Saturday, 16 April 2011

Saturday, April 16, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Peluncuran dan Bedah Buku "Pembangunan Gereja dan Hak Asasi Manusia di Indonesia". JAKARTA - Bedah dan peluncuran buku dengan judul "Pembangunan Gereja dan Hak Asasi Manusia di Indonesia", karya AM Sulistyadi Tikno, diadakan di Graha Bethel, Jakarta, Senin, (4/4).

Para penanggap (komentator) yaitu Posma Rajagukguk, Dr. Maruarar Siahaan, Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, SH, MH. Bertindak sebagai moderator, Pdt. Dr. Japarlin Marbun. Dalam sambutan ringkasnya, Pdt. Ferry Haurissa (Sekum BHP GBI) mengatakan bahwa ia gembira dengan terbitnya buku ini karena membahas tentang Perber.

Buku setebal 367 halaman ini, terdiri dari 18 bab. Inti pembahasan ialah tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8, Tahun 2006 (Perber atau PBM).

Bab demi bab berisi tentang Hak Asasi Manusia dan penegasan agama dalam batang tubuh perubahan konstitusi, peraturan bersama sebagai implementasi rencana pembangunan jangka menengah 2004-2009, makna peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, tugas dan pedoman untuk pedomanKepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tugas Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pluralisme dan eksistensi Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), delegasi wewenang dalam pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB, gedung-gedung gereja untuk keperluan nyata dan sungguh-sungguh bagi jemaat, persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung, badan hukum pemohon pendirian gereja, status hak atas tanah dan kepemilikan gedung gereja, persyaratan khusus, arti 90 hari untuk permohonan pendirian bangunan gedung gereja, pemindahan gedung gereja karena perubahan rencana tata ruang wilayah, izin sementara pemanfaatan bangunan gedung, penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat, renovasi gereja yang telah memiliki IMB dan gereja telah digunakan secara permanen belum memiliki IMB.

Memberikan tanggapannya, Posma Rajagukguk mengatakan, SKB 1969 adalah produk penguasa pada masa itu. Otomatis, penguasa mempunyai kepentingan atas produk tersebut. "Buku ini harus menegaskan, bahwa Perber bukan produk penguasa. Selain itu, Posma menilai, banyak pejabat seperti Bupati, Walikota banyak yang belum paham tentang Perber ini," katanya.

Menurutnya, buku ini sebaiknya mengembangkan kepenulisan tentang kasus FKUB Bekasi, Jawa Barat yang melarang 17 gereja di sana. Buku juga bernada marah tapi menangis dan kesal kepada keadaan terkini. Ia berpesan, para hamba Tuhan sebaiknya mengenal dengan baik, wilayah dimana ia tinggal dan pengurus RT/RW setempat. Maruarar Siahaan menyambut baik terbitnya buku ini. "Saya mengapresiasi buku ini dan bisa disebarluaskan kepada seluruh umat. Upayakan pemberdayaan umat sehingga mereka mengerti hukum. Konstitusi tertinggi adalah Pancasila dan UUD 1945," katanya.

Gayus Lumbuun mengatakan hal senada. Ia menilai, dengan peluncuran buku ini, merupakan peristiwa yang Tuhan pakai agar jemaat atau warga gereja mendapatkan wawasan jika akan membangun gereja.

Menyoroti kehidupan berbangsa dan bernegara, Gayus menegaskan bahwa negara NKRI bukan negara agama dan bukan negara sekuler, tetapi negara hukum. "Dengan demikian, Konstitusi adalah extra ordinary law. Artinya, bukan ditafsirkan, tidak tawar menawar, dan dilaksanakan seperti itu (apa adanya)", ujarnya. Sebagai hamba Tuhan, menurutnya, ia harus mengenal budaya dan kondisi sosial masyarakat.

Sementara itu, Pdt. Soekamto (BPH GBI) berpendapat, aturan (Perber atau Peraturan Bersama) berkaitan dengan tafsiran yakni izin beribadah dan izin untuk mendirikan tempat ibadah. Ia menilai, Perber ini digunakan untuk menutup tempat ibadah. "Padahal, Perber berkaitan dengan pendirian rumah ibadah. " ujarnya. Menurutnya, Perber bisa dibatalkan melalui aturan Mendagri.

Keprihatinan terhadap kinerja aparat pemerintahan dilontarkan Pdt. Hendrik Pattiasina. Ia menilai, Bupati dan Walikota di wilayah tertentu terlibat dalam penutupan gereja. Ia prihatin, seolah-olah warga Kristen bukan warga utama di negeri ini.

Chrisman Hutabarat, Sekretaris PGPI Jawa Barat memaparkan fakta, di wilayah, ada warga setempat yang setuju jika di wilayahkan didirikan sebuah gereja. Namun, warga tersebut menolak tanda-tangan. "Silahkan bangun gereja disini, kami tidak akan mengganggu, tetapi mohon maaf kami tidak berani tanda tangan. Karena, "ada larangan dari atas", ujar Chrisman menirukan ucapan warga.

Sulistiyadi Tikno, si penulis buku mengatakan, sesuai dengan pasal 6, pihak pemberi izin pendirian rumah ibadah ialah Bupati dan Walikota, bukan Gubernur. Ia menilai, hal ini adalah kekurangan norma, tetapi tidak pernah dikritisi.

"Jika sebuah norma sudah terpenuhi (60/90), izin pembangunan gereja harus dikeluarkan. Ajukan permohonan izin pembangunan gereja ke kelurahan melalui kurir atau pos. Jika ditolak, lakukan upaya hukum. Biasanya pihak gereja menghadap lurah secara langsung dengan membawa map. Jika kelurahan menolak, mereka harus memberikan jawaban secara tertulis, karena permohonan dilakukan juga secara tertulis," ujarnya.

Acara diakhiri dengan penyerahan buku oleh penulis, AM Sulistyadi Tikno kepada Pdt. Dr. Frans Pantan, Pdt. TL Henoch (sesepuh GBI, MP), Gusdav Dupe (FKKJ), dan beberapa hamba-hamba Tuhan.

Sumber: GBI Kapernaum