Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Mengintip, Toleransi Antar Umat Beragama di Nangroe Aceh.
BANDA ACEH (NAD) - Tidak ada yang asing, wanita berjilbab dan juga perempuan berpakaian batik tanpa penutup kepala. Mereka bersatu dalam sebuah majelis untuk mempererat kerukunan di bawah kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Satu per satu mereka memperkenalkan diri, ada pemuka agama Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan juga ulama sebagai tokoh Islam. Satu dalam Kebhinnekaan Tunggal Ika, meski berbeda keyakinan.
Dalam suasana seperti dapat "diintip" sikap saling menghormati dan semangat hidup berdampingan telah dibuktikan menjadi warna dalam kehidupan antarumat beragama di Provinsi Aceh yang mayoritas penduduknya muslim.
Sebagai "penghormatan" karena mayoritas penduduknya muslim itu, maka pemerintah memberi "keistimewaan" bagi Aceh sebagai provinsi menjalankan aturan perundang-undangan khusus berupa syariat Islam.
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, pemberlakuan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) di daerahnya bukan sebuah ancaman bagi kerukunan hidup umat beragama.
"Umat non-Muslim seperti Kristen, Hindu, dan Budha itu sudah sejak dahulu hidup berdampingan dengan damai dan nyaman sebagai bagian dari masyarakat Aceh," katanya.
Dalam dialog/diskusi pengembangan wawasan multikultural antara pemuka agama nasional dan daerah 2011, dihadiri tokoh lintas agama, seperti organisasi kemasyarakatan di Aceh dan luar provinsi itu, dia mengemukakan bahwa perbedaaan keyakinan tersebut harus menyatu dalam kontek pembangunan ke arah lebih baik.
Muhammad Nazar mencontohkan rumah ibadah masyarakat non-Muslim yang sempat hancur dan rusak akibat tsunami 26 Desember 2004, ikut diperbaiki dan dibangun kembali sebagai bagian dari program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pascabencana alam.
"Bahkan, sejak ratusan tahun silam ada yang menyebutkan Aceh sebagai salah satu daerah rawan konflik, namun itu bukan terkait dengan agama atau etnis, tapi cenderung persoalan ekonomi. Saya tegaskan tidak ada konflik agama atau etnis terjadi di Aceh," katanya.
Akan tetapi, Wagub mengakui bahwa akhir-akhir di Aceh muncul sejumlah aliran sempalan sehingga menimbulkan kecurigaan antara pemeluk agama yang berbeda.
Tingkatkan dialog
"Saya menilai kecurigaan antara pemeluk agama itu karena kurangnya komunikasi yang inten antar tokoh-tokoh agama dan antara tokoh agama dengan masyarakatnya, termasuk dengan pemerintah," katanya menjelaskan.
Oleh karenanya, ia mengimbau para tokoh agama yang terhimpun dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)di kabupaten dan kota untuk meningkatkan intensitas dialog secara formal maupun non formal.
Muhammad Nazar juga mengimbau apabila muncul gejala-gejala yang menjurus pada upaya penodaan atau pelecehan agama, maka FKUB dapat menjadi media komunikasi untuk mengantisipasinya secara dini melalui pendekatan dialog.
Wagub menilai peran dan posisi FKUB di setiap tingkatannya sangat strategis dalam upaya mengawal serta memelihara kerukunan dan ketertiban hidup umat beragama, khususnya di Aceh.
Sementara itu, pemuka Kristen dari gereja Katolik Pastor Sebastianus Eka BS, menilai kerukunan umat beragama di Aceh telah terjalin baik dan harmonis selama ini meski non muslim pemeluk monoritas di daerah tersebut.
Kerukunan itu tercapai dengan hal yang sederhana, misalnya rela bertegur sapa secara baik maka mengusahakan selalu agar tidak menyinggung perasaan orang lain.
"Ikut menghargai kebiasaan setempat dan agama lain. Misalnya saat bulan puasa kami juga tidak makan minum atau merokok, pengenaan busana disesuaikan dengan penduduk setempat (Aceh)," katanya.
Sebastianus mengatakan bahwa setiap suku atau budaya selalu ada berbagai kearifan lokal yang ikut berkontribusi dalam menciptakan suasana hidup rukun dan damai.
Di Aceh, ada kreasi seni dan tari yang menunjukkan bentuk kearifan lokal. Misalnya tarian saman memperlihatkan suatu kekompakan antar penari, melalui bentuk gerak indah, dinamis dan persaudaraan yang baik, kata dia.
Kearifan lokal
"Tarian saman itu telah menunjukkan sikap keterbukaan masyarakat Aceh yang menerima persaudaraan dan kekeluargaan," katanya menjelaskan.
Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, kearifan lokal yang dimiliki setiap daerah di Indonesia terbukti efektif dalam menjaga keharmonisan dalam masyarakat.
"Namun persoalannya ialah kearifan lokal itu kurang dipahami secara luas oleh sebagian masyarakat, terutama generasi muda," katanya dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama Abdurrahman Mas’ud.
Dalam tingkat kehidupan masih sederhana, Menag mengatakan, kehidupan pedesaan yang serba harmoni mampu diwujudkan di tengah-tengah masyarakat.
"Akan tetapi ketika kehidupan sosial semakin kompleks, urbanisasi meningkat serta terpaan arus globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi begitu kuat, maka sebagian beban pemeliharaan umat beragama semakin berat, kemudian kearifakan lokal itu tidak sanggup lagi mendukung beban berat tersebut," katanya.
Oleh karena itu, Suryadharma Ali mengatakan, diperlukan upaya memperkuat kembali kearifan lokal yang dimiliki daerah dengan beberapa modifikasi, termasuk pengenalan kebijakan pemerintah.
Dialog atau diskusi pengembangan wawasan multikultural antara pemuka agama tingkat nasional dan daerah itu juga dihadiri perwakilan sejumlah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan di provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa tersebut.
Di pihak lain, menteri juga menjelaskan bahwa agama merupakan salah satu kekuatan sosial dalam masyarakat Indonesia.
Untuk itu, aktualisasi peran agama akan berhasil dengan baik jika pemimpin pemerintah dan agama bersatu dalam kata dan perbuatan sesuai dengan fungsinya masing-masing, kata Menag.
Ia mencontohkan, salah kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Aceh, yakni seperti ungkapan "adat bak po teumeureuhom, hukom bak syiah kuala" (adat pada raja, hukum pada ulama).
Wawasan multikultural
"Itu bermakna bahwa dalam masalah adat, pemerintahan, ekonomi dan politik maka masyarakat merujuk kepada Sultan Iskandar Muda. Sedangkan dalam hal hukum agama, masyarakat berpedoman kepada ulama (syiah kuala)," kata dia mencontohkan salah satu kearifan lokal yang dimiliki Aceh.
Menag menambahkan, ke depan penguatan peran agama dan wawasan multikultural perlu dikembangkan. Namun perlu disadari bahwa setiap kelompok umat beragama mempunyai hak untuk hidup dan berkembang, serta menjaga eksistensinya.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam (FPI) Jakarta Habib Salim Umar Alatas menyarankan, perlunya dialog antarumat beragama dan bahkan harus terus ditingkatkan sebagai upaya menangkal konflik yang sengaja dipicu pihak-pihak yang mengambil manfaat dari situasi itu.
"Ke depan suasana ketidak rukunan antar umat beragama tampaknya semakin meningkat akibat situasi politik nasional dan internasional yang cenderung menjadikan konflik agama sebagai komoditas," katanya.
Ia menyatakan, dalam dialog antar umat beragama bukan mencari persamaannya, tapi justru melihat perbedaan untuk mencari kesalahan yang tujuannya agar diperbaiki dan sama-sama dicarikan jalan keluarnya.
"Jadi, perbedaan jangan disimpan, nanti sewaktu-waktu bisa meletus apabila terjadi gesekan-gesekan di masyarakat. Oleh karenanya perlu banyak komunikasi antarumat beragama," katanya.
Ia juga mengajak umat Islam untuk lebih banyak menuntut ilmu agama, sehingga benar-benar menjadi orang yang bertaqwa dan lebih toleran kepada umat dari agama non Islam.
Ia menilai, setiap manusia yang memiliki ilmu agama yang kuat, maka berpotensi besar untuk bertoleransi dengan agama lain.
Dikatakan, setiap agama mempunyai naluri untuk mendakwahkan agamanya, hanya saja caranya harus diatur dengan baik dengan cara-cara terpuji, kalau tidak bisa menimbulkan konflik.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tengku Muslim Ibrahim menyatakan, kerukunan umat beragama di Aceh cukup baik, meskipun daerah itu kini berlaku hukum Islam.
Undang-undang No.44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh memberi perhatian amat besar pada kerukunan antarumat beragama, karena Aceh cukup sadar bahwa kerukunan antarumat beragama mutlak diperlukan, katanya.
Dikatakan, undang-undang juga mewajibkan Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota untuk menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.
Atas dasar kebebasan, kerukunan dan saling hormat-menghormati nilai-nilai yang dianut umat beragama itulah di Aceh terdapat 3.745 buah masjid (tidak termasuk surau/mushalla), 174 gereja, satu Pure, 13 Viahara, dan satu Kelenteng bisa dilihat di daerah ini.
Sumber: Kompas
Beranda
»
antar umat beragama
»
banda aceh
»
kristen islam
»
nanggroe aceh darrusalam
»
Sumatera dan Jawa
»
toleransi
» Mengintip, Toleransi Antar Umat Beragama di Nangroe Aceh
Wednesday, 15 June 2011