhatikan kepentingan umum.
“Saya tidak terima, soalnya sejak saya lahir tahun 60-an, saya sudah bermain bola di sini, dan status pembeliaan tanah itu baru dilakuakan pada tahun 2004 lalu. Dan sejarah tanah ini pun memang milik bersama, bukan milik pribadi. Jadi sangat aneh rasanya jika ada orang yang mengklaim tanah ini miliknya dan melakukan transaksi penjualan kepada pihak lain,” ujarnya.
Dijelaskanya, sebagi warga yang sejak lahir tinggal di daerah tersebut, dia siap berkuah darah untuk mempertahankan tanah lapang tersebut.
“Kami siap berkuah darah untuk ini, karena ini kepentingan umum bukan kepentingan pribadi. Si Pembeli itu bukan warga sini. Jadi tidak usah bertingkah, kalau saja tadi petugas datang untuk mengeksekusinya, maka perang hingga bertumpah darah pun pasti tidak terelakkan,” ujarnya. Warga kemudian membakar ban bekas di sejumlah titik di pinggir lapangan sebagai simbol kemarahan. Kepulan asap hitam sempat mengganggu pemandangan.
Sumber: harian Sumut Pos