Tuesday, 31 May 2011

Tuesday, May 31, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Harus Siapkan Generasi Muda Katolik yang Militan. TIGARAKSA (BANTEN) — Dalam konteks pembinaan generasi muda Katolik, seorang aktikvis Katolik mengusulkan agar para pastor turut menyiapkan generasi muda yang militan dan belajar mengenai politik sehingga umat jangan sampai hanya jadi korban kebijakan pemerintah.

Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang berbicara dalam diskusi tentang kebijakan pemerintah, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kehidupan umat Katolik, yang dilaksnaakan di Paroki Santa Helena, Curug, Tangerang, 22 Mei 2011.

“Umat Katolik, termasuk politisi Katolik, kadang-kadang lambat merespon persoalan di dalam negara. Ketika RUU Sisdiknas disahkan menjadi UU, misalnya, umat Katolik dan politisi Katolik nyaris tidak memberikan masukan untuk penyempurnaan RUU itu. Reaksi umat Katolik baru setelah RUU disahkan menjadi UU. Ini kelemahan umum umat Katolik termasuk politisi Katolik,” katanya.

Diskusi dengan 35 peserta termasuk ketua dan anggota seksi kerasulan awam yang berada di wilayah Dekenat Tangerang juga menghadirkan Ketua Badan Legislasi DPR RI Mayjen (TNI) Ignatius Mulyono. Juga hadir Pembimas Katolik Banten Stanislaus Lewotoby.

Seksi Kerasulan Awam Paroki Helena melaksanakan diskusi itu untuk menambah wawasan kebangsaan, mengenal situasi politik dalam negara, dan mengetahui peranan umat Katolik dalam bingkai NKRI.

Sebastian Salang mengutarakan bahwa politisi Katolik juga jarang memberikan masukan terhadap RUU Pornografi, sehingga pasal-pasal tertentu tidak menguntungkan umat Katolik. “Jika tidak dikawal, proses penyusunan UU di DPR praktis akan menimbulkan kerugian dari pihak lain,” kata pemantau parlemen di Senayan itu.

Sayangnya, lanjut mantan sekjen pengurus pusat PMKRI 1998-1999, hirarki jarang bermimpi mencetak kader-kader politik untuk duduk di DPR di saat “kaum muda tidak tertarik menjadi politisi atau anggota DPR karena melihat sikap yang dipertontonkan politisi di Senayan.”

Benar, generasi muda saat ini sedang mengalami krisis karena kehilangan panutan atau figur yang patut diteladani, katanya. Maka ia berharap “pastor tidak hanya terbatas menjadi pengkotbah di mimbar gereja, tapi mesti mengajak kaum muda bergumul di bidang politik.”

Sebastian, yang pernah belajar di Seminari Menengah Yohanes Paulus II di Manggarai, Flores, menyadari pentingnya membangun kepekaan generasi muda, menyuburkan kecintaan tanah air dan menghargai perbedaan atau pluralisme. “Tanpa hal-hal tersebut, sangat sulit mengharapkan sesuatu dari generasi muda saat ini,” katanya.

Pegiat Kerasulan Awam di Keuskupan Agung Jakarta itu menyangkan kenyataan bahwa pendidikan Pancasila tidak lagi diajarkan di lembaga pendidikan formal, dan pendidikan budi pekerti hanya mementingkan aspek kognitif.

“Generasi muda saat ini lebih tertarik dengan hal-hal yang instan. Mereka lebih asyik menikmati kesendirian daripada mengalami perjumpaan dengan orang lain,” kata Sebastian yang juga mengakui ada kelompok generasi muda yang sangat rajin menikmati pengalaman sehingga terbentuk menjadi suatu pengalaman iman yang lebih bermutu dan militan.

Menurut Ignatius Mulyono, pertanyaan bagaimana peran umat Katolik untuk ikut mengatasi problem kemasyarakatan muncul akhir-akhir ini karena ramainya perdebatan tentang aksi teror, pencucian otak, NII dan masalah NKRI di media cetak dan elektronik.

Demi mencegah perpecahan, Mulyono menawarkan agar umat Katolik mengembangkan penanaman nilai-nilai Pancasila “yang kini nyaris hilang,” pengetahuan memadai tentang UUD 1945, penghayatan Bhineka Tunggal Ika serta rasa nasionalisme kehidupan berbangsa dan bernegara.

Empat pilar itu, lanjutnya, hendaknya digelorakan dalam semangat ideologi, nasionalisme dan karakter bangsa. “Penjabaran menjadi tiga pilar itu bukan hanya menjadi perhatian pemimpin di negeri ini melainkan menjadi peran seluruh rakyat Indonesia,” katanya.

Osner Purba, seorang peserta diskusi dari Paroki Kristus Raja Serang membenarkan bahwa ia tidak melihat tokoh Katolik yang menjadi panutan saat ini. “Kalau dulu ada tokoh Katolik Frans Seda dan Cosmas Batubara, saat ini saya tidak menemukan figur-figur seperti mereka.”

Maka ia sepakat dengan Sebastian tentang perlunya menyiapkan kader-kader yang militan. “Persoalan ini bukan hanya pekerjaan seorang pastor melainkan semua pihak,” tegasnya.

Kepala Paroki Santa Helena Pastor Heribertus Kartono OSC mengakui, Gereja agak lama terlena dengan pembinaan kader-kader Katolik. Ketika masih frater OSC di Bandung, ia bercerita, ia mengenal banyak frater dan awam Katolik yang terlibat dalam diskusi-diskusi politik, bahkan ada di antara mereka yang ditangkap oleh aparat.

Imam itu percaya, kader-kader politik Katolik yang militan bisa lahir kalau para pastor bekerja sama dengan orangtua dan masyarakat. Meski kadang ‘gregetan’ karena sangat memprihatinkan jumlah yang ikut serta dalam berbagai kegiatan yang dirancang untuk mendorong keterlibatan kaum muda di parokinya, dia sependapat bahwa Gereja harus menyiapkan generasi yang militan.

“Hirarkhi memang perlu ‘dijewer’ sehingga jangan sampai terlena,” kata Pastor Heribertus Kartono OSC yang pernah bertugas di Generalat OSC di Roma.

Sumber: Pena Indonesia