Friday 17 June 2011

Friday, June 17, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pemerintah Kota Bogor Main Mata dengan Anarki.
JAKARTA - Apakah Indonesia sebuah Bangsa yang mematuhi aturan hukum? Apakah pejabat yang terpilih menghormati hukum dan memerintah sesuai dengan dekrit dari pengadilan? Ini adalah pertanyaan penting yang akan menentukan jenis masyarakat yang kita ingin miliki dan berada di jantung kebuntuan antara Pemerintah Bogor dan sebuah Gereja lokal.

Mahkamah Agung telah menuntut bahwa Pemkot Bogor mematuhi perintah untuk memungkinkan GKI Yasmin membuka segel kembali.

Dalam surat pengadilan yang ditandatangani oleh Paulus Effendi Lotulung pada 1 Juni 2011, pengadilan mengatakan hukum Indonesia harus ditegakkan. Bahwa pengadilan tertinggi di negeri itu telah dipaksa untuk mengeluarkan permintaan seperti itu tidak baik bagi penegakkan hukum di negeri ini.

Tidak ada cara lain untuk hal tersebut. Pemerintah Bogor tanpa penundaan harus lebih lanjut membuka kembali gereja sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. Jika pemerintah daerah diperbolehkan untuk mengabaikan atau bahkan menentang pengadilan, hal itu akan menyebabkan kekacauan total. Individu akan mengambil hukum ke tangan mereka sendiri dan pemerintah daerah akan menginjak-injak hak-hak kelompok minoritas.

Kami sepenuhnya mendukung panggilan pengadilan Akil Mochtar untuk menangkap dan memenjarakan pejabat dari pemerintah jika mereka terus melanggar hukum. Bahkan jika pemerintah setempat tidak setuju dengan keputusan itu, hal itu harus dipatuhi.

Ini sangat memalukan dan tidak dapat diterima bahwa anggota jemaat GKI Yasmin telah dipaksa untuk beribadah di pinggir jalan setelah pemerintahan Bogor, didukung oleh polisi setempat, mencabut ijin mereka dan menggunakan ini sebagai pembenaran untuk menutup gereja. Ini bukan jenis negara yang sebagian besar Indonesia akan menginginkan atau menerimanya.

Bahkan PBB telah menulis surat keprihatinan kepada pemerintah Indonesia yang mengungkapkan tentang laporan meningkatnya kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok agama minoritas, termasuk dalam kasus Bogor. Ini bukan citra Indonesia yang ingin diproyeksikan pada saat itu sebagai meningkatnya kekuatan regional dan global.

Lebih penting lagi adalah bukan tipe negara kita sebagai warga negara yang ingin menjadi bagian daripadanya. Apapun alasan atau faktor di balik keputusan pemerintah Bogor menyegel gereja, maka sekarang segel tersebut harus dibuka kembali.

Ada lagi yang akan menjadi penolakan mentah-mentah dari aturan hukum di negara ini, dan ini sebuah langkah menyusuri jalan menuju anarki.

Sumber: The Jakarta Globe