Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca UKI (Universitas Kristen Indonesia) Adakan Kuliah Umum Mengenang Yap Thiam Hien.
JAKARTA - UKI (Universitas Kristen Indonesia), Jakarta mengadakan kuliah umum untuk mengenang Yap Thiam Hien (Yap Thiam Hien Memorial Lecture) di ruang seminar UKI Cawang, Jakarta, Selasa, (14/06/2011).
Tema kuliah umum ini ialah “Kiprah dan Pemikiran Yap Thiam Hien dalam Mewujudkan Masyarakat”. Tujuan kuliah umum ini, sesuai dengan buka acara ialah untuk mengenang dan menggali semangat dan pemikiran serta kiprah Yap Thiam Hien, sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya, membangkitkan semangat dan sikap anti diskriminasi dalam masyarakat dan global.
Yap Thiam Hien adalah sosok advokad (pengacara, Red) yang tidak memilih-milih klien yang dibelanya, sejak ia terjun kedalam dunia hukum pada tahun 1948. Ia kerap tampil membela kasus-kasus yang sarat dengan pelanggaran HAM dan perampasan keadilan. Kasus-kasus itu seperti G30S/PKI, Malari 1974, Tanjung Priok 1984, dan lain-lain. Namanya menjadi sumber inspirasi dan “obor api” perjuangan HAM yang terus menyala dan tidak pernah padam.
“Hiduplah Jujur” merupakan inti anjuran Yap Thiam Hien, dari anjuran lengkapnya “Kalau kau tidak salah, lawan !”. Hal itu dikutip oleh Rektor UKI Maruli Gultom dalam sambutan singkatnya yang berjudul “Triple Minority : Yap Thiam Hien”.
“Yap Thiam Hien turut serta membidani lahirnya UKI. Ia memiliki keteguhan hati, tetap setia kepada cita-cita dan tidak terombang-ambing perubahan zaman, “ ujarnya. Berkaitan dengan mahalnya biaya pendidikan universitas, Rektor mengatakan, sgenap sivitas akademika UKI jangan sampai menjadikan UKI sebagai universitas yang mahal dan hanya bisa dijangkau oleh golongan mampu. Arief Budiman memberikan gelar Yap Thiam Hien sebagai sosok Triple Minority : Keturunan Tionghwa-Kristen-Jujur.
Ketua Umum PGI Pdt. Andreas A. Yewangoe hadir dalam acara ini sebagai narasumber.Ia menilai, sebagai pengacara, Yap Thiam Hien memiliki prinsip bahwa profesinya sebagai ladang pelayanan bukan untuk memperoleh keuntungan materi.
Pdt. Yewangoe mengemukakan bahwa ada 3 komitmen besar yang tetap diperjuangkan pengacara ini yakni negara hukum, penegakan keadilan, HAM (Hak Asasi Manusia). “Ia anti ras diskriminasi. Yap mengatakan, saya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan warga negara asli maupun keturunan. Karena, jika dilihat dari asal usul, bangsa-bangsa Asia Tenggara yang merupakan Indo China memiliki nenek moyang yang berasal dari propinsi Yunan, China bagian selatan. Jadi, warga negara Indonesia dengan ras Melayu sama-sama dari China”.
Seputar pembelaan terhadap kaum lemah, Ketua Umum PGI ini yakin, bahwa Yap membela kaum lemah dan ia mengamalkan “iusticia creativa”, yakni suatu keadilan yang menciptakan ruang dan kemungkinan , sehingga yang lemah memperoleh kekuatan untuk tampil dan memperlihatkan dirinya.
“Relevansi Pemikiran Yap ThiamHien dalam Mewujudkan Masyarakat Berkualitas”, merupakan judul paparan Dr. Albert Hasibuan. Mantan Ketua Dewan Mahasiswa UKI pada tahun 1962 ini menyatakan, bahwa dirinya kerap mengadakan dialog dengan Yap yang kala itu sebagai anggota Yayasan UKI.
Sosok Yap, kata Albert menonjol dalam pikirannya sebagai pribadi yang mendambakan negara memberikan perlakukan yang sama (equal) di muka hukum. “Jelas, ia tidak terima kalau ada penindasan dan perlakuan tidak sama dan diskriminatif. Yap juga menjunjung tinggi azas pra duga tak bersalah serta prinsip pembelaan hukum sekalipun ia tidak mampu.
Sembari mengenang, mantan anggota Komnas HAM ini mengatakan, pada bulan Oktober 1966, saat Yap membela dr. Soebandrio, mantan Menlu Orde Lama, ia dengan lantang mengutip Injil Yohanes 8:7 “Barangsiapa diantara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”.
Sekretaris Umum Center for Development and Culture Josef Purnama Widyatmadja sebagai pembicara berikutnya, mengenang sosok Yap sebagai orang yang aktif di Sinode GKI, Dewan Gereja di Indonesia (DGI/PGI) dan Dewan Gereja se Dunia.
Sosok Yap tidak pernah segan menegur hamba Tuhan yang hidupnya tidak sesuai dengan kebenaran dan Firman Tuhan. Mencermati perkembangan politik dan ekonomi pada era 1960-an dan sesudahnya, Yap katanya, memberikan kritik kepada penguasa yang saat itu menjadikan etnis tertentu sebagai “kambing hitam “ekonomi dan politik”. Sebaliknya, ia juga mengkritik etnis tertentu tersebut yang hidup serakah dan memperkaya diri sendiri.
Sosok Yap sebagai pemberi semangat, idealisme, tidak takut dan tidak jera menghadapi resiko, merupakan penilaian pengacara kondang Todung Mulya Lubis pada acara kuliah umum ini.
Di mata Todung, Yap adalah sosok yang tidak mengejar ketenaran dan uang. Sembari mengkritisi situasi terkini seperti diskriminasi dan kekerasan pada tingkat yang mengkhawatirkan seperti keberadaan gereja yang dipermasalahkan, sulitnya mengurus pendirian gereja, pembiaran negara atas kekerasan yang terjadi. “Apa reaksi Om Yap jika ia masih hidup menyikapi kondisi seperti ini ?,” ujarnya dengan nada tanya. Tentang peran gereja, Todung menegaskan, gereja seharusnya berani meneladani penegakan hukum, keadilan, HAM di tengah situasi yang bobrok ini. Acara ini dipandu oleh Prof. Jan Aritonang.
Sumber: GBI Kapernau,