Saturday 4 June 2011

Saturday, June 04, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Wilayah Jakarta Gelar Seminar Gereja Dan Masyarakat.
JAKARTA - Masyarakat sulit menemui pemerintah, sementara itu, ditingkat kelurahan, Lurah hanya sebagai pelaksana. Semestinya, ada pendelegasian wewenang dari pemerintah propinsi kepada pemerintahan di tingkat kelurahan. Dengan demikan, masalah-masalah di wilayah setempat bisa dipecahkan oleh Lurah, tidak perlu oleh Gubernur (pemerintah propinsi). Hal itu disampaikan dr. Merphin Panjaitan, M.Si, dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta.

Ia berbicara dalam forum Seminar Gereja dan Masyarakat dengan tema utama "Telaah Keesaan Gereja yang Berdampak dalam Kehidupan Masyarakat Kota Metropolitan", di Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) Sidang "Yeremia", Jakarta Utara (Rabu, 25/5). Acara ini diadakan oleh PGI Wilayah Jakarta dalam rangka HUT PGI ke-61.

Sosiolog ini menyoroti masalah otonomi DKI Jakarta yang hanya diletakkan pada lingkup propinsi. Sementara itu, kota dan kabupaten tidak menjalankan fungsi otonomi. "Mereka tidak mempunyai DPRD. DKI Jakarta hanya mempunyai DPRD Propinsi sebagai badan legislatif," ujarnya.

Merphin menilai, kebijakan ini menimbulkan kerugian yakni pertama, pelayanan publik Pemda DKI sering tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena penetapan kebijakan publik terpusat di pemerintahan propinsi. Sementara itu, pemerintahan kota/kabupaten dan kelurahan hanya sebagai pelaksana. Kedua, Para pejabat di tingkat kota/kabupaten dan kelurahan tidak dipilih langsung oleh masyarakat. Akibatnya, katanya, kesetiaan kepada masyarakat rendah. "Struktur dan prosedur pemerintahan daerah seperti ini perlu diubah agar lebih demokratis," ujarnya.

Selanjutnya, ia mepaparkan secara ringkas, cara bagaimana mendekatkan kekuasaan negara kepada rakyat dengan cara pelaksanaan otonomi daerah yaitu pertama, pemberdayaan masyarakat di daerah. Kedua, mengoptimalkan pelayanan publik.Ketiga, percepatan dan pemerataan pembangunan daerah. Keempat, rekrutmen politisi lokal untuk posisi keanggotaan DPRD, bupati, walikota, gubernur asal daerah setempat.

Berkaitan dengan struktur dan prosedur pemerintahan daerah, dosen Fisipol UKI Jakarta ini mengusulkan beberapa hal yakni pertama, Pemda propinsi, kota/kabupaten dan kelurahan DKI Jakarta mempunyai DPRD yang keanggotaannya dipilih melalui Pemilu dan menjalankan otonomi daerah. Pemerintahan DKI Jakarta hanya memiliki pemerintahan tingkat propinsi, kota/kabupaten dan kelurahan (kecamatan dihapus).

Pembagian dana untuk PAD dan DAU DKI Jakarta diatur dengan komposisi sebagai berikut : pemerintahan propinsi 10%, pemerintahan kota 60%, dan 30 % untuk kelurahan. Jumlah keanggotaan DPRD propinsi 20 orang, DPRD kota/kapupaten 9-11 orang, anggota Dekel (Dewan Kelurahan) berjumlah 5-7 orang.

Kedua, wilayah DKI Jakarta diperluas dengan menambah kota dan kabupaten di sekitar DKI Jakarta. Ketiga, wilayah DKI Jakarta tetap, pemerintahan propinsi tidak mendapatkan otonomi daerah dan tidak ada DPRD propinsi. Gubernur diangkat dan bertanggung-jawab kepada Presiden. Keempat, wilayah DKI Jakarta diperluas dengan nemambahkan kota dan kabupaten di sekitar DKI Jakarta. Pemerintah propinsi tidak mendapatkan otonomi daerah dan tidak ada DPRD propinsi. Gubernur diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden.

"Melalui seminar ini, gereja ingin berikan kontribusi, pemikiran, berkaitan dengan potensi gereja, SDM, wawasan Theologia dan etika moral bagi bangsa," ujar Ketua PGI Wilayah Jakarta, Pdt. Supriatno M.Th. Selain itu, PGIW Jakarta mengharapkan agar seminar bisa memberikan wawasan kepada berbagai pihak, sehingga gereja bisa menjawab masalah-masalah yang kini relevan di masyarakat. "Kami mengerti kebutuhan masyakarat dan seminar ini sebagai salah satu cara agar gereja selalu relevan dengan masyarakat," katanya.

Narasumber berikutnya yakni Laksda TNI (Purn) Robert Mangindaan. Paparannya berjudul "The Environment of DKI Jakarta" (Lingkungan DKI Jakarta). Robert menjelaskan, bahwa dunia saat ini diperhadapkan kepada era globalisasi. Namun, katanya, era ini tidak cocok untuk negara berkembang, alasannya globalisasi bisa mempengaruhi politik, ekonomi dan sosial. Sementara itu, posisi Indonesia tidak memungkinkan untuk berdiri sendiri, tanpa bekerja-sama dengan negara lain.

Menurut pandangan Dorojatun, globalisasi berarti percepatan arus barang, modal dan jasa dari negara maju ke negara berkembang. Dibidang energi, penguasaan ladang-ladang minyak bisa kendalikan politik global, sembari ia mencontohkan kasus pasukan Amerika yang menyerang Irak dan Nato yang menyerang Libya.

Dibidang pangan, ia menyoroti harga bahan makanan yang semakin mahal dan dikendalikan pasar. Mencermati produk impor yang menelan biaya sebesar 50 Triliun,Indonesia membeli produk-produk yang semestinya bisa dihasilkan di dalam negeri seperti cabe, kacang tanah, garam, ikan, bawang merah.

Padahal, menurutnya, luas Indonesia mencapai 2/3 wilayah Asia Tenggara. Seharusnya, Inedonesia mempunyai kekuatan di bidang ekonomi, energi dan pangan. Untuk menjadi negara yang eksis, Indonesia harus memiliki core values (peranan penting), legal frameworkslaw enforcement (pelaksanaan hukum). Selain itu, Indonesia memiliki 240 juta penduduk, 1.072 etnik, 5 agama, 9 parpol, ormas/LSM/laskar. Komposisi masyarakat terdiri dari agraris, industri, metropolis (kota besar). "Kondisi demikian bisa mengandung konflik yang potensial," ujarnya. (struktur hukum),

Tentang core value, ia menjelaskan secara ringkas yaitu 4 konsensus nasional (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI). Mangindaan menghimbau agar semua pihak mewaspadai pembangunan demografis yang bisa memicu konflik, tekanan-kanan pembangunan (development pressure), resources competition (berebut kekuasaan), dan structural injustice (ketimpangan sosial).

Selain itu, ia juga mengingatkan tentang munculnya kasus-kasus kekerasan secara nasional akhir-akhir ini seperti fundamentalisme, terorisme,anarki, dan kekerasan bersenjata. Berkaitan dengan otonomi daerah, ia mempertanyakan sejauh mana kompetensi kepala-kepala daerah soal penguasaan dibidang administrasi dan tata negara.

Maraknya kemacetan, jaringan terorisme, anarki, munculnya berbagai gerakan anti pemerintahan akhir-akhir ini, mendorong Mangindaan mengajukan pertanyaan, dimana peran PGI dan PGIW Jakarta ?. Menurutnya, kedua institusi tersebut memiliki peran penting antara lain sebagai pembina moral dan etika.

Pembicara berikutnya, Timotius Harsono memaparkan tentang "Tantangan Abad ke-21" yaitu berupa poverty (kemiskinan), perubahan iklim, cadangan bahan makanan dan sumber air, yang jika mendesak bisa berubah menjadi konflik antar negara, dan terorisme.

Ia juga memaparkan data saat ini di dunia ini terdapat sekitar 34 ribu anak-anak mengalami kelaparan, sakit. Lebih dari 1 juta anak-anak per tahun dilibatkan orang dewasa dalam jaringan perdagangan seks dan 120 juta anak-anak jalanan hidup di kota-kota besar.

Selanjutnya, terdapat 349 juta anak-anak yang tidak mempunyai keluarga/rumah tinggal. 670 juta anak tidak bersekolah karena mencari nafkah. Jumlah ini sama dengan 10% dari penduduk dunia. Kelahiran bayi dalam kondisi mal nutrisi mencapai angka 10 juta anak.

"Peran gereja dalam membangun kota metropolitan mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan, " ujar Pdt. D. Kambey, MA. Hal itu katanya, berdasarkan kondisi di DKI Jakarta terdapat 263 kelurahan dan 46 kecamatan. "terdapat 30-35 ribu jiwa pada radius satu kelurahan di Jakarta," ujarnya.

Ia juga mengkritisi tentang kebijakan pemerintah yang tidak melibatkan gereja, termasuk kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan keagamaan. Meskipun demikian, ia tetap optimis, PGI terus bergandengan tangan bersama-sama Sinode-sinode untuk berperan dalam pembangunan fisik dan lingkungan, termasuk etika dan moral. Kondisi masyarakat terkini, menurutnya, mudah dimobilisir tetapi sulit untuk dipersatukan.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo berhalangan hadir dan Drs. Sukesti Martono, Deputi Gubnernur Bidang Tata Budaya dan Pariwisata membacakan sambutan tertulis Gubernur.

Dalam sambutan tersebut, Gubernur mengucapkan terima-kasih kepada PGIW Jakarta atas partisipasi dan sumbangan pemikiran bagi kesra masyarakat ibukota. Dengan demikian, hal itu bisa mewujudkan situasi ibukota yang kondusif, aman dan nyaman, guna mendukung pembangunan di ibukota.

Fauzi Bowo mengharapkan, agar seminar ini bisa merumuskan strategi dan menguatkan komitmen guna keberhasilan pembangunan ibukota. Selain itu, perlu langkah kebersamaan, kasih untuk mewujudkan masyarakat yang beradab, demokratis di Jakarta. Hal itu bisa dicapai, dengan dukungan masyarakat, termasuk PGIW Jakarta.

Pemda DKI Jakarta, kata Fauzi Bowo, juga menekankan pembangunan di bidang mental dan spiritual. Alasannya, dua hal tersebut memberikan kontribusi yang tinggi dalam hal toleransi dan sejalan dengan program kerja Pemda DKI Jakarta, yakni pembangunan bidang agama.

Selain mental spiritual, Gubernur berpandangan, kebinekaan merupakan kekuatan ibukota. Hal itu dilandasi oleh kerukunan dan kebersamaan sebagai unsur perekat keagamaan ibukota. Diakhir sambutan tertulisnya, Fauzi meminta peranan gereja-gereja dan PGIW Jakarta untuk terus memikirkan dan membantu masalah-masalah sosial, seperti warga yang cacat, kemiskinan, warga pasca terkena musibah / bencana. Acara yang dimoderatori oleh Drs. Markus Wauran ini dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.

Sumber: GBI Kapernaum