Monday, 4 April 2011

Monday, April 04, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Dua Pengamat Gereja Beda Pendapat Tentang Masalah di Gereja Katolik Cina.
BEIJING (RRC) - Dua pengamat Gereja Cina tidak sependapat tentang bagaimana dialog harus berjalan setelah terjadi dua peristiwa yang dikutuk oleh Vatikan, yaitu pentahbisan uskup ilegal di Chengde pada November lalu dan National Catholic Representatives Congress pada bulan Desember.

Pastor Jeroom Heyndrickx asal Belgia berpendapat bahwa kebijakan jangka-panjang dari dialog itu tidak boleh berhenti karena itu merupakan “sikap historis dan kebaikan hati” yang dipromosikan oleh Paus Paulus VI sejak 1970.

Dia memohon kepada Roma agar dialog dan kontak pribadi dengan para uskup di Cina jangan sampai terhenti hanya karena peristiwa Chengde. Kontak pribadi dengan para uskup di Cina itu penting untuk tahu situasi pasca-Chengde, karena salah pengertian sering terjadi hanya karena kurang informasi.

Para uskup Cina daratan sangat antusias tentang kemungkinan pertumbuhan Gereja di Cina dan siap untuk merespon kesempatan-kesempatan untuk evangelisasi di Cina, kata Pastor Heyndrickx, direktur Ferdinand Verbiest Institute di Universitas Katolik Leuven di Belgia.

Roma hendaknya mencoba untuk memahami para uskup Cina daratan “sebelum menjawab berbagai pertanyaan tentang apakah seseorang harus dihukum, siapa yang harus dihukum dan bagaimana,” karena banyak indikasi menunjukkan bahwa dialog setingkat ini belum terjadi di dalam Gereja.

Meskipun setuju bahwa dialog dan kompromi diperlukan, namun Joseph Kardinal Zen Ze-kiun, uskup emeritus Hong Kong, melihat bahwa “kinilah saatnya untuk berhenti” karena Vatikan sudah “sangat berkompromi sampai tingkat yang paling bawah.”

Umat ​​di Cina tengah menunggu klarifikasi, bagaimana Gereja harus mengambil sikap setelah menghadapi berbagai kejadian, jika keberadaan Gereja tidak menjadi sia-sia, katanya.

“Kita tidak bisa meninggalkan prinsip-prinsip iman kita dan disiplin dasar gerejawi kita, hanya untuk menyenangkan Beijing, kata kardinal.

Sumber: Cathnews Indonesia