Wednesday, 30 March 2011

Wednesday, March 30, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pastor Cornelis JJ de Rooij : Tanaman Karet Cocok untuk Papua. TANAH MERAH (PAPUA) - Tanaman karet paling cocok dengan tanah Papua. Karet juga paling cocok untuk orang Papua," ungkap Pastor Cornelis JJ de Rooij. Ia meyakini, tanaman karet bisa membantu masyarakat asli Papua dari keterbelakangan dan kemiskinan.

"Ada empat alasan kenapa karet cocok untuk Papua, yaitu sesuai dengan kondisi tanah Papua, tidak perlu pupuk, tidak ada hama, dan sepanjang tahun masyarakat bisa memetik hasilnya," kata Pastor Kees, sapaannya.

Semua itu berawal pada 1987, saat Gereja menjalankan misi mengangkat perekonomian masyarakat pedalaman di Kabupaten Boven Digoel dan Distrik Kepi, Kabupaten Mappi. Caranya, menghidupkan kembali perkebunan karet. Kees, yang tertarik pada bidang pertanian, sempat ikut kursus singkat tentang budidaya karet. Dia bertugas memimpin misi itu.

Mengapa memilih tanaman karet? "Tahun 1960 Belanda menanam karet di pedalaman Papua setelah melakukan penelitian. Hasilnya, tanah Papua memang cocok untuk karet. Maka, dibukalah berhektar-hektar perkebunan karet," katanya.

Penanaman karet diikuti pelatihan penyadapan karet untuk penduduk asli Papua, yang dirintis tahun 1971 oleh Pastor Joseph Nuy MSC. Mereka mendatangkan orang Jawa dan mendirikan rumah sadap, pengolahan, serta pengasapan. Namun, tahun 1980 penyadapan karet terhenti.

"Tahun 1987-1988 kami mendatangkan ribuan bibit pohon karet dari Salatiga (Jawa Tengah) ke Distrik Kepi, Distrik Bade (Kabupaten Mappi), dan Distrik Getentiri (Kabupaten Boven Digoel)," katanya.

Untuk percontohan, Gereja membuka kebun karet seluas 2,5 hektar. Setelah itu, warga pedalaman mulai mengikuti dengan menanami sekitar 1 hektar lahan. Pohon karet yang ditanam warga mulai 70 batang sampai 100 batang.

Bersamaan dengan itu, Kees yang menjalani tugas di pedalaman Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel, sejak tahun 1969 terus berkelana ke pedalaman memberi penyadaran, penyuluhan, dan pelatihan budidaya karet kepada masyarakat Suku Muyu, Auyu, dan Mandobo.

"Kami melatih mereka merawat karet. Sebagai contoh, cabang pohon besar harus dipangkas agar sadapan lebih baik," katanya.

Kerja keras itu menunjukkan hasil saat karet dapat disadap tahun 2003. "Awalnya kami bisa mendapat 4 ton (per bulan) sadapan karet dengan harga (jualnya) Rp 3.500 per kilogram (kg). Pada tahun-tahun berikutnya hasil menyadap karet warga semakin banyak dan harga terus naik, Rp 4.700 per kg, lalu Rp 5.200 per kg, sampai sekarang Rp 25.000 per kg. Produksinya pun bertambah menjadi sekitar 10 ton per bulan," katanya.

Perkebunan karet rakyat rintisan Kees berkembang pesat. Di Distrik Getentiri dan Distrik Waroko, Kabupaten Boven Digoel, misalnya, terdapat 300 hektar kebun rakyat. Di Distrik Bade, Kabupaten Mappi, sekitar 1.000 hektar dan di Kepi sekitar 1.000 hektar. Ratusan keluarga dari Suku Mappi, Muyu, Auyu, dan Mandobo terlibat dalam perkebunan karet itu.

"Masyarakat menikmati hasilnya. Mereka bisa menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi di Merauke, bahkan ada yang mampu mengangkat anak asuh dan membiayai sekolah mereka," katanya.

Negosiasi harga

Agar rakyat tak dipermainkan para pedagang besar, Kees, yang oleh penduduk asli dipanggil Ambe, terjun langsung bernegosiasi harga dengan pembeli dari berbagai kota, seperti Surabaya, Jawa Timur. Ia memantau harga karet dari internet sebagai "bekal" tawar-menawar. Seorang warga asli Papua, Thea Tekebun (52), membantu sekaligus dipersiapkan Kees agar mampu bernegosiasi dengan pedagang.

"Memang mereka sudah bisa menyadap dan mengolah karet mentah. Namun kalau berdebat harga dengan pedagang, mereka (penduduk asli Papua) masih sering kalah. Ini yang harus kami perbaiki," katanya.

Kees melihat kecocokan budaya orang Papua dengan perkebunan karet dibandingkan dengan tanaman lain, seperti kelapa sawit. "Kalau mereka sedang sedikit malas, tak apa-apa. Hari ini mereka tak bisa datang, besok masih bisa menyadap," katanya.

Hal ini berbeda dengan kelapa sawit yang membutuhkan perawatan rutin, seperti pemupukan. Kees khawatir, jika orang Papua diiming-imingi menanam kelapa sawit, justru hasilnya tidak maksimal.

"Hasil panen kelapa sawit harus disisihkan untuk membeli pupuk. Ini tidak cocok dengan kebiasaan orang Papua yang mendapat uang dan langsung membeli berbagai kebutuhan," tuturnya.

Dengan menanam 70 batang karet, misalnya, seorang pekebun bisa mendapat Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan. Jika orang itu memiliki lebih dari 100 pohon, penghasilannya Rp 3 juta-Rp 4 juta (dengan harga karet Rp 25.000 per kg).

"Kalau pemerintah ingin meningkatkan kondisi ekonomi orang Papua, bantu mereka menanam karet di lahan seluas 3 hektar per keluarga," katanya.

Merangkap "dokter"

Kees, yang tinggal di Merauke hingga kini, masih mendampingi warga pedalaman Papua berkebun karet. Ia menyetir mobil menempuh perjalanan ke daerah pedalaman. "Perjalanan 370 kilometer bisa saya capai dalam 12 jam. Itu kalau jalannya relatif bagus," ceritanya.

Mobil yang sudah dimodifikasi untuk perjalanannya ke pedalaman sempat terperosok di jalan tanah, yang berubah menjadi selokan besar karena buruknya kondisi jalan. Semalaman ia terpaksa tidur di dalam mobil, menunggu bantuan datang.

"Mobil saya akhirnya ditarik mobil lain yang (kebetulan) lewat," kata Kees, yang juga biasa menggunakan sepeda motor untuk bepergian dari satu kampung ke kampung lainnya.

Ketika bertugas sebagai pastor di pedalaman Distrik Mindiptana, Kees merangkap menjadi "dokter" bagi warga. Berbekal kursus medis untuk para misionaris di Belanda yang dia ikuti tahun 1968, di Papua pun Kees berusaha mengobati penyakit penduduk setempat, seperti malaria, diare, dan infeksi.

Setelah masyarakat yang dia dampingi relatif mulai mandiri, Kees tidak lantas meninggalkan mereka. Sekitar empat tahun belakangan ini dia lebih mengurusi Panti Asuhan Amam Bekai Chevalier, panti khusus untuk anak-anak yang orangtuanya terkena HIV/AIDS.

Sumber: Kompas