Monday 13 June 2011

Monday, June 13, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca FKKJ, Pokja PLP-PGI dan Sinode GBI Adakan Refleksi Toleransi Dalam Hidup Beriman dan Berbangsa Sebagai Kunci Kedamaian dan Pembangunan. JAKARTA - Pasca Orde Baru lengser, bangsa Indonesia memasuki era "pesta demokrasi" yang selanjutnya disebut dengan era reformasi.

Perkembangan ini disambut gembira oleh semua pihak. Namun, kondisi ini juga dibarengi dengan demokrasi yang kelewatan (kebablasan). Hal itu tercermin antara lain dalam wujud kekerasan atas nama agama, konflik horizontal di masyarakat, lunturnya nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Kini, setelah menjalani era reformasi mulai 1998 - 2011, semua pihak merindukan kehidupan berbangsa dan bernegara yang rukun, dinamis, toleransi dan tertib. Atas dasar itulah, FKKJ (Forum Komunikasi Kristiani Jakarta), Perhimpunan Pelayanan Penjara (Pokja PLP-PGI) dan Sinode GBI mengadakan refleksi dengan tema utama "Toleransi Dalam Hidup Beriman Dan Berbangsa Majemuk Adalah Kunci Bagi Kedamaian dan Pembangunan Bangsa" di Graha Bethel, Jakarta (Selasa, 31/5).

Menurut Gustaf Dupe, Ketua Panitia refleksi, acara ini sekaligus berkaitan dengan jiwa dan semangat peringatan peristiwa besar yakni Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2011, Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2011, nuansa HUT PGI ke-61 (25 Mei 2011). Selain itu, di masyarakat Indonesia telah kehilangan jati diri kemajemukan.

Sekum BPH GBI Pdt. Ferry Haurissa membuka refleksi dengan renungan Firman Tuhan dari kehidupan Yusuf sebelum ia menjadi seorang penguasa di tanah Mesir. "Semua orang merindukan negeri yang damai dan tenteram.Namun, saat ini hal itu masih jauh dari harapan", ujarnya. Ia memberikan contoh, berita-berita di televisi yang kurang enak didengar telinga akhir-akhir ini.

Pdt. Ferry menyampaikan, Yusuf mencapai sukses pada usia ke 30 tahunan. Artinya, 13 tahun ia memperjuangkan visinya untuk bisa menjadi suatu kenyataan. Keberhasilan Yusuf mulai di di rumah Portifar, di penjara, sebagai penguasa di Mesir, karena beberapa faktor. Pertama, keberhasilannya mutlak dari Tuhan Allah. Kedua, Yusuf bekerja keras untuk meraih keberhasilan. Pdt. Ferry mengutip nats Amsal 10:4 "Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya". Ketiga, Yusuf belajar menjalani kehidupannya dengan sabar. Karena, segala sesuatu ada waktunya (Pengkotbah 3:1).

Terus perjuangkan wawasan kemajemukan dalam bentuk pluralitas dan Pluralisme. Karena hal itu sesuai dengan Hukum Allah dalam kehidupan, merupakan inti paparan Prof. Dr. Din Syamsuddin Ketua PP Muhammadiayah di acara refleksi ini. Atas dasar Kitab Suci Agama Islam, Din mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah berbeda bahasa dan warna kulitnya, meskipun demikian, manusia bisa menjalin persatuan.

Meskipun demikian, ia mengakui, masih banyak terjadi konflik-konflik antar umat beragama saat ini. Menurutnya, dalam kondisi demikian, semua pihak hendaknya terus menggalang dialog-dialog dan pendekatan dengan berbagai pihak.

"Harus ada koalisi orang-orang bijak dan baik dari seluruh agama, dengan disertai wawasan kearifan dan kebijaksanaan. Lingkupnya mulai dari tingkat pusat sampai di daerah-daerah." katanya. Prof. Din menambahkan, saat ini kelompok mayoritas Islam diam, sebaliknya kelompok minoritas Islam lebih banyak bersuara dan hal ini dikutip oleh media. Secara bijak, ia mengusulkan agar semua pihak bisa merangkul pihak-pihak lain alias garis keras yang tidak mau ikut arus pendekatan (dialog,Red). "Negara harus berperan aktif dalam kehidupan bernegara dan berbangsa di tanah air," ujarnya.

Berkaitan dengan kehidupan kebersamaan, Ketua PP Muhammadiyah ini bangga dengan lokakarya yang diadakan oleh para anak-anak muda dari PGI, KWI dan Muhammadiyah yang baru saja selesai. Hasil lokakarya itu, katanya akan disebarkan kepada umat sampai ke kalangan "akar rumput".

Prof. Din mengkritisi juga "absennya" alias ketidakhadiran pemerintah dalam situasi konflik-konflik di tanah air akhir-akhir ini. Ia menilai, saat ini sedang terjadi proses pengabaian dan "pembudidayaan" konflik-konflik, seperti misalnya, kasus NII (Negara Islam Indonesia).

Pembicara selanjutnya yaitu Mrs. Ursula Mclackland Sekjen Damai Universal Wilayah Asia. Ia mempresentasikan tentang prinsip universal yaitu "Bersatu Untuk Bekerja-sama", yang bermakna dalam perbedaan ada persamaan.

Lima prinsip universal tersebut, menurutnya terdiri beberapa hal : Pertama, umat manusia adalah satu keluarga dan satu pencipta yaitu Allah. Kedua, kebahagiaan tertinggi adalah moralitas yang baik. Tanpa hal itu, ada kekosongan dalam hati walau ada kemakmuran secara ekonomi dan pemenuhan kebutuhan jasmani (fisik).

Ketiga, lingkungan keluarga adalah "sekolah" yang terbaik untuk memberikan kasih dan menciptakan perdamaian.Ia mencontohkan, kondisi perekonomian negara Korea dan Jepang sangat makmur, tetapi sayangnya banyak keluarga-keluarga yang mengalami kehancuran. Saat ini generasi disana, menurut pengamatannya sangat membutuhkan kasih dalam keluarga mereka. Ia optimis, generasi baru bisa lahirkan pemimpin-pemimpin perdamaian dan keadilan, jika mereka dididik dalam kasih sejak dini.

Keempat, membagi hidup dengan orang lain. Ursula menegaskan, suatu perdamaian akan datang jika ada kerja-sama antar agama dan bangsa-bangsa di dunia. Kelima, kasihilah musuh-musuhmu. Salah satu tokoh dunia yang melaksanakan prinsip ini ialah Martin Luther King Jr. Ia menambahkan, King menerapkan prinsip kasih seperti "masukkan kami kedalam penjara dan menghadapi aniaya sampai kematian, kami tetap mengasihi anda".

"Meskipun kita dalam "kegelapan" tetapi masih ada pengharapan," kata Ketua Umum PGI Pdt. AA. Yewanggoe. Tokoh yang pernah mengkritisi pemerintah ini mengatakan, negara dan bangsa Indonesia harus dikelola sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Jika tidak, katanya, negara bisa runtuh.

Dari sisi perekonomian, ia mensinyalir, ada orang miskin yang tidak mampu karena "dililit" struktur tertentu yang menguasainya. "Saat ini di Indonesia ada pertentangan ideologi antara Pancasila, khususnya Pasal 33 UUD 1945 dengan neo- kapitalis. Sementara itu, negara kita tidak siap menghadapi hal ini," ujarnya.

Ia juga mendesak Pemerintah agar segera mencabut/menghapus Perda-Perda, Undang-Undang yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, Pdt. Yewanggoe mendesak agar negara tidak boleh absen dalam kehidupan bernegara. "Kami sebagai pemimpin agama tidak mencerca Pemerintah. Kritik yang kami sampaikan, tidak mempunyai tujuan menentang Pemerintah. Meskipun demikian, gereja tidak boleh "terkooptasi" oleh negara. Jika hal ini terjadi, hal itu berarti gereja tidak mempunyai suara (kenabian,Red).

Diakhir paparannya, Pdt. Yewanggoe mengusulkan pelaksanaan Family of Code yaitu membangun solidaritas, bersekutu, berdoa saat menghadapi masalah. Sharing etika dan moral untuk merangkul lintas agama. Acara ini dihadiri juga para tokoh lintas agama yaitu dr. Rusli (Walubi/Buddha),Buanajaya (Matakin/Kong Hu Chu), Nyoman Udayana Sangging (Hindhu). Refleksi ini dilanjutkan dengan acara tanya-jawab. Sebagai penutup acara, Nyoman Udayana menutup doa dengan cara agama Hindhu.

Sumber: GBI Kapernaum