Thursday, 17 March 2011

Thursday, March 17, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Rapat Umum Anggota Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) ke-28 di Semarang. SEMARANG (JATENG) - Rapat Umum Anggota Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik ke-28 membahas tentang arah perkembangan Gereja Katolik Indonesia di masa mendatang.

Acara yang berlangsung 14-17 Maret 2011 di Unika Soegijapranata Semarang dimulai dengan perayaan Ekaristi yang dipimpin Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ, Ketua Komisi Pendidikan KWI, didampingi Uskup Agung Semarang Mgr Johannes Pujasumarta dan Romo Paul Suparno, SJ.

RUA kali ini diikuti oleh 110 peserta dari 17 Perguruan Tinggi Katolik di seluruh Indonesia, dan mengangkat tema Arah Perkembangan Gereja Katolik Indonesia Pada Masa yang Akan Datang.

“Jangan sampai kita melupakan semboyan yang menyemangati kita untuk berjuang Pro Ecclesia et Patria,” demikian ditulis Uskup Agung Semarang Mgr Johannes Pujasumarta Pr, dalam blognya.

Dalam homili Mgr Pujasumarta menyampaikan beberapa poin tentang peranan Perguruan Tinggi Katolik dalam Penentuan Arah Perkembangan Gereja Katolik Indonesia Pada Masa yang Akan Datang.

“Peranan itu saya letakkan dalam rangka syukur atas 50 tahun Hirarki Gereja Katolik Indonesia. Pendirian Hirarki Gereja Katolik Indonesia merupakan satu mata rantai momen-momen sejarah kemandirian Gereja Katolik Indonesia,” tulis Mgr Pujasumarta di blognya.

Menurut Mgr Pujasumarta, awal abad XX di Keuskupan Agung Semarang ditandai dengan pendirian Sekolah Guru di Muntilan oleh Rama Van Lith, dan sekolah-sekolah dasar dan menengah.

Kemudian timbul kesadaran bahwa Gereja Katolik juga memerlukan tenaga-tenaga pribumi (imam, bruder dan suster).

Untuk itu maka didirikan Seminari Kecil, cikal bakal Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius Mertoyudan, Magelang yang Mei 2012 berusia 100 tahun. Kemudian dilanjutkan dengan pendirikan Seminari Tinggi Santo Paulus, di Kentungan, Yogyakarta yang genap berusia 75 tahun pada Agustus 2011.

Setelah Indonesia merdeka, kemudian muncul gagasan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Katolik, maka lahirlah lembaga yang menjadi cikal bakal Universitas Parahyangan, Bandung, disusul Universitas Sanata Dharma. Lembaga-lembaga ini terlibat dalam pendidikan seutuhnya untuk mencerdaskan bangsa.

Peristiwa-peristiwa tersebut memperkuat kesadaran akan kemandirian Gereja Katolik Indonesia dan mempermudah persetujuan oleh Tahta Suci untuk pendirian hirarki Gereja Katolik Indonesia.

Pada 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII mengeluarkan konstitusi apostolik Quod Christus Adorandus sebagai pengukuhan atas permohonan tersebut.

Kemandirian Gereja Katolik Indonesia akan semakin diperkuat dengan gagasan cemerlang lainnya.

Misalnya, gagasan untuk mandiri dalam penyediaan anggur misa yang disampaikan dalam siding tahunan November 2010. Saat ini berbagai pihak, termasuk Perguruan Tinggi Katolik, masih mengkaji cara terbaik untuk menanggapi kebutuhan akan anggur misa ‘Made in Indonesia’.

Sumber: CathnewsIndonesia