Sunday, 3 April 2011

Sunday, April 03, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pdt. Dr. Nus Reimas : Perbedaan Tidak Boleh Membuat Kita Saling Sikut, apalagi Saling Meniadakan. JAKARTA - Keledai pun tak akan jatuh di lubang yang sama. Peribahasa ini tampaknya tak mempan diterapkan dalam konteks relasi antarumat beragama di negeri ini. Selalu saja ada rusuh yang diakibatkan oleh ulah orang-orang yang menyebarkan “keyakinannya” dengan cara menyerang keyakinan orang lain dengan tidak hormat. Selalu saja muncul orang-orang yang merasa diri sebagai pemonopoli kebenaran dan merasa berhak untuk menghakimi orang lain dengan kekerasan.

Selalu ada juga orang-orang yang melakukan kekerasan atas nama agama. Selalu saja ada “tangan-tangan” yang memainkan potensi konflik SARA untuk tujuan politiknya.

Tampaknya, sebagai bangsa, kita memang tidak sungguh-sungguh belajar dari sejarah. Nyatanya, kita selalu terantuk dalam kasus-kasus yang sama. Apa saja yang bisa dipelajari dari kasus kerusuhan Temanggung, Jawa Tengah?

Hargai perbedaan
Peristiwa Temanggung, menurut Pdt. Dr. Nus Reimas, memberikan pesan kepada kita untuk lebih menghargai perbedaan. “Perbedaan itu tidak boleh membuat kita untuk saling sikut, apalagi saling meniadakan,” kata Ketua Umum PGLII ini. Indonesia merupakan negara multiagama. Keindonesiaan adalah plural. Kondisi ini menuntut kepekaan dan suasana saling menghormati yang tulus dan kuat. “Banyak peristiwa tragis muncul karena ada upaya untuk meniadakan atau menganggap kelompok lain salah atau tidak penting,” katanya.

Pesan kedua, semua pihak harus menghargai dan menghormati hukum. Memang, ada kesalahan yang dilakukan oleh Antonius Bawengan, terdakwa penista agama di Temanggung, yang menurutnya ingin membagi keyakinannya kepada orang lain. Caranya salah pula, karena membangkitkan ketersinggungan banyak pihak. Dan karena melanggar hukum – penistaan agama – dia kemudian diajukan ke hadapan hukum dan kemudian dijatuhkan hukuman maksimal untuk pasal penistaan agama, 5 tahun penjara.

Masalah muncul karena orang tidak menghargai hukum yang berlaku, lalu melakukan perusakan. “Kalau kita orang Indonesia ini makin berbudaya dan makin sehat, bagi semua yang melanggar hukum itu, biarkan hukum yang menindaknya. Jangan masyarakat yang ambil alih,” katanya. Ketika masyarakat ambil alih, semuanya jadi tak karuan. “Jadi perlu adanya pendidikan bagi masyarakat supaya ketidaksukaannya pada sesuatu tidak mengantarnya untuk melakukan perusakan,” katanya.

Tugas untuk mengeksekusi di lapangan karena satu pihak melanggar ketentuan bukan adalah monopoli negara, bukan hak masyarakat. Bila ada orang yang melanggar ketentuan hukum, biarkanlah negara yang bertindak. Bukan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu. “Bila ada kelompok mau merampas hak eksekusi negara, negara harus tegas. Jangan melakukan pembiaran,” sambungnya.

Penyelesaian dalam koridor hukum harus dikedepankan dalam hubungan antar-masyarakat. “Semua orang harus menahan diri. Bila tidak, akan terjadi dominasi mayoritas dan tirani minoritas,” tuturnya.

Tidak provokatif
Benturan antara agama, sering pula dipicu oleh cara-cara penyebaran agama yang keliru. Di Indonesia, kata Nus, semua orang bebas untuk mempersaksikan keyakinannya. Ada hak dari Kristen maupun Muslim dan yang lainnya untuk menyatakan kebenaran agamanya. “Perlu ada kedewasaan. Dia menyampaikan sesuatu, saya dengar tidak apa-apa. Memang itu ajarannya dia. Kalau suatu saat saya tertarik dan mengubah keyakinan saya, itu juga tidak apa-apa. Jadi harus ada kedewasaan untuk berbeda,” kata Nus.

Yang dilarang adalah ketika orang menyebarkan agamanya dengan cara provokatif, merangsang ketersinggungan dan dengan jalan kekerasan. “Bagi saya, Injil itu kabar baik. Kabar baik itu harus disampaikan dengan cara-cara yang baik. Dalam teori komunikasi, nilai berita harus sama juga dengan nilai menyampaikannya. Kalau kabar baik disampaikan dengan cara tidak baik, jadinya malah merusak,” kata Nus sambil menambahkan, ada dua bentuk pekabaran Injil, yaitu melalui kehadiran dan pewartaan atau pemberitahuan.

Menumbuhkan harapan
Sementara itu, meskipun banyak pihak mensinyalir bahwa toleransi antaragama kian luntur, Anita Wahid tetap berpendapat bahwa toleransi antarumat beragama masih sangat kuat. “Hanya tertutup dengan frustrasi,” kata putri KH. Abdurrahman Wahid ini. Dalam kondisi yang serba berkekurangan dan tak jelas arah, masyarakat menjadi cepat capek dan marah.

Masyarakat lalu mencari pihak yang bisa dipersalahkan. Mau ke pemerintah tidak bisa, dan nyatanya tidak efektif. Lalu dibuatlah “musuh” bersama. “Agama lain, terutama Kristen lalu dituduh sebagai penyebab kesusahan itu. Jadi orang diprovokasi dengan menggunakan energi agama,” kata deputy director The Wahid Institute ini.

Karena itu, untuk mengatasi kekerasan agama dan intoleransi, perlu meningkatkan tingkat kesejateraan masyarakat. Setiap komponen masyarakat, kata Anita, perlu meningkatkan standar hidup masyarakat. Bangkitkan semangat bahwa setiap orang bisa mengubah kondisi hidupnya. Kita harus membangkitkan harapan. “Perdamaian bangkit dari cinta pada manusia dan kemanusiaan,” katanya.

Sumber: Reformata