Saturday 19 March 2011

Saturday, March 19, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Uskup Atambua : Penganiayaan Terhadap Charles Mali Adalah Pelanggaran HAM. ATAMBUA (NTT) - Uskup Atambua Mgr Dominikus Saku Pr mengatakan penganiayaan terhadap Charles Mali yang berujung pada kematiannya merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan tergolong pelanggaran HAM.

Karena itu ia mendesak TNI, khususnya Batalyon Infanteri (Yonif) 744/ Satya Yudha Bhakti (SYB),bertanggung jawab atas tewasnya warga Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua itu.

Menurut Pos Kupang Online, Charles Mali dan kakaknya Hery Mali awalnya diantar oleh ibunda mereka Ny. Modesta Dau pada hari Minggu, 13 Maret, untuk dibina di markas Yonif. Beberapa hari sebelumnya mereka dan beberapa pemuda Fatubenao memalak salah satu anggota Yonif 744 saat tengah mabuk.

Kemudian beberapa tentara mencari mereka tapi mereka menghilang untuk beberapa hari. Pada hari Minggu lalu kedua bersaudara ini diantar oleh ibunda mereka setelah mendapat jaminan dari pihak Yonif 744 bahwa mereka hanya akan dibina di markas.

Namun pada hari yang sama Ny Modesta bukannya mendapat kabar gembira, melainkan dukacita mendalam setelah anakya Charles Mali didapati sudah tewas, sedangkan Heri Mali muntah-muntah dan kencing darah.

Nyonya Modesta Dau kemudian meninggal dunia dua hari kemudian, diduga karena stroke setelah melihat putranya yang dia antar sendiri untuk dibina di markas sudah tidak bernyawa.

Mgr Dominikus menegaskan, TNI tidak boleh membebankan kasus tersebut kepada oknum prajurit yang terlibat penganiayaan, tapi TNI sebagai institusi, karena di lingkungan TNI berlaku sistem komando.

Sebagai pemimpin umat Katolik, Mgr Dominikus tidak bisa menerima perlakuan keji seperti itu, apalagi dilakukan dalam markas TNI sampai menewaskan Charles yang disusul ibu kandungnya Ny Modesta Dau.

TNI tentu memiliki pimpinan yang bisa mencegah tindakan tidak terpuji itu, bukan melakukan pembiaran terhadap tindak kekerasan yang berujung pada kematian, lanjutnya.

“Penyiksaan fisik yang dialami para pemuda Fatubenao itu, sangat mencemaskan masyarakat umum. Itulah sebabnya, institusi TNI harus bertanggung jawab untuk menciptakan rasa aman di tengah masyarakat,” katanya.

Gereja Katolik, sejak tahun 2000, dengan tegas menyatakan tidak menghendaki adanya pengerahan pasukan perang atau militer di daerah ini. Sebab yang namanya Yonif sudah masuk dalam zona perbatasan untuk perang.

Kondisi di Belu, terutama perbatasan antara Timor Leste dan Indonesia, sejak 2002 hingga kini sangat aman dan jauh dari suasana perang.

Kendati demikian, Mgr Dominikus menghimbau masyarakat Belu yang mayoritas beragama katolik untuk tetap tenang dan tidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri.

Sumber: TribunNews